Jakarta, MNID. Lembaga pemikiran baru bernama GREAT Institute telah resmi diluncurkan pada Selasa, 3 Juni 2025, di Auditorium Telkom Landmark Tower, Jakarta Selatan.
Lembaga ini didirikan untuk menjadi mitra strategis dan kritis bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, khususnya dalam kerja-kerja ideologis, riset, dan pemulihan nalar kebangsaan yang selama ini terkikis kekuasaan dan kebisingan populisme.
GREAT, akronim dari Global Research on Economics, Advanced Technology, and Politics, dipimpin oleh Dr. Syahganda Nainggolan sebagai Ketua Dewan Direktur.
Acara peluncuran dimulai dengan pembacaan sajak “Sajak Sebatang Lisong” karya WS Rendra oleh penyair asal Bandung, Iman Soleh, lalu disambung dengan monolog puitik yang diiringi gesekan biola dan alat musik kuno tarawangsa.
Dalam sambutannya, Syahganda memulai dengan kalimat yang menampar logika kekuasaan hari ini.
“Korupsi hari ini bukan lagi miliaran. Kita bicara triliunan rupiah. Dan pelakunya bukan rakyat bodoh. Mereka lulusan kampus-kampus hebat,” kata dia. “Jadi, kalau Rocky bilang negara ini ber-IQ 78, saya bilang: ini bukan soal kecerdasan. Ini soal kelumpuhan moral kaum terdidik.”
Syahganda menyebut, saat ini bangsa Indonesia tengah berada di titik nadir kredibilitas. “Kita hancur secara kultural. Yang bisa menyelamatkan bangsa ini bukan teknokrat, bukan pengusaha, tapi pemimpin yang punya integritas dan ideologi. Hari ini, kita punya Prabowo,” ujar dia. “Dia sedang melakukan kerja ideologis: menyatu dengan buruh, menantang oligarki hitam, mengembalikan hak negara atas tanah.”
Menurut Syahganda, banyak pihak belum sadar bahwa tindakan-tindakan Presiden Prabowo — seperti pertemuan dengan buruh 1 Mei lalu dan pengambilalihan lahan sawit ilegal — bukan sekadar manuver politik. “Itu langkah ideologis. Dan tugas kami di GREAT adalah mengawal arah itu. Bukan memuji, tapi menjaga agar tak melenceng,” kata dia.
Hadir dalam peluncuran itu sejumlah tokoh nasional, antara lain Rocky Gerung, Hariman Siregar, Hatta Rajasa, Hatta Taliwang, Bima Arya, Prof Yassierly, Hamdan Zoelva, Bursah Zarnubi, Tamsil Linrung, hingga Setiyardi, pembuat tabloid Obor Rakyat.
Rocky Gerung menyebut bahwa langkah GREAT membangun riset dari basis ideologis adalah hal yang sah dan penting. “Di belakang semua problem sosial, pasti ada problem ideologi,” ujar dia. “Bila keringat Prabowo bertemu keringat buruh, penyatuan itu harus lebih besar dari bagian-bagiannya.”
Menurut Rocky, riset tanpa arah ideologis hanya menjadi pelengkap penderitaan. “Kita gagal mendistribusikan keadilan karena terlalu mendewakan pertumbuhan. Ilmuwan dan peneliti harus diberi kebebasan berpikir. Kekuasaan sering tidak paham ilmu pengetahuan,” ujar dia.
Dari barisan aktivis tua, Hariman Siregar memberikan sambutan yang penuh nostalgia. “Saya kenal Syahganda sejak 1989, dia aktivis, sekarang jadi doktor dan mendirikan GREAT. Hebat,” ujar dia. Ia juga mengulas sejarah perlawanan mahasiswa ITB terhadap Soeharto, sembari menyebut bahwa janji Prabowo memberi Rp 5 miliar ke desa-desa bisa menggerakkan Rp 400 triliun anggaran, jika dikelola dengan benar.
Hatta Rajasa menyebut Syahganda sebagai agent of change sejati. “GREAT ini bukan sekadar lembaga riset. Ia dilahirkan dari semangat besar. Dari Sabang-Merauke Circle ke urusan global. Saya tahu, Syahganda ingin GREAT menjadi mitra kritis bagi Prabowo,” ujar dia. “Yang dikritik bukan personal, tapi kebijakan. Agar arah bangsa tidak deviasi.”
Dari sisi parlemen, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menyebut GREAT sebagai harapan baru. “Saya ini dulu peneliti. Tapi frustrasi karena banyak legislasi kita tak berbasis riset. Syahganda bisa isi ruang itu,” kata dia. “Kebijakan publik harus lahir dari data, bukan dari bisik-bisik kekuasaan.”
Sementara itu, Bursah Zarnubi, Ketua APKASI sekaligus Bupati Lahat, menyoroti rendahnya literasi bangsa. “Kita peringkat 70 dari 82 negara menurut PISA. Rata-rata baca hanya 35 menit sehari,” kata dia. “Vietnam bisa ekspor 7 juta ton beras, kopi nomor dua dunia, lobster nomor satu, padahal bibitnya dari Indonesia. Karena itu, budaya riset harus dihidupkan lagi. GREAT bisa jadi motor penggeraknya.”
Bima Arya, Wakil Menteri Dalam Negeri, menyampaikan pentingnya berpikir dialektis dalam desain kebijakan. “Kita harus uji semua desain sistem Pemilu dan UU Politik kita: apakah nyambung dengan semangat sosialistik Prabowo,” kata dia. “Ada Rp 10 triliun efisiensi di Kemendagri yang bisa dialihkan ke kesehatan rakyat.”
Acara juga dihadiri tokoh-tokoh lain seperti Prof. Dian Masyita, Hamdan Zoelva, Deswandi Agusman, Helmy Fauzi, Tito Sulistyo, dan Musa Rajeksah. Menteri Tenaga Kerja Prof Yassierly hadir memberikan dukungan moril atas pentingnya kolaborasi antara riset dan kebijakan publik di masa mendatang.
GREAT Institute bukan sekadar lembaga riset baru. Ia menawarkan arah. Sebuah keberpihakan pada riset yang berani, berbasis integritas, dan bernapaskan keberanian intelektual. Program-programnya akan mencakup riset multidisipliner, pelatihan kebijakan publik, penerbitan jurnal dan policy brief, serta magang untuk generasi muda.
“Kami bukan pelengkap wacana. Kami mitra berpikir strategis bangsa ini,” ujar Syahganda.
Di tengah dunia yang sibuk membangun citra, GREAT memilih membangun nalar. Dan di tengah Republik yang kelelahan, ia datang membawa ulang suara akal sehat.