Jargon Efisiensi, Praktek Boros: Para Menteri Serakah dan Nirempati

Image 3
Sri Mulyani dalam sebuah penampilan

Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior

JARGON efisiensi anggaran bergema kencang. Menekan pemborosan, dan menyejahterakan rakyat. Geser-geser anggaran untuk makan bergizi gratis (MBG) buat anak-anak sekolah. Mulia sekali.

Tapi kenyataannya? Dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR, para menteri berlomba minta  tambahan anggaran tahun 2026. Jumlahnya pun tidak main-main. Masing-masing puluhan hingga ratusan triliun rupiah!

Ini bukan sekadar inkonsistensi. Ini pengkhianatan terhadap janji politik. Bukan cuma itu, juga pengabaian terhadap penderitaan rakyat. Padahal APBN kita nyaris selalu defisit. Menteri Keuangan Sri Mulyani harus menambal kekurangan anggaran lewat utang, pajak, dan pungutan baru. Bentuknya, ada pajak karbon, kenaikan PPN, serta potensi beragam pajak lain yang membuntuti.

Kalau memang anggaran defisit, kenapa para menteri malah berlomba minta tambah jatah? Kalau dibilang dungu nanti marah. Tapi bukankah ini bukti bahwa mereka tak paham prioritas? 

Atau malah memang rakus dan tak berempati? Lebih gawat lagi, tambahan anggaran itu mayoritas untuk kegiatan operasional, pembangunan infrastruktur baru, dan proyek-proyek yang secara langsung tidak menyentuh perut rakyat. 

Di sisi lain, rakyat harus berjibaku hanya agar bisa makan hari ini. Saat sakit, menerima perlakuan jauh dari beradab. Anak-anak sekolah menyeberangi sungai berarus deras, belajar di gedung-gedung reot  yang nyaris roboh. Guru-guru bergaji jauh di bawah UMR. Petani menjerit karena pupuk langka dan harga panen yang jatuh ke titik nadir.

Pengemis Elit

Kita menyaksikan kelakuan kabinet yang tak ubahnya tukang minta-minta. Tapi dengan gaya elite. Berdalih alasan strategis dan target-target ambisius yang belum tentu realistis.

Kondisi ini mengingatkan kita pada ayat Al-Qur’an yang menggambarkan sifat pemimpin dzalim:

وَاِ ذَاۤ اَرَدْنَاۤ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا

"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan negeri itu sehancur-hancurnya." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 16).

Tanda-tanda itu kini terpampang nyata. Para elit negeri tidak sekadar abai. Mereka malah mempermainkan akal sehat publik. Bayangkan, di 2025 para menteri itu belum bekerja optimal. Tapi sudah minta anggaran tambahan untuk 2026. Rakyat belum melihat hasil nyata dari kerja mereka. Tapi negara sudah diminta menyediakan dana jumbo untuk mimpi-mimpi mereka.

Kita butuh pemimpin yang mengencangkan ikat pinggang. Bukan justru menambah lubang ikat pinggang demi perut dan syahwat sendiri. Kita butuh keberanian untuk mengatakan cukup! Tak semua proyek harus dibiayai negara. Tak semua mimpi elite harus dikabulkan. Negara ini sedang sakit. Rakyatnya makin sesak napas karena biaya hidup yang melonjak tanpa henti.

Pada titik ini Presiden Prabowo harus tegas pada para pembantunya. Kalau benar dia peduli pada rakyat, seharusnya dia marah melihat pemborosan ini. Kalau benar Prabowo ingin menegakkan kedaulatan anggaran, seharusnya dimulai dari kabinetnya sendiri.

Kalau tidak, jangan salahkan kalau publik menilai jargon efisiensi hanyalah kedok. Yang sejatinya berjalan adalah politik rente, budaya korup. Juga mental penguasa feodal yang merasa negara ini milik segelintir elite.

Pada akhirnya, tak lama lagi, rakyat akan sadar: bahwa mereka tak sedang dipimpin. Tapi telah, sedang dan akan terus ditipu.

Berita Terkait

Berita Lainnya