Jakarta, MNID. Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Potensi Perang Dunia dan Kesiapan Indonesia ke Depan” yang digelar di kantor GREAT Institute, Jakarta Selatan, Jumat, 4 Juli 2025, menghasilkan empat rekomendasi strategis.
Pertama, mendesak pembentukan Undangundang Keamanan Nasional dan Dewan Keamanan Nasional sebagai organ vital dalam menghadapi krisis.
Kedua, mendorong penguatan Komponen Cadangan (Komcad) sebagai kekuatan rakyat semesta dalam sistem pertahanan nasional.
Ketiga, menegaskan bahwa politik luar negeri bebas aktif harus berlandaskan kepentingan nasional dan keseimbangan strategis.
Dan keempat, menyatakan keyakinan kolektif bahwa Presiden Prabowo Subianto memahami lanskap global dan perlu terus didukung dalam mewujudkan strategi keamanan nasional Indonesia.
Sebelumnya, saat membuka FGD, Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. Syahganda Nainggolan, mengatakan, “Situasi dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Dan dalam kondisi seperti itu, negara ini tidak boleh tidur.”
Perang Sudah di Gerbang, Apakah Kita Siap?
FGD yang berlangsung selama lebih dari tiga jam itu menghadirkan lebih dari 15 narasumber dari kalangan pertahanan, akademisi, hingga diplomat.
Pembicara utama adalah Dr. Drajad Wibowo, Dr. Anton Permana, dan mantan Dubes RI untuk Mesir Helmy Fauzi, serta jajaran pakar seperti Dr. Stepi Anriani, Dr. Zarman Syah, Dr. Sunoto, Dr. Rahmi Fitriyanti, hingga Komjen (Purn) Izza Fadli dan Dr. Teguh Santosa.
Dr. Drajad Wibowo menyoroti kesiapan fiskal Indonesia yang jauh dari cukup.
“Kinerja penerimaan negara semester pertama 2025 justru turun dari Rp1.458 triliun ke Rp1.451 triliun. Kalau penerimaan tidak cukup, bagaimana bisa kita beli alutsista, apalagi memperkuat pertahanan?” katanya. Drajad juga menilai, “Presiden Prabowo visioner, tapi visi itu butuh detail. Dan detail itu yang harus kita bantu susun bersama.”
Menurutnya, Indonesia membutuhkan cara-cara luar biasa untuk meningkatkan pendapatan negara. Salah satunya, dengan memanfaatkan kecanggihan intelijen dan teknologi untuk menggali potensi pajak tersembunyi, termasuk dari praktik transfer pricing, border economy, dan tunggakan pajak inkrah. Yang terakhir saja nilainya mencapai Rp99 triliun.
Sementara itu, Dr. Anton Permana memperingatkan soal “peta panas” dunia.
“Setidaknya ada lima titik panas yang harus kita waspadai: Ukraina, Timur Tengah, Taiwan, Laut China Selatan, dan konflik India–Pakistan,” kata Anton. Ia juga mengungkap bahwa Australia memiliki 23 pangkalan rudal yang mengarah ke Indonesia, sementara pertahanan udara RI masih mengandalkan pesawat generasi keempat.
“Kalau kita ingin perdamaian, maka kita harus kuat. Dan kekuatan itu tidak cukup hanya lewat niat, tapi juga lewat struktur,” ujar Anton. Ia pun menyarankan segera dibentuknya Dewan Keamanan Nasional, agar koordinasi antara intelijen, diplomasi pertahanan, dan kebijakan strategis tidak lagi berjalan sendiri-sendiri.
Helmy Fauzy menyentil pentingnya ketegasan diplomasi. “Amerika sudah memindahkan 60 persen kekuatan militernya ke Asia Pasifik. Kalau ASEAN tidak dikuatkan, kita hanya akan jadi panggung pertarungan superpower,” katanya.
Ia memuji langkah Presiden Prabowo yang membawa Indonesia masuk ke BRICS, “Sikap kita kini tegas. Beda dengan era sebelumnya yang masih gamang.”
Pandangan senada disampaikan oleh Dr. Rizal Dharma Putra yang mengingatkan bahwa kini, pengambilan keputusan luar negeri banyak dikendalikan oleh individu pemimpin negara.
“Ini membuat situasi lebih fluktuatif dan berbahaya,” katanya. Oleh sebab itu, menurut Rizal, Indonesia harus menjaga posisi strategisnya dengan prinsip keseimbangan yang cerdas.
Dr. Stepi Anriani, pakar pertahanan dan intelijen, menyebut perang kini telah bergeser menjadi multidomain warfare. “Perang tidak lagi frontal, tapi simultan dan presisi. Lihat serangan B-2 Spirit Amerika ke fasilitas Iran atau rudal presisi Iran ke Israel. Semua terukur,” ujarnya.
Ia menegaskan pentingnya memperkuat Komcad seperti yang dilakukan China. “Mereka bahkan melatih nelayan jadi bagian dari sistem pertahanan. Kita harus bisa berpikir sepraktis itu,” kata Stepi. Ia mengusulkan agar Komcad dilatih menjadi milisi laut dan ditempatkan untuk menjaga pulau-pulau terluar Indonesia.
Diskusi juga menyoroti pentingnya skenario contingency planning, kelemahan logistik pertahanan, serta kebutuhan akan transformasi strategi nasional dari sekadar “resiliensi” menuju “respons tangkas berbasis intelijen dan teknologi.”
“Perang modern itu cukup dengan satu tombol,” ujar Dr. Sunoto, menyinggung urgensi mengubah doktrin lama dan memperkuat kemampuan early warning.
Menariknya, sejumlah pembicara seperti Dr. Nur Hayati Assegaf dan Ahmad Yani juga mempertanyakan: apakah visi besar Presiden Prabowo benar-benar didukung oleh susunan kabinet yang kuat? Apakah ketimpangan fiskal bisa segera ditambal? Dan sejauh mana kita mampu mengejar ketertinggalan teknologi?
Teguh Santosa, wartawan senior dan pengamat global, menegaskan, “Dalam dunia yang anarkis, setiap negara harus selfish.” Ia menyebut aspek deterrence bukan hanya militer, tapi juga kualitas SDM. “Kita pengguna gadget terbanyak, tapi indeks baca terendah. Ini ironi yang berbahaya.”
Di akhir diskusi, Dr. Syahganda menyimpulkan: “Kalau kita tidak bersiap, kita akan jadi korban. Pembentukan UU Keamanan Nasional dan Dewan Keamanan Nasional bukan pilihan, itu kebutuhan mutlak.”
Ia menambahkan, politik luar negeri Indonesia tak cukup dengan slogan bebas-aktif. “Harus ada keseimbangan. Harus ada ketegasan.”
Penutup: Bangsa Siaga, Bukan Bangsa Pelupa
Sebagai penutup, GREAT Institute mengingatkan bangsa ini pada satu pelajaran dari sejarah: dunia tak pernah benar-benar damai. Dan dalam kata George Kennan, arsitek strategi containment AS saat Perang Dingin, yang dalam diskusi dikutip Rizal Dharma Putra: “You have no idea what an intelligent person, fully informed, could do for this country—if we would only give him the chance.”
Hari ini, Indonesia memiliki pemimpin yang memahami medan global. Tapi seperti disampaikan berulang kali dalam FGD ini: pemimpin hanya bisa setangguh rakyat dan sistem yang menopangnya.
Kini, tinggal satu pertanyaan tersisa: Apakah kita siap menjadi bangsa yang menopang visi itu?