Jakarta, MNID. Hari ulang tahun ke-123 Proklamator Mohammad Hatta diperingati Yayasan Hatta bekerjasama dengan Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA), DEKOPIN, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), SPAK Indonesia, dan LP3ES.
Peringatan diselenggarakan selama sepekan dari 12 Agustus sampai 17 Agustus 2025 di Taman Makam Bung Hatta, Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Selain doa bersama, peringatan juga diisi dengan testimoni dan pameran edukatif yang menghadirkan narasi visual, arsip sejarah dan cerita kehidupan Bung Hatta yang dirangkai secara tematik.
Kegiatan ini juga diisi dengan diskusi bertema “Jejak Integritas Bung Hatta dan Mereka yang Melawan Hingga Akhir Hayat”.
Sejumlah tokoh yang hadir dalam kegiatan di hari pertama antara lain berasal dari keluarga Soekanto Said (Kapolri Pertama), Mr. Roem, Abdurrahman Baswedan, Buya Hamka, Ali Sadikin, Hasyim Ning, Soedarpo Sastrosatomo, Saifuddin Zuhri, Kasman Singodimedjo, Wilopo, Syafruddin Prawiranegara dan Soedjatmoko.
Selain putri Bung Hatta Prof. Meutia Hatta dan Hatta Gemala Hatta, peringatan di hari pertama juga dihadiri Wadankorbrimob Polri Irjen Pol. Ramdani Hidayat, Karo Binkar SSDM Polri Brigjen. Pol. Langgeng Purnomo, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mewakili keluarga almarhum Saifuddin Zuhri, Isna Marifa putri Alm. Soedjatmoko, Abdul Hadi Hamka cucu Buya Hamka, Ketua Dekopin Bambang Haryadi, Kepala Arsip Nasional, Dr. Mego Pinandito, dan pejabat pemerintah, tokoh negarawan, akademisi, aktivis serta Masyarakat umum lainnya.
Hujan deras yang turun sepanjang kegiatan tidak menghalangi kegiatan berlangsung hingga selesai.
Dalam sambutannya Prof Meutia Hatta menyampaikan ucapan terima kasih atas kehadiran para tamu undangan.
“Sejak wafatnya Bung Hatta, kami keluarga selalu hadir di makam beliau untuk berziarah, berdoa bagi arwah beliau agar bahagia di alam barzah, di tempat yang disediakan oleh Allah SWT. Namun pada tahun ini, ada warna baru yang kami ingin tampilkan pada saat HUT Bung Hatta. Yayasan Hatta yang dipimpin oleh adik saya Halida Hatta, berkolaborasi dengan mengadakan pameran dan diskusi yang dilakukan dari tanggal 12-17 Agustus 2025,” ujar Meutia.
Warna baru yang dimaksudnya adalah berziarah sambil menyampaikan informasi mengenai tekad Bung Hatta untuk tidak dimakamkan di Taman Pahlawan.
“Tindakan lebih penting daripada kata-kata,” kata Meutia.
Sementara itu mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membacakan cuplikan testimoni ayahnya, Prof. KH. Saifuddin Zuhri, yang ditulis pada 10 Mei 1980 yang berjudul “Bung Hatta adalah Pancasilais yang saleh. Kebesaran serta keharuman Bung Hatta adalah abadi.”
Data Paradoks Indonesia
Di hari kedua, Rabu, 13 Agustus 2025, kegiatan diisi seminar bertema “Menjaga Nyala Api Semangat Integritas Bung Hatta”.
Dalam kesempatan itu, Gemala Hatta, mengatakan, bahwa salah satu pesan penting Bung Hatta adalah bahwa seseorang itu harus sama kata dan perbuatan.
“Itulah wujud integritas yang harus kita tanamkan untuk diteladani oleh kaum pemuda harapan bangsa, yang akan mengisi diri mereka supaya bisa menjadi para pemimpin Indonesia yang handal, berintegritas, untuk membuat Bangsa Indonesia menjadi lebih baik dan Negara kita menjadi jaya, adil dan Makmur,” ujar Gemala.
Hadir dalam seminar ini peneliti LP3ES Malik Ruslan yang juga penulis “Politik Antikorupsi”, aktivis sosial Swary Utami Dewi, alumnus Sekolah Pemikiran Bung Hatta (SPBH) Armando Achiers, Rendy Dharmawansyah, dan Zulfikri Suleman. Adapun sebagai moderator adalah Mutiara MY dari LP3ES.
Dalam paparannya Malik Ruslan mengawali diskusi dengan memaparkan data paradoks demokrasi dan korupsi di Indonesia.
“Jika kita melihat data skor Indeks Demokrasi Indonesia dengan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia terdapat paradoks antara demokrasi dan korupsi. Kualitas demokrasi cukup baik tetapi korupsi justru semakin marak terjadi di semua lini baik dari pusat bahkan hingga level pemerintahan paling bawah. Bahkan perilaku koruptif juga sudah menjadi gejala di masyarakat,” ujarnya.
“Idealnya demokrasi bisa mendorong terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik, transparan dan akuntabel seperti di negara Denmark, Selandia Baru dan Finlandia,” jelas Malik.
Malik juga mengutip tulisan Bung Hatta yang dimuat dalam buku karya lengkap Bung Hatta “Kemerdekaan dan Demokrasi” terbitan LP3ES:
“Masih banyak orang di antara kita yang belum mengerti apa maksud pemerintahan demokrasi, yang masih mempunyai paham salah bahwa demokrasi adalah tempat untuk membela kepentingan golongan sendiri, suatu kesempatan untuk menempatkan kawan kawan sendiri dalam jentera pemerintahan, di dalam dan di luar negeri, sekalipun ia tidak mempunyai kecakapan untuk itu. Paham semacam ini akan melumpuhkan pemerintahan, akan menjerumuskan negara ke dalam korupsi sosial, yang kalau tidak dicegah akan merobohkan negara,” tegasnya mengutip Bung Hatta.
Sementara Swary Utami Dewi memaparkan materi tentang “Patriotisme Bung Hatta untuk Indonesia.”
Menurut Swary Jelas, jika kita berbicara tentang Bung Hatta maka kita juga sedang berbicara tentang patriotisme—suatu idealisme dan sikap yang di zaman kini telah menjadi barang mahal dan langka.
Menurut Tami, sapaan akrabnya, pada fase perjuangan kemerdekaan, patriotisme sudah melekat dalam diri para pendiri dan pemimpin bangsa Indonesia, termasuk Bung Hatta.
“Cinta murni pada negeri seperti yang ditunjukkan Bung Hatta inilah yang kini sedang hilang melayang dari bangsa ini. Sejatinya, cinta negeri sebagai bentuk patriotisme tak terbatas pada ungkapan dan perasaan cinta yang terpendam. Cinta pada negeri adalah berani bersikap dan bertindak untuk melindungi Indonesia,” demikian Tami.