Rasio Pajak Turun, Kepercayaan Juga? Menata Ulang Kontrak Sosial Perpajakan Kita

Image 3
Aksi masyarakat Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Kamis, 13 Agustus 2025, menolak kenaikan PBB sebesar 250 persen.

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

MENGAPA rasio pajak Indonesia kembali tergelincir pada paruh pertama 2025, padahal kebutuhan pembiayaan pembangunan kian membesar? 

Di Januari 2025 saja, penerimaan pajak anjlok sekitar 41,86% dibanding Januari 2024, jatuh ke Rp88,89 triliun. Laporan resmi juga menunjukkan pelemahan PPN dalam negeri dan PPh Badan pada awal tahun; ini bukan sekadar angka—ini alarm dini bagi kredibilitas fiskal.

Hingga pertengahan tahun 2025, penerimaan pajak tercatat turun 6,21% dari periode yang sama tahun lalu, dengan realisasi sebesar Rp837,8 triliun

Sementara itu, target penerimaan 2025 dipatok sekitar Rp2.189,3 triliun (kurang lebih 9% PDB). 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa proyeksi realisasi penerimaan hanya akan mencapai Rp2.076,9 triliun, atau sekitar 94,9% dari target. Meski mengalami pertumbuhan 7,5% dibandingkan tahun sebelumnya, capaian ini tetap menunjukkan adanya tekanan serius terhadap kinerja fiskal negara.

Pertanyaannya: ketika mesin pendapatan seret, apakah kita akan menambah beban konsumsi rakyat atau membenahi mesinnya?

Saya melihat masalahnya bukan tunggal. Kita menghadapi kombinasi engine trouble pada administrasi pajak (dari migrasi sistem Coretax yang tersendat) dan headwind ekonomi (daya beli menipis, harga komoditas turun, laba korporasi tertekan), diperparah oleh trust deficit—jurang kepercayaan antara pembayar pajak dan pengelola pajak. 

Tiga hal ini saling menguatkan menjadi lingkaran setan: sistem macet menurunkan kepatuhan, ekonomi melemah menekan basis pajak, dan persepsi tata kelola yang buruk mengikis moral membayar. 

Jika kita hanya berkutat pada tarif, kita akan keliru mendiagnosis; yang harus dibedah adalah mesin, bahan bakar, dan supirnya sekaligus—administrasi, struktur ekonomi, dan tata kelola.

Mengurai Penyebab: Dari “Mesin” Macet hingga “Bahan Bakar” Seret

Bayangkan sistem pajak sebagai jaringan irigasi. Penerimaan adalah aliran air yang menghidupi sawah pembangunan. 

Tahun ini beberapa pintu air macet. Migrasi ke Coretax yang sejatinya dirancang mengurangi tax gap justru tersandung kapasitas—akses tersendat saat lonjakan trafik, sinkronisasi data tidak mulus, sebagian wajib pajak kebingungan. 

Ketika gerbang utama macet, air tak mengalir, dan petani di hilir (program publik) merasakan kekeringannya.

Di saat yang sama, “hulu” aliran—aktivitas ekonomi—melemah. 

PPN dalam negeri menyusut karena konsumsi menahan napas; PPh Badan turun karena laba korporasi menipis setelah euforia windfall komoditas mereda. Harga batu bara, CPO, dan nikel tak lagi setinggi periode sebelumnya. 

Ini menurunkan pungutan sepanjang rantai nilai, dari PPN pabrikasi hingga PPh korporasi. Di atas kertas, kenaikan PPN ke 12% memang disiapkan, tetapi kegelisahan soal dampak inflasi membuat pelaku usaha dan rumah tangga berhitung ulang. 

Pada saat awal tahun, kebijakan AER PPh21 juga membuat sebagian pembayaran lebih rata dan restitusi meningkat, menggerus penerimaan in-year.

Lapis terakhir adalah kepercayaan. Di ruang digital, publik menilai pajak “tak sepenuhnya kembali” dalam bentuk layanan yang memuaskan, sementara berita tentang fasilitas pejabat atau pemborosan anggaran merebak lebih cepat daripada klarifikasi. 

Kita boleh punya undang-undang terbaik; tanpa public buy-in, kepatuhan bisa rapuh. Ketika wajib pajak merasa hubungan timbal balik (fiscal contract) melemah, mereka lebih enggan berpartisipasi—ini bukan semata persoalan moral, tapi rasionalitas sosial.

Mengoptimalkan Penerimaan Tanpa Menindih Kelas Menengah Bawah

Inilah pertanyaan kuncinya: bagaimana menambah air tanpa membebani sawah kecil? Jawaban pendeknya: perbesar debit dari hulu yang kuat dan perbaiki jaringan agar kebocoran minimal. Saya menyarankan tiga koridor.

Pertama, benahi administrasi—kini, bukan nanti. Coretax harus diperlakukan seperti proyek infrastruktur strategis: audit kapasitas, stress test berkala, rollback plan sementara untuk kanal pelaporan jika terjadi gangguan, dan war room lintas instansi sampai stabil.

Prinsipnya: ketika kanal digital macet, sediakan bypass yang cepat dan sederhana agar arus pembayaran tidak berhenti. Perkuat pula layanan helpdesk dan outreach ke korporasi serta konsultan pajak, karena kepastian proses sering lebih penting daripada tarif.

Kedua, geser beban ke basis yang lebih progresif dan lebih “tahan banting”. Kita bisa menggali penerimaan dari wealth-linked base dan resource rent tanpa menekan konsumsi harian. 

Pajak kekayaan dengan ambang tinggi, windfall tax yang bersifat temporer ketika harga komoditas melonjak, serta pajak produksi batu bara yang terukur pada volume, semuanya lebih tepat sasaran. 

Untuk PPN, gunakan rate differentiation: barang/jasa esensial tetap dilindungi, barang mewah bisa dikenai tarif lebih tinggi. Kebijakan ini menahan dampak regresif PPN terhadap kelas pekerja dan UMKM.

Ketiga, tutup celah kebijakan dan kepatuhan. Rasionalisasi insentif yang tumpang tindih akan memperkecil policy gap. Kita perlu sunset clause yang otomatis mengevaluasi setiap fasilitas—tetap jika terbukti mendatangkan investasi berkualitas dan efek limpahan upah/ekspor, gugur jika hanya “memindahkan alamat” tanpa nilai tambah. 

Di sisi kepatuhan, percepat integrasi data transaksi (perbankan, e-commerce, bea cukai, OSS) untuk menekan under-reporting tanpa menaikkan tarif. Kepatuhan yang mudah dan pasti jauh lebih efektif daripada tarif yang sekadar tinggi di atas kertas.

Apakah Insentif Pajak untuk Pengusaha Masih Relevan?

Insentif adalah obat yang mujarab bila dosisnya tepat, pasiennya jelas, dan masa minumnya terbatas. 

Dalam kondisi tax ratio menurun, obatnya tidak boleh generik dan tak berkesudahan. Insentif tetap relevan jika diarahkan pada tiga sasaran: transformasi coolecting melalui adaptasi teknologi (automation, AI adoption, R&D), energi bersih dan hilirisasi yang nyata, serta penciptaan kerja formal berkualitas. 

Fasilitas untuk korporasi besar yang sudah menikmati keunggulan pasar—tanpa komitmen transfer teknologi dan perluasan basis pajak—harus dipangkas. Untuk UMKM dan start-up, insentif justru bisa diperluas namun dalam bentuk simplicity dividend: tarif final yang rendah dan pasti, kredit pajak untuk digitalisasi, dan voucher compliance (bantuan pembukuan, e-invoicing, POS terintegrasi). 

Kuncinya bukan pembebasan menyeluruh, melainkan reduksi biaya patuh agar UMKM betah di sektor formal dan perlahan naik kelas. Di sektor yang padat impor atau sekadar trading, insentif fiskal sebaiknya diganti dukungan non-pajak: logistik, perizinan, dan kepastian hukum. Dengan begitu, kita menjaga penerimaan tanpa memadamkan semangat investasi.

Pajak, Zakat, dan Wakaf: Analogi yang Mulia tapi Perlu Batas

Saya memahami maksud Menkeu ketika menyamakan membayar pajak dengan berzakat dan berwakaf: membangun imajinasi moral bahwa memberi untuk kemaslahatan adalah mulia. 

Namun, kesamaan etis tidak berarti identik secara institusional. 

Zakat adalah kewajiban agama dengan delapan (asnaf) sasaran yang jelas dan dimaksudkan untuk menyucikan harta; wakaf adalah endowmen sosial yang kekal dan terikat tujuan spesifik. 

Pajak adalah kewajiban hukum yang wilayah penggunaannya luas—dari sekolah dan puskesmas hingga jalan tol, gaji aparatur, bahkan penyertaan modal. Masyarakat akan menerima analogi itu bila melihat “hikmah zakat” hadir dalam belanja negara: tepat sasaran, hemat, dan terasa manfaatnya. 

Tanpa itu, pernyataan yang dimaksudkan sebagai ajakan moral berisiko terbaca sebagai tone-deaf di tengah kekecewaan terhadap layanan publik.

Mengapa Publik Bereaksi Keras?

Respons keras di media sosial adalah cermin, bukan musuh. 

Ia mencerminkan pengalaman sehari-hari: kelas pekerja mengeluh biaya hidup naik lebih cepat dari upah, antrean layanan publik masih panjang, berita pemborosan anggaran beredar lebih cepat daripada press release klarifikasi. 

Di titik ini, persoalan bukan sekadar communication gap, melainkan experience gap. Publik akan memaafkan kebijakan sulit—bahkan kenaikan tarif—jika merasakan peningkatan nyata pada layanan: air bersih mengalir, bus datang tepat waktu, dan puskesmas tidak menyuruh datang besok. 

Ketika output layanan meningkat, fiscal morale ikut naik; ketika moral naik, kepatuhan menguat; ketika kepatuhan menguat, tax ratio pulih. Ini lingkaran kebajikan yang harus kita bangun.

Jalan Keluar: Dari “Force” ke “Trust” sebagai Mata Uang Fiskal

Saya mengusulkan tiga shift berpikir. 

Pertama, dari “tarif” ke “transaksi”. Fokus bukan menambah persentase semata, tapi memperlancar transaksi pajak yang tertunda dan mencegah refund shock melalui manajemen restitusi yang prediktif. 

Kedua, dari “insentif luas” ke “kontrak kinerja”. Setiap fasilitas fiskal dibayar dengan janji terukur: investasi riil, upah layak, ekspor bersih, dan transfer teknologi. Ketiga, dari “kampanye” ke “pengalaman”. 

Kampanye moral penting, namun pengalaman publik terhadap layanan negara adalah promotor paling kuat kepatuhan pajak. 

Audit belanja harus setransparan audit penerimaan; dashboard proyek yang bisa diakses publik—dengan indikator kemajuan yang mudah dipahami—akan menumbuhkan rasa memiliki.

Pada level teknis, pembenahan Coretax harus digarap seperti menata bandara yang sibuk: tambah runway (kapasitas server), perbaiki air traffic control (manajemen antrian layanan), dan sediakan holding area nyaman (kanal pelaporan alternatif) agar pesawat perpajakan tidak berputar-putar kehabisan bahan bakar. 

Pada level kebijakan, arahkan tenaga fiskal ke basis yang tidak mematikan konsumsi rakyat: kekayaan, windfall, dan rente sumber daya. Pada level politik, perkuat pesan bahwa pajak bukan “dompet pejabat”, tetapi “alat bersama” untuk memecahkan persoalan yang dekat dengan hidup orang banyak—air, sekolah, transportasi, dan keamanan.

Pada akhirnya, pajak adalah kontrak sosial. Negara meminta sebagian dari penghasilan kita hari ini untuk mengurangi kecemasan kita besok. Ketika kontrak itu dipenuhi dengan layanan yang terasa dan tata kelola yang jujur, masyarakat tidak sekadar patuh—mereka rela. 

Menurunnya rasio pajak semester I-2025 adalah peringatan, tetapi juga kesempatan: kesempatan untuk memindahkan pusat gravitasi fiskal kita dari force ke trust. 

Bila kita berhasil, angka akan menyusul; bukan karena kita menaikkan tarif, melainkan karena kita menaikkan kepercayaan. Dan itu, dalam ekonomi modern, adalah mata uang fiskal yang paling keras nilainya.

Berita Terkait

Berita Lainnya