Oleh: Immanuel Ebenezer, Ketua Prabowo Mania
FENOMENA bendera One Piece yang viral menjelang peringatan HUT ke-80 RI memunculkan perdebatan di ruang publik. Sebagian orang melihatnya sebagai tanda pemberontakan atau ancaman terhadap simbol negara. Sebagian lain melihatnya sebagai bentuk ekspresi anak muda yang lahir dari budaya populer. Di tengah perdebatan itu, kita perlu bersikap jernih: membedakan antara cinta negara dan kekecewaan pada pemerintah.
Generasi muda hari ini tumbuh di tengah banjir informasi, hiburan, dan simbol fiksi. Mereka akrab dengan cerita-cerita seperti One Piece yang penuh pesan kebebasan, persahabatan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Dalam cerita itu, tokoh-tokoh memberontak bukan karena mereka benci dunia, tapi karena ingin memperbaikinya. Mereka melawan penindasan bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk meraih kebebasan yang seharusnya dimiliki semua orang. Narasi inilah yang mungkin diterima dengan hati banyak anak muda Indonesia.
Ketika bendera One Piece berkibar di media sosial atau di beberapa sudut kota, bukan berarti mereka membuang merah putih. Bendera negara tetap sakral, tetap menjadi simbol pemersatu yang tidak bisa digantikan. Tetapi munculnya simbol alternatif ini adalah tanda lain: mereka ingin didengar. Mereka kecewa karena nilai kebersamaan, keadilan, dan solidaritas yang seharusnya hadir di kehidupan nyata, justru mereka temukan di dunia fiksi.
Inilah saatnya negara bercermin. Jika anak-anak muda merasa lebih terwakili oleh simbol bajak laut ketimbang simbol kenegaraan, maka ada yang salah dengan cara negara hadir dalam kehidupan mereka. Tugas negara bukan sekadar menegur atau melarang. Tugas negara adalah mendengar, memahami, lalu mengajak mereka kembali dengan cara yang lebih manusiawi.
Kita tidak boleh buru-buru memberi stigma. Menganggap mereka anti-negara hanya akan memperlebar jarak dan menutup pintu dialog. Padahal mereka masih cinta negeri ini. Mereka hormat pada merah putih, tapi kecewa pada cara pengurus negara menjalankan amanah. Cinta dan kecewa bisa hidup berdampingan. Justru karena cinta itulah mereka ingin perubahan.
Negara harus cukup bijak membedakan mana pemberontakan dan mana kerinduan akan perubahan. Yang dibutuhkan bukan pendekatan represif, melainkan pendekatan kreatif. Energi anak muda yang begitu besar bisa diarahkan ke gerakan nasionalisme yang segar: menggabungkan kecintaan mereka pada budaya populer dengan semangat kebangsaan. Biarkan mereka mencintai tanah air dengan cara mereka sendiri, selama tidak mengganti lambang resmi negara. Tugas kita adalah merangkul, bukan mengucilkan.
Fenomena bendera One Piece adalah alarm sosial. Alarm yang mengingatkan kita bahwa ada jarak yang semakin lebar antara negara dan generasi mudanya. Jika kita mau mendengar, kita akan menemukan pesan yang sederhana: mereka ingin diperhatikan, mereka ingin keadilan, mereka ingin masa depan yang lebih baik di negeri ini. Jangan matikan pesan itu dengan stigma. Rangkul mereka, dengarkan mereka, dan ajak mereka kembali mencintai merah putih dengan cara yang mereka pahami.