Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior
DALAM teori, TNI dan Polri adalah alat negara. Mereka digaji rakyat, dibiayai APBN. Juga dilindungi konstitusi untuk menjaga kedaulatan, hukum, dan keamanan rakyat. Tapi dalam praktik, kenyataan sering kali berbeda. Di tengah cengkeraman kekuasaan oligarki, dua institusi ini sering dipaksa memilih: berpihak ke rakyat atau melayani pemilik modal? Sayangnya, terlalu sering kita melihat mereka berada di sisi yang salah.
TNI lahir dari rahim revolusi. Awalnya, mereka adalah pejuang kemerdekaan. Tapi sejak Orde Baru, posisinya berubah, dari pelindung rakyat menjadi pengaman kekuasaan. Dwifungsi ABRI membuat militer bercokol dalam pemerintahan, bisnis, dan politik.
Polri pun serupa. Setelah dipisah dari TNI, Polri diharapkan menjadi sipil yang profesional. Tapi yang terjadi: Polri malah tumbuh jadi institusi raksasa dengan kewenangan luas. Jangakaunnya dari pengamanan proyek hingga bisnis keamanan.
Siapa yang Mereka Lindungi?
Lihat saja fakta-fakta di lapangan. Di Rempang: Rakyat Melayu diusir. Aparat bersenjata lengkap turun tangan. Anak-anak SD lari pontang-panting dikepung gas air mata. Nenek-nenek yang poskonya dirusak, malah jadi tersangka. Semua demi proyek Rempang Eco City, kolaborasi antara oligarki dan negara.
Di Morowali dan Konawe juga begitu. Buruh tambang menuntut hak atau protes kondisi kerja tidak manusiawi. Aparat datang bukan untuk melindungi, tapi justru menekan. Bahkan sering kali berhadapan langsung dengan tenaga kerja lokal demi kepentingan investor asing.
Di Wadas, Kulon Progo, Kendeng sama saja. Para petani menolak tambang batu andesit, bandara, atau pabrik semen. Apa yang datang? Truk Brimob, barikade aparat, penangkapan, penahanan, dan kriminalisasi.
Pertanyaannya: sebetulnya aparat ini sedang melindungi siapa? Rakyat atau konglomerat? Masalah utamanya bukan semata individunya, tapi kultur dan orientasi kelembagaan.
TNI dan Polri kini kerap diposisikan sebagai pelindung oligarki berdalih stabilitas investasi. Mereka dipakai untuk mengamankan bermacam kepentingan oligarki berbalut proyek strategis nasional (PSN). Padahal ujung-ujungnya untuk para pengusaha besar dan investor luar.
Aparat dibentuk untuk taat pada komando. Bukan berpihak pada nurani. Maka ketika perintah datang, mereka lebih memilih patuh daripada bersikap. Bisa jadi perintah itu bertentangan dengan keadilan. Akibatnya, rakyat yang memperjuangkan haknya justru dianggap ancaman.
Mungkinkah Ada Faksi Pro-Rakyat?
Ini pertanyaan penting. Apakah bisa kita berharap pada sebagian elemen TNI dan atau Polri untuk berpihak pada rakyat?
Jawabannya: mungkin. Tapi berat.
Masih ada perwira yang sadar. Masih ada polisi yang jujur. Tapi mereka minoritas. Posisinya juga rawan. Ketika ada yang coba membela rakyat, mereka bisa dicopot, dimutasi. Bisa juga dikriminalisasi oleh sistem yang sudah menyatu dengan kepentingan oligarki.
Tanpa perubahan struktur dan kontrol sipil yang kuat, sulit berharap perubahan dari dalam. Yang lebih mungkin adalah membangun tekanan publik, opini masyarakat. Harua ada solidaritas luas agar aparat tahu bahwa mereka diawasi dan tidak bisa semena-mena.
Jadi, apa sikap rakyat? Pertama, rakyat tidak boleh takut. Aparat adalah abdi negara, bukan majikan. Mereka digaji dari pajak rakyat. Kalau mereka menindas, rakyat berhak melawan. Protes, advokasi, kampanye media, hingga jalur hukum. Revolusi? Hmmm...
Kedua, rakyat harus terus merekam, membongkar, dan menyuarakan ketidakadilan. Setiap kekerasan oleh aparat harus disebarluaskan. Setiap pelanggaran harus diungkap. Karena hanya dengan pencahayaan publik, penyimpangan bisa dicegah.
Ketiga, rakyat harus membangun kekuatan sendiri, dari bawah. Jangan menunggu perubahan dari atas. Jangan bergantung pada elite politik atau jenderal yang katanya pro-rakyat. Kekuatan itu harus lahir dari solidaritas komunitas, jaringan aktivis, pesantren, kampus, dan media independen.
Siapa Kawan, Siapa Lawan
TNI dan Polri akan terus jadi alat. Tinggal pertanyaannya, alat siapa? Apakah alat untuk menegakkan keadilan dan melindungi rakyat? Atau alat kekuasaan dan penjaga kepentingan oligarki?
Itu tergantung siapa yang memegang kendali, dan siapa yang paling bersuara. Kalau rakyat diam, oligarki akan terus menggunakan mereka sebagai tameng. Tapi kalau rakyat bersatu, mengawasi, dan melawan, maka aparat pun akan berpikir ulang untuk terus jadi jongos oligarki.
Bagaimana Zohran Mamdani menggarap polisi dan tentara di New York City? Bagaimana dia bisa menang pemilihan Walikota? Padahal dia “menggarap” polisi dan tentara bukan untuk dirangkul, tapi untuk dilawan. Mamdani menjadikan isu aparat sebagai musuh politik kelas yang perlu dibatasi kekuasaannya, dipangkas anggarannya, dan dikembalikan pada posisi yang diawasi rakyat.
Mungkinkah cara itu diterapkan di Indonesia? Hampir pasti tidak! Jika langkah Mamdani dilakukan di sini, sangat mungkin sang tokoh sudah "diselesaikan sejak awal." Boro-boro menang pemilihan, bisa mendaftar sebagai calon saja belum tentu. Sangat mungkin dia berakhir di balik jeruji besi. Bahkan bukan mustahil, si calon tinggal nama.
Mamdani tak pernah mengemis pada oligarki. Dia juga tak minta beking aparat. Dia melawan. Dan Mamdani menang. Di New York, itu mungkin. Tapi di Indonesia, itu bisa jadi bunuh diri politik.
Tapi sejarah punya catatan sendiri. Ketika rakyat bangkit, benar-benar bangkit,
bahkan pasukan bersenjata pun tak bisa membungkam suara kebenaran.
Perlu orang berani. Out of the box. Tidak tunduk pada oligarki dan para bandar. Berani melawan sistem bobrok. Detilnya? Silakan baca ulang seri pertama artikel Mamdani Efek ini...