Terbelit Program Sosial: Ternyata BI, Oh BI

Image 3

Oleh: Muhammad Joni, Founder Masyarakat Konstitusi Indonesia

BANK Indonesia bukan Kementerian Sosial. Bukan pula Yayasan Amaliah Perbankan. Bank Indonesia (BI) itu adalah bank sentral. Yang independensinya diatur dengan undang-undang. BI independen dibunyikan dalam norma Pasal 23D UUD 1945.  

Walau tak disebut langsung sebagai BI, bank sentral masuk  dalam konstitusi tertulis. BI bukan institusi ecek-ecek. Di USA The Fed, bank sentral negeri paman Sam, lebih kuasa dari Presiden. 

Tetapi oh tetapi, BI bukan negara dalam negara. Bukan institusi yang impunity a.k.a tak tersentuh hukum. Jamak perkara sudah menjadi legal presedent. Kali ini terbelit Program Sosial yang dipersoalkan KPK.

Program Sosial (PS) yang dikerjakan bank sentral berwatak independen versi Bank Indonesia (BI) itu, kini dikuliti dalam irisan tajam. Karena PS BI dalam belitan rumit dugaan perkara rasuah. Perkara rasuah itu seakan "independen" bak air bah karena merambah ke segala arah. Termasuk BI yang formalnya si penjaga kesehatan moneter dan stabilitas kurs. 

Teringat amba ketika menulis tesis magister hukum ikhwal indepedensi dan akuntabilitas Bank Indonesia di kampus UI, amba mengulas instalasi struktural. Analisis legal-strukturalis. Menyodorkan pro-kontra tioritis perihal urgensi bank sentral indepeden yang tak berkesudahan. Tiorisasi yang tak tutup buku. Terus dalam falsifikasi-cum-pemutahiran. 

Itu bagus. Itu tak boleh stagnan. Itu pangkalan memajukan ilmu pengetahuan hukum.  Yang kontra menyebut sinis negara dalam negara (state within state). Yang pro indepedensi bank sentral lebih banyak produksi dalil lagi. Yang dikompromikan secara tioritis-ekonomi-politik-hukum dengan tesis ini: bank sentral independen yang akuntabel (accountability independent). 

Menurut  UU BI, duo tugas BI: merawat  kesehatan moneter dan stabilitas kurs. Ibarat profesi dokter yang kudu 'fit for practice' dan kudu layak kua-kompetensi medis,  kawalan kesehatan moneter itu tugas utama yang khas dan tak tergantikan pada BI. Yang tak bisa diintervensi apalagi digantikan dengan tugas dinas kesehatan.

Intervensi indepedensi BI malah bisa diancam pidana. Hebatnya independensi BI oh BI.

Setuju ya, bahwa soal PS BI adalah bagian dari BI. Maka, PS BI adalah policy BI. Policy bukan idemditto nihil malpraktek etik maupun hukum.   

Diwartakan, PS BI pun luas menyasar  BI masuk urusan pro justisia:  penggeledahan ruangan Gubernur BI, sempat dikabarkan media.  Maka dan maka: PS BI bagian dari tikungan tajam sejarah dan moneter ikhwal  accountability independent pada kiprah BI in concreto

Di ruang periksa KPK yang dingin dan tanpa jendela, Pak S mantan anggota parlemen duduk dengan wajah datar, menatap meja kayu yang penuh tumpukan dokumen. Ia keluar hanya untuk berkata:

“Tadi sudah saya ceritakan semua ke penyidik. Bisa konfirmasi ke penyidik”, katanya ketika disosor media.

Kalimat singkat itu mungkin terdengar biasa. Tapi bagi mereka yang paham, itu adalah bahasa diam khas dunia hukum—cara halus mengatakan, “Saya tidak akan memberi Anda apa-apa, kecuali di bawah sumpah.”

Di balik ketenangan ini, bergulir sebuah drama yang mengingatkan saya pada 'The Firm' atau 'The Pelican Brief'. Itu dua novel hukum Pak John Grisham yang cetar membahana.  Bukan tentang pengacara muda yang dikejar mafia hukum, tapi tentang Bank Indonesia, jantung moneter negeri, yang terancam infeksi dari dalam. Infeksinya bernama: korupsi dana PS BI.

Tidak dengan tiori 'Behavior of The Law' dari Donald Black ataupun 'Critical Legal Studies', dalam analisis sengkarut  PS BI ini amba mencoba menerapkan "mazhab" penelusuran hukum a la John Grisham. Dalil John Grisham pertama, bahwa penyamaran selalu dimulai dari sesuatu yang tampak mulia dan bermakna dewa. 

Di panggung 'The Client',  penyamaran itu adalah seorang anak yang menyimpan rahasia pembunuhan. Di helai demi helai novel 'The Street Lawyer', penyamaran itu adalah program bantuan tunawisma yang disusupi agenda gelap.

Dalam kasus ini, topengnya adalah yayasan. Nama yayasan oh yayasan  terdengar penuh pengabdian. Proposalnya rapi, lengkap tanda tangan, kop surat, dan tujuan sosial.

Di atas kertas, penerimanya jelas, dan kegiatannya tampak masuk akal. Yayasan dikesankan jauh dari bengal. 

Namun, seperti di pelataran 'The Partner' —tentang pengacara yang mencuri jutaan dolar dari firma hukumnya sendiri—semua itu hanyalah permainan utak-atik dokumen yang menutupi niat sebenarnya: mengalirkan dana ke rekening pribadi.

Prognosa amba: dari penelusuran konten media, lakon PS BI itu salah sasaran. Salah jumlah. Salah validitas. Dan menurut KPK yang mengutip kaidah KUHAP, sudah  cukup  dua bukti, maka lanjut ke dimulai lah tahap penyidikan. Ada dua Tersangka.

Di pentas megah 'The Summons', Pak Grisham menggambarkan bagaimana uang bisa berpindah tangan dengan sunyi. Pindah duit yang nyaris tanpa jejak,  hingga seseorang yang tak seharusnya mendapatkannya menjadi kaya mendadak.

Di sini, diwartakan pejabat KPK bahwa dana CSR cq PS BI —yang seharusnya menyentuh masyarakat kecil—justru mengalir ke lingkaran elite politik. 

Dalil yang dikembangkan analisis opini ini, jika benar ada salah sasaran maka melahirkan salah jumlah. Salah jumlah mematikan presisi. Salah presisi menghancurkan validitas policy PS BI.

Dan di titik panas ini, yang rusak bukan sekadar standar operasional prosedur (SOP) tetapi standar yang lebih besar tapi sangat rentan: kepercayaan publik (public trust). Ngerih, andai bank dari bank mengalami mega defisit public trust. Dan, perih! Di tapal usia republik menjelang 80 tahun itu, negeri ini masih merintih sengkarut pitih yang tak putih.

Tak Hanya SOP, Trust Public Dirusak

Dalam sirkuit  novelisasi 'The Whistler', Pak Grisham memotret hakim yang bermain di dua dunia—dunia hukum dan dunia bayangan yang penuh transaksi gelap. Prosedur hukum jadi sekadar formalitas untuk menutupi hasil yang sudah diatur.

Kasus rasuah versi PS BI ini punya pola yang sama. Dana yang harusnya langsung ke masyarakat penerima manfaat langsung, oh malah diputar bagai sirkuit oh sirkuit pelik pulitik: dari rekening yayasan ke rekening pribadi, lalu diubah menjadi aset—tanah, bangunan, kendaraan—bisa dengan kuitansi palsu sebagai obat penenang publik. Seakan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). 

Ada motif dan jejaring? Tentu saja. Kejahatan luar biasa berjodohkan motif dan jejaring tak biasa-biasa saja. Bukan pula self agenda. Tak main sendiri. Tak dangkal, sumir, dan tak telanjang data. Idemdito trik rumit kejahatan pencucian uang dalam penyamaran.

Tiorinya,  pun juga praktiknya, bahwa: tak ada kejahatan kerah putih tanpa motif. Bahkan jamak motif. Ada motif di sebalik motif. Ada motif di atas motif. Ada motif yang dibuat seakan motif asli.  Dalam hukum  administrasi negara dikenali, ada alasan yang bukan alasan (geen oorzaak), ada alasan palsu atau salah (valse oorzaak) untuk mengelabui. Ada alasan yang dijadikan alasan penyelamatan.

Maka dan maka, naif jika bersembunyi di sebalik pernyataan: sudah sesuai SOP yang sunyi dan dangkal. Dan, ketahui lah:  tak ada motif tanpa jejaring. Tak ada jejaring tanpa persekongkolan. Walau persekongkolan kejahatan terstruktur tak pernah tulus. Saling sandera. Saling kunci. Saling intip. Saling tutup mulut. Siapa silap;  hajab. 

Siapa yang diduga menjadi sutradara jalur aspirasi ke PS BI? Itu kah wujud  intervensi kepada BI?

Dari fakta di jagat media, yayasan diperankan menjadi panggung utama. Oknum BI memegang lampu sorot, memastikan pertunjukan berlangsung tanpa gangguan.

Jejaring ini mengingatkan saya pada naskah 'The Brethren', di mana tiga hakim federal mengendalikan jaringan pemerasan dari balik jeruji besi. Dalam cerita itu, seperti di sini, kekuasaan digunakan untuk memanipulasi sistem demi keuntungan pribadi. Trust publik yang dirusak.

BI oh BI yang Terkapar

Bank Indonesia bukan sekadar lembaga keuangan. Ia adalah penjaga kurs, pengatur likuiditas, pengendali inflasi—jantung yang memompa darah ekonomi negara.

Tapi ketika jantung itu disusupi penyakit, seluruh tubuh politik dan ekonomi ikut sakit. Kasus ini membuka kembali luka lama—ketika petinggi BI pernah menjadi pesakitan dalam perkara korupsi. Bedanya, kali ini penyakitnya masuk lewat pintu yang disebut program sosial.

Apa keluh Francesco Lippi dan S. Jiwandono jika bank sentral independen terbelit rasuah? 

Dalam bukunya berjudul 'Central Bank Independence, Targets and Credibility', Francesco Lippi mengemukakan bahwa gagasan kesejahteraan dapat diletakkan harapannya pada bank sentral yang independen.

Menurut Lippi, “the idea that a welfare gain can be expected from the creation of an independent central banks..”. Dengan demikian, masih menurut Francesco Lippi, peluang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari suatu negara, dapat dilakukan dengan menghilangkan adanya kesenjangan koordinasi agen ekonomi, dan adanya ketidakmenentuan politik merupakan variabel bagi peningkatan inflasi yang berlebihan.

Karena itu, sejalan dengan pendapat Lippi, kebijakan moneter yang fungsinya diemban oleh organisasi atau lembaga negara mesti menjalankan fungsinya secara profesional dengan parameter ekonomi yang sebagai pegangan utamanya.

J Sudradjat Djiwandono, mantan Gubernur Bank Indonesia (1993-1998), mengemukakan bahwa bank sentral yang independen merupakan persyaratan untuk perbaikan governance dan transparansi dunia usaha.

Selanjutnya, J Sudradjad Djiwandono yang berpengalaman langsung dalam memimpin Bank Indonesia dalam masa krisis ekonomi mengemukakan:

“…pada dasarnya terdapat kesepakatan bahwa di dalam suatu perekonomian, semakin besar independensi yang dimiliki bank sentral akan semakin efektif pula kebijakan moneter mencapai sasaran kestabilan. Karena itu, semakin independen bank sentral, atau semakin kecil intervensi pemerintah terhadap penyelenggaraan kebijakan moneter oleh bank sentral, semakin efektif pula pengelolaan ekonomi nasional secara makro”.

Alhasil, independensi BI terkapar disorot mata publik. BI dalam pusaran bahaya senjata sendiri: independensi dan akuntabilitas. BI yang diam atau bersuara mengandalkan SOP, adalah BI dalam tikungan tajam sirkuit  public trust. 

Pelajaran "Mazhab" Grisham-ian

Dalam kerangka cerita 'The Chamber', Pak Grisham mengajarkan bahwa kejahatan besar seringkali terjadi di ruang yang terlihat mulia. Di helai-helai bertenaga ala 'The Testament', terang-benderang menunjukkan bahwa uang yang diwariskan bisa menjadi sumber bencana jika jatuh ke tangan yang salah.

Kedua pelajaran itu relevan di sini: program sosial dan dana publik bisa menjadi senjata mematikan jika dipakai oleh orang yang salah—dengan alasan yang terdengar benar.

Epilog

KPK kini seperti dokter bedah yang sedang memegang pisau penyehatan pasien. Luka harus dibuka sampai akar, darah yang membusuk dikeluarkan paksa, dan jaringan sehat diselamatkan. Mission possible demi: BI oh BI.

Operasi ini belum selesai. Tapi satu hal jelas: jika infus PS BI  terus mengalir ke tangan yang salah, pasien bernama kepercayaan publik akan mati pelan-pelan. Dan tak ada obat yang bisa menyelamatkan jika operasi ini gagal.

Dalam corak cerita novel-novel versi John Grisham, acap bab terakhir biasanya adalah ruang sidang mencekam dan tak ternyana —hakim mengetuk palu, terdakwa menunduk, dan publik menghela napas lega.

Kita belum sampai di sana. Tapi bab itu sedang ditulis, di ruang tanpa jendela, dengan lampu putih yang terus menyala. Publik perih menonton BI terbelit PS BI  sendiri. Duhmak, BI oh BI.  Tabik.