Oleh: Adhie M. Massardi, Penyair dan Pemikir Kebangsaan
IJAZAH adalah simbol personal moral intelektual. Maka mempersoalkan keaslian ijazah pemimpin nasional (Joko Widodo) pertanda kembalinya kesadaran kolektif moral intelektual, setelah nyaris sepuluh tahun terakhir terkapar dalam keteleran kolosal bius kekuasaan yang menjengkelkan.
Benar, “Kehadiran Joko Widodo sebagai pemimpin negara membawa arus besar anti-intelektualisme dalam masyarakat. Banyak orang kemudian tidak lagi menghargai pikiran, bahkan mengembangkan sinisme terhadap kedalaman pengetahuan. Para cerdik cendekia sendiri terbawa arus keraguan ini dengan tidak memercayai nilai pikirannya.”
Kesimpulan “pemikir kebangsaan dan kenegaraan” Yudi Latif di atas, yang disampaikan setelah melihat sepak-terjang Joko Widodo dalam 100 hari pertama menjalankan amanat kekuasaannya diharapkan menjadi peringatan dini bagi bangsa ini (Negara Sengkarut Pikir, Yudi Latif, Kompas, 02/02/2015).
Akan tetapi arus besar anti-intelektualisme yang digelontorkan Joko Widodo ternyata bergerak lebih cepat dalam menghempaskan common sense (akal sehat masyarakat). Pemerintahan berjalan di luar kaidah konstitusi. Kebijakan meluncur meninggalkan basis ilmu pengetahuan. Infrastruktur dibangun dengan ngawur. Amdal (analisa dampak lingkungan) diabaikan.
Tidak Seganas Pol Pot
Gelombang anti-intelektualisme gaya Joko Widodo memang tidak seradikal dan seganas Pol Pot, pemimpin Khmer Merah (partai komunis Maois) yang berkuasa di Kamboja (1976-1979) dan melakukan genosida, pembantaian sangat keji terhadap kaum intelektual bangsanya.
Kisah nyata horor yang menewaskan lebih dari 1,5 juta jiwa ini diabadikan dengan sangat mencekam dan kuat oleh Roland Joffé, sineas kelas satu dalam film The Killing Fields (1984), yang berbasis biografi Dr Dith Pran (Haing S Ngor) yang lolos dari ladang pembantaian di Kamboja.
Namun demikian tidak berarti gelombang anti-intelektualisme rezim Joko Widodo tidak menimbulkan trauma politik pada bangsa ini. Jaringan buzzer terorganisir pendukung rezim bergerak liar dan militan. Nebar kohesi sosial, membelah keharmonisan anak bangsa, dan fokusnya melakukan “pembunuhan karakter” secara brutal terhadap para pengeritik Joko Widodo.
Melalui tangan-tangan kekuasaan rezim Joko Widodo juga membungkam gerakan moral di seluruh kampus (perguruan tinggi), mulai dengan mencekik gerak-gerik rektor, dewan guru besar hingga aktivis mahasiswanya. Ketakutan menyatakan pendapat meluas ke segala arah. Kaum intelektual jadi tumbal kekuasaan.
Menelan Matahari
Mudah diduga, instrumen demokrasi yang dibangun dengan semangat reformasi jadi basi. Mahkamah Konstitusi dan lembaga anti-korupsi (KPK) dikebiri. Nasib DPR lebih buruk dari zaman Orde Baru. Stempelnya dibawa ke Istana, sehingga setiap RUU, mulai dari Omnibus Law sampai IKN cukup lewat Senayan untuk jadi UU.
Nah, perjalanan 10 tahun pemerintahan Joko Widodo yang ugal-ugalan ini dikemas dengan cepat dan tepat oleh Ubedilah Badrun, eksponen angkatan ‘98 yang tegar menjaga moral intelektualnya. Ubed ngemas langkah pemerintahan Joko Widodo dalam buku “Jejak Gelap Kekuasaan”.
Ubedilah Badrun menggunakan perspektif ilmu sosial kritis dalam mengurai kekuasaan sepanjang episode Joko Widodo. Ditemukan fakta empirik simulacra politik, kleptokrasi, ular oligarki yang melingkar di Istana, new despotism, autocratic legalism, new otoritarianisme dan lain-lain, yang kemudian mengejawantah Batara Kala, dewa kejahatan yang dalam mitologi Jawa menelan matahari. Indonesia pun gelap!
Bangkitnya Kaum Intelektual
Syahwat politik Joko Widodo yang kian menggelegak, mau ngubah Konstitusi untuk nambah periode kekuasaan, membangun dinasti politik keluarga, pada akhirnya menyentak tidur nyenyak para cendekiawan. Kampus-kampus pun membunyikan alarm tanda bahaya. Indonesia harus dibangunkan!
Maka muncul Dirty Vote, videografi nguliti rencana busuk Joko Widodo dalam pemilu yang (akan) digelar (2024). Dengan argumentasi ilmiah-akademis, dan fakta-fakta empirik, Dirty Vote yang dimotori tiga intelektual ahli Hukum Tata Negara (Zainal Arifin Muchtar, Feri Amsari, Bivitri Susanti dan sineas Dandhy Laksono) menjadi fenomenal, dan kemudian terbukti di kemudian hari.
Kesadaran kalangan intelektual kampus yang sudah dicemari penguasa terus menggeliat. Sebanyak 303 Guru Besar dan Akademisi serta tokoh masyarakat sipil menggedor pintu Mahkamah Konstitusi, memberikan dukungan moral pada para hakim MK agar membuat putusan adil dalam sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Dokumen dukungan kalangan intelektual kepada para hakim MK itu dikemas dalam Amicus Curiae (sahabat pengadilan). Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Sulistyowati Irianto dan Akademisi UNJ DR Ubedilah Badrun mewakili mereka menyerahkan Amicus Curiae ke MK (28/3/2024).
Meskipun belum memberikan hasil signifikan, gerakan intelektualisme (semacam renaisan kecil-kecilan) terus menggelinding. Berusaha menemukan bentuknya yang lebih baik.
Memasuki pemerintahan baru (Prabowo Subianto), yang kemenangannya dalam pilpres 2024 dicawe-cawei Joko Widodo, kalangan intelektual makin percaya diri. Civil society mulai ambil posisi sebagai penjaga moral intelektual.
Maka ketika Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Prof. Ir. Satryo Soemantri Brodjonegoro, M.Sc., Ph.D. dianggap nyimpang dari etika dan kaidah kepemimpinan, para cerdik cendekia di kementeriaan pun nyatakan sikap. Menolak arogansi kekuasaan. Tak lama kemudian Presiden Prabowo Subianto mengganti Prof Satryo.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang tak kalah arogannya dari Satryo, bahkan mendapat reaksi keras bukan hanya dari dalam kementeriaannya. Nyaris semua Gur Besar dari banyak sekali Fakultas Kedokteran di berbagai perguruan tinggi mengeritik kebijakannya. Konon Presiden Prabowo juga sudah mulai merasa gundah akan tingkah polah Menkes Budi Gunadi.
Kesimpulan
Melihat pergolakan pemikiran di kalangan intelektual kita belakangan ini, tampaknya sedang bergulir gerakan intelektualisme di negeri ini. Mereka ingin mengambil kembali pola berpikir sehat, moral intelektual yang digelapkan Joko Widodo selama 10 tahun kekuasaannya.
Dalam konteks ingin menegakkan kembali moral intelektual itulah para cerdik cendekia terus melakukan speak up, sahut-menyahut, tentang pentingnya ijazah sebagai simbol personal moral intelektual itu.
Maka dengan kemampuan akademisnya, menggunakan metoda imliah yang landasi niat menghentikan kebohongan intelektual, Rismon Sianipar, Roy Suryo, Dokter Tifa dan sejumlah ahli lainnya bekerja keras, mikul berbagai risiko, nelakukan penelitian soal keaslian ijazah Joko Widodo.
Harapan mereka, sebenarnya juga harapan kita semua, skandal ijazah Joko Widodo ini bisa diungkap dengan sungguh-sungguh, sehingga menutup kisah gelap bangsa ini dengan happy ending. Kebathilan bisa dikalahkan oleh kebaikan. Kebohongan dikalahkan oleh kejujuran.
Puncaknya, pohon keadilan bisa tumbuh tegak lurus ke langit Indonesia. Dan zaman Kalabendu, zaman penuh kebohongan dan ketidakpastian berakhir. Lalu kita bisa memasuki zaman Kalasuba, zaman keemasan, zaman nilai moral dan nilai intelektual ditinggikan.