Politik Kebudayan Generasi Baru: Sound Horeg dan Bendera One Piece

Image 3
Memed Potensio alias Thomas Alva Edi Sound Horeg (kiri) dan bendera One Piece

Oleh: Gde Siriana Yusuf, Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS)

SOUND horeg dan bendera One Piece yang menjamur di masyarakat Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, menunjukkan gejala sosial dan budaya yang cukup kompleks dan menarik. Keduanya dapat dibaca sebagai ekspresi dari beberapa dinamika berikut:

1. Ekspresi Identitas Kultural Baru: “Kampung Pop Culture”

Sounds horeg (sound system ala hajatan, remix DJ koplo, dangdut remix, hingga jedag-jedug TikTok) dan bendera One Piece (biasanya simbol bajak laut Topi Jerami) adalah bentuk ekspresi anak muda dan masyarakat pinggiran yang menggabungkan pop culture global dengan lokalitas kampung.

Mereka membentuk semacam identitas budaya baru: bukan budaya tinggi, bukan juga budaya populer dalam arti mainstream global, melainkan "budaya horeg"—kitsch, meriah, kreatif, dan anti-elit.

2. Rasa Kepemilikan dan Komunitas

Bendera One Piece menjadi simbol solidaritas, petualangan, dan perlawanan. Banyak yang menafsirkannya sebagai lambang “kita satu kru,” komunitas setia kawan antar anak tongkrongan, pemuda kampung, hingga konvoi motor atau sound system.

Seperti Luffy dan kru bajak lautnya, anak-anak muda yang merasa termarginalisasi secara ekonomi atau sosial, mengidentifikasi diri dengan simbol pemberontakan yang ceria dan penuh harapan.

3. Demokratisasi Ekspresi Budaya dan Soundscape

Dulu, sound system dan DJ remix hanya milik klub kota. Sekarang, hajatan, sunatan, warung kopi, hingga arak-arakan di desa bisa punya “konser sendiri”. Inilah demokratisasi suara dan musik.

Sounds horeg adalah bentuk penaklukan ruang publik dengan suara. Di tengah ketimpangan akses hiburan dan ekonomi, masyarakat menciptakan kegembiraannya sendiri: keras, bebas, dan tanpa sensor.

4. Pelepasan dari Tekanan Sosial dan Ekonomi

Dunia penuh tekanan: kerja tidak pasti, harga naik, pendidikan mahal. Maka, sounds horeg dan bendera One Piece adalah pelarian yang riuh dan liar dari kenyataan sosial yang sunyi dan stagnan.

Ini juga bisa dibaca sebagai bentuk escapism kolektif di tengah kemiskinan struktural dan ketiadaan negara dalam menyediakan ruang ekspresi rakyat bawah.

5. Perlawanan Simbolik terhadap Elitisme dan Formalitas

Sounds horeg dianggap “norak”, “kampungan”, tapi justru di situlah letak resistensinya. Ini bentuk penolakan terhadap estetika resmi dan selera kelas menengah kota.

Sementara One Piece adalah simbol bajak laut, kelompok yang hidup di luar sistem, menolak otoritas, dan menjelajahi dunia dengan prinsip kebebasan. Cocok dengan semangat anti-establishment anak muda yang sinis terhadap pemerintah, aparat, atau elit mapan.

6. Kebangkitan Budaya Digital Pedesaan

Media sosial seperti TikTok, YouTube, dan WhatsApp menyebarkan sounds horeg dan video bendera One Piece melambai ke mana-mana. Viralitas ini adalah bukti kebangkitan digital akar rumput.

Konten kampung kini bisa bersaing dan bahkan mengalahkan konten urban. Ini memutar balik arus budaya: bukan dari kota ke desa, tapi dari desa ke seluruh dunia.

Kesimpulan:

- Fenomena sounds horeg dan bendera One Piece bukan sekadar tren iseng atau norak. Ia mencerminkan:
- Pencarian makna dan identitas oleh rakyat kecil
- Resistensi terhadap struktur sosial yang timpang
- Kreasi budaya alternatif dari akar rumput
- Penaklukan ruang publik dan digital oleh ekspresi subkultur

Ini adalah bagian dari politik kebudayaan generasi baru, yang membaurkan globalitas anime, lokalitas kampung, dan keresahan sosial menjadi satu ekspresi kolektif. “Bukan cuma musik hajatan dan bendera anime: ini perlawanan, ini budaya, ini revolusi suara dari bawah.”