Meluruskan Hari Lahirnya Pancasila: Dari Piagam Jakarta Hingga Dekrit Presiden

Image 3

Oleh: Dr. Ahmad Yani, SH., MH., Ketua Umum Partai Masyumi

SEJARAH perumusan konstitusi Indonesia menjadi sejarah penting untuk dicatat secara berulang-ulang. Mengingat sejarah itu telah banyak mengalami perubahan akibat penulisan sejarah yang sering berubah-ubah dalam setiap rezim yang berkuasa, sehingga menimbulkan beragam tafsiran sejarah.

Sejarah yang benar dan objektif harus dituliskan secara benar dan objketif pula, karena itu menjadi ingatan kolektif bangsa yang akan menjdi warisan kearifan bagi generasi bangsa.

Sepahit dan segemilang apapun sejarah itu, wajib dijelaskan, agar kedepan menjadi pelajaran bagi setiap generasi.

Namun patut disayangkan, penulisan sejarah Indonesia selalu meminggirkan peran tokoh-tokoh tertentu, dan mengagungkan tokoh-tokoh tertentu, sehingga nilai sejarah menjadi pengkultusan, bukan pelajaran.

Begitupula dengan sejarah perumusan konstitusi dan dasar negara, tidak luput dari proses penulisan sejarah yang mengultuskan tokoh tertentu dan meminggirkan peran kolektif tokoh-tokoh lain.

Misalnya, dalam Naskah Risalah Sidang Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) terdapat sebagian besar pidato-pidato golongan Islam maupun golongan lainnya yang hilang dari catatan pembukuan sejarah itu.

Dalam Buku Moh. Yamin misalnya, begitu banyak pidato-pidato yang terlewatkan, dan hanya memuat lengkap pidatonya sendiri, Pidato Prof. Soepomo dan Pidato 1 Juni 1945 yang dibacakan oleh Soekarno.

Belakangan upaya untuk mencari dan menemukan pidato-pidato yang hilang itu dilakukan. Meskipun hanya sebagian yang sudah ditemukan, namun sebagian besar masih menjadi misteri, dimana naskah-naskah pidato itu.

Dengan demikian, artikel-artikel yang di bacakan dalam sidang itu, yang dikumpulkan oleh penulis buku-buku risalah menjadi tidak lengkap. Sesuatu yang sangat disayangkan.

Karena itu kita perlu merumuskan sejarah dengan sebenar-benarnya, sehingga setiap peristiwa tidak menjadi penghakiman dan peminggiran golongan tertentu dan meninggikan golongan yang lain.

Tulisan singkat ini membahas mengenai sejarah Pancasila dan sejarah konstitusi, mengingat hari ini tanggal 1 Juni yang telah ditetapkan oleh pemerintah Joko Widodo sebagai hari lahirnya Pancasila. Meskipun tidak sempurna tulisan ini ingin menggambarkan peristiwa sejarah itu secara runut.

Perumusan sejarah konstitusi indonesia merupakan sejarah yang terbengkalai. Apakah itu upaya untuk mengaburkan sejarah atau memang tidak adanya dokumentasi yang rapi dari notulensi rapat pada saat itu, itu masih belum dapat dijelaskan.

Semenjak Jepang memberikan jalan bagi Indonesia untuk merdeka, semenjak itu ada semangat yang menggelora dalam tubuh bangsa Indonesia. Jepang membentuk Dokutsu Zyunbi Tjoosakai sebuah badan yang dikenal sebagai Badan Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan (BPUPK).

Praktis, badan inilah yang merumuskan persiapan Indonesia Merdeka. Di dalam badan ini berkumpullah tokoh-tokoh bangsa merumuskan Konstitusi dan dasar Indonesia Merdeka.

BPUPK terdiri dari 62 (enam puluh enam) anggota, dan ditambah anggota istimewa 6 orang, sehingga secara keseluruhan dengan jumlah 68 (enam puluh delapan) anggota.

Apa yang hendak dirumuskan oleh Badan itu? Dalam risalah rapat dapat kita ketahui, Pada sidang Pertama BPUPK tanggal 29 Mei 1945, ketua BPUPK dr. Radjiman Wedyodijingrat ketika membuka sidang, bertanya kepada anggota badan itu: “apakah filososfiche groundslaag Indonesia merdeka?

Dari pertanyaan itu, muncullah beberapa tokoh yang membicarakan tentang dasar negara. Ada yang mengusulkan dasar negara indonesia merdeka berdasarkan prinsip-prinsip nasionalisme, ada pula yang berpandangan tentang dasar negara menurut Islam.

Maka lahirlah dua kekuatan besar, yaitu, golongan Nasionalis Islam dan golongan Nasionalis Sekuler. Kedua golongan saling mengajukan pandangannya mengenai negara yang hendak dibentuk.

Ki Bagus Hadikusumo misalnya, menghendaki negara Republik Islam, Soekiman Wirjosandjojo menginginkan negara khilafah. sementara Soekarno menghendaki negara republik sekuler. Kedua golongan ini saling mengajukan ke muka sidang tentang ide kenegaraan.

Dari tanggal 28 Mei – 1 Juni 1945 para anggota BPUPK telah mengajukan pendapat yang berbeda-beda. Sepanjang perdebatan itu masih berputar pada soal falsafah dasar negara yang hendak dididirikan.

Dari catatan sejarah dapat kita temukan, bahwa perdebatan itu menjadi semantik dan penuh dengan argumentasi, referensi dan pandangan yang cukup beragam. Namun belum menemui titik temu, negara apakah yang hendak dibangun.

Dalam perdebatan panjang itu, ada ide yang sama dari pada anggota BPUPK, bahwa negara yang hendak dibangun adalah negara Republik. Pertanyaanya kemudian republik seperti apa yang hendak dibangun? Apakah republik Islam atau republik Indonesia saja?

Lahirnya Gentlemen Agreeman

Ternyata yang hendak dibangun adalah negara Republik Indonesia. Tapi atas dasar apa negara itu dibangun?

Sejak dibuka dari tanggal 28 Mei – 1 Juni 1945, sudah puluhan anggota Anggota BPUPK yang berpidato mengajukan usulan gagasan mengenai dasar negara.

Pada tanggal 1 Juni 1945 inilah dibentuk panitia 9 atau yang dikenal “panitia kecil” untuk mencari dan merumuskan falsafah dasar Indonesia merdeka.

Kerja Panitia 9 itu menghasilkan apa yang kenal sebagai Piagam Jakarta yang ditandatangani oleh 9 anggota dan disetujui oleh 38 anggota BPUPK pada tanggal 22 Juli 1945.

Untuk pertamanya indonesia mempunyai dasar negara dan itulah yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD yang sekarang ini adalah Dokumen Piagam Jakarta yang disetujui oleh Anggota BPUPK.

Dan Soekarno dengan sangat gigih mempertahankan Piagam Jakarta dengan menyebutnya sebagai “gentlemen agreeman”. Sebuah kesepakatan yang mengikat seluruh bangsa Indonesia.

Piagam Jakarta adalah dokumen pertama yang mengikat seluruh komponen bangsa Indonesia dan untuk pertama kalinya pernyataan kemerdekaan dituangkan diatas kertas dan disepakati oleh anggota BPUPK.

Di dalam Piagam Jakarta kata Haji Agus Salim: Tersimpul dua doa di dalam Al-Quran, yaitu bahwa atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa (la hawla walakuwata illa billah) dan di dorong oleh keinginan luhur supaya kehidupan kebangsaan yang merdeka (innalaha la yughaiyiru bi kaumin hatta yughaiyiru ma biankusikum).

Piagam Jakarta adalah kesepakatan seluruh pendiri bangsa ini. Dan dengan gigih Soekarno mempertahankannya.

Piagam Jakarta Berubah Menjadi Pancasila

Dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesiasetelah adanya Piagam Jakarta, maka disusunlah konstitusi Indonesia Merdeka. Tugas penyusunan itu kemudian disempurnakan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Soekarno dengan wakil Moh Hatta.

PPKI didirikan pada tanggal 7 Agustus 1945. Panitia ini yang praktis menyempurnakan draft Konstitusi Indonesia Merdeka yang akan dijadikan landasan Indonesia Merdeka Kelak.

Namun situasi politik dunia berubah, Jepang mengalami kekalahan demi kekalahan dalam perang. Akhirnya, bom atom di kota Hirosima dan Nagasaki tanggal 6 dan 9 Agustus 1945.

Situasi itu memaksa Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu Amerika Serikat. Tetapi di Indonesia situasi itu baru menjadi pembicaraan penting setelah Soekarno dan Hatta pulang dari Dalat bertemu dengan Jenderal Terauchi.

Dalam situasi demikian PPKI semakin mempermudah pemindahan kekuasaan dari pemerintah Jepang ke pemerintah Indonesia yang baru dan termasuk penunjukan presiden dan wakil presiden, pembagian wilayah, dan pembentukan struktur pemerintahan.

Desakan kemerdekkan kemudian semakin menguat setelah para tokoh-tokoh muda menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus 1945 ke Rengasdengklok Karawang. Disitulah kemerdekaan Indonesia di rumuskan dalam bentuk proklamasi.

Naskah Proklamasi dan Piagam Jakarta yang semula akan dibacakan kemudian akibat penculikan itu tidak jadi dibacakan. Maka pada Hari Jumat Tanggal 17 Agustus 1945 pada Bulan Suci Ramadhan Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno didampingi oleh Moh. Hatta.

Piagam Jakarta, Pancasila dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 setelah diproklamasikan kemederkaan Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI bersidang untuk menetapkan Piagam Jakarta sebagai falasafah dasar negara dan mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar hukum bagi negara Indonesia.

Namun sebelum tanggal 18 Agustus itu, Sore hari setelah pembacaan Proklamasi itu, Menurut Cerita Bung Hatta, bahwa ia di datangi oleh Opsir Kaigun (Pembantu Laksamana) menyampaikan keberatan orang Indonesia Timur akan tujuh kata dalam piagam JAKARTA itu. Cerita Bung Hatta yg belum bisa terbukti kebenarannya sampai hari ini.

Besoknya tanggal 18 Agustus adalah rapat pemilihan Presiden dan Wakil Presidn serta Penetapan UUD 1945. Falsafah dasarnya adalah Piagam Jakarta yg ditetapkan lebih dulu sebelum Indonesia Merdeka.

Sidang yang rencananya dimulai tanggal 9 pagi di undur sampai jam 11. Lobby pun tak bisa dihindarkan, saling bertahan dalam kesepakatan dan penetapan tgl 22 itu menjadi taruhan. Namun tokoh Islam dgn pemegang kuncinya adalah Ki Bagus Hadikusumo (Waktu itu menjabat Hoofbestur atau Ketua umum PP Muhammadiyah) dengan mediasi Kasman Singodimedjo (Salah satu pengurus pusat muhammadiyah) Teuku Hasan (ulama aceh) dan tokoh Islam lainnya merelakan tujuh kata itu dihapus demi Kautuhan Bangsa dan negara.

Maka tanggal 18 Agustus 1945 Piagam Jakarta yg ditetapkan tanggal 22 Juni itu di Ubah menjadi Pancasila Tanggalm 18 Agustus 1945.

Polemik mengenai Piagam Jakarta itu terus berlanjut hingga sidang konstituante pada rentang waktu 1955-1959.

Bagi golongan Nasionalis Islam di Konstituante mereka menginginkan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjadi Pembukaan UUD  sebagai rumusan perpaduan. Sementara Golongan Nasionalis menginginkan Pancasila 18 Agustus 1945 menjadi rumusannya.

Namun dalam suasana yang merdeka seperti itu, setelah lama sekali memperdebatkan Konstitusi, M. Natsir (menurut Dr. Abdullah Hehamahua) bertemu dengan Ketua Partai Katolik Kasimo. Dalam pertemuan itu, ada keinginan untuk mengambil jalan kompromi antara golongan Islam dan Kristen Katolik pada waktu itu.

Natsir mencoba meyakinkan dasar negara menurut perspektif Islam dan hukum Islam. Setelah memberikan penjelasan singkat yang terang benderang, Kasimo dengan penuh keyakinan mengatakan “kalau itu yang dimaksud dengan hukum Islam maka saya menerimanya sebagai dasar negara”. Ketika itu pula kekuatan Islam bertambah di Konstituante dengan kesiapan Kasimo untuk mendukung dasar negara Islam itu.

Namun Soekarno yang pada saat itu berada di luar negeri tepatnya di Tokyo mendengarkan ada perubahan peta politik di Konstituante maka pada tanggal 3 Juni 1945 keluar Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Perpu.040/1959 tentang Larangan adanya kegiatan-kegiatan politik yang dikeluarkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution (KSAD). Dengan keluarnya Peraturan tersebut praktis Sidang Konstituante tidak dapat dilaksanakan.

Akhirnya tanpa melakukan pembicaraan dan permusyawaratan dengan Pimpinan Konstituante Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang berisi kembali kepada UUD 1945 yang di dalamnya dijiwai oleh Piagam Jakarta. Terlepas dari kontroversi di sekitaran kelahirannya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah menjadi dokumen hukum yang legal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, itu merupakan revolusi hukum yang sangat berpengaruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Artinya, Kembali ke UUD 1945 (UUD Asli) adalah sebuah keharusan karena di dalamnya dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juli 1945. Jadi secara historis, maupun secara hukum, kembali ke UUD 1945 adalah salah satu langkah untuk mendaulatkan bangsa ini dan kembali kepada piagam Jakarta untuk tegaknya syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagaiman tertulis dalam Biografi M. Natsir (Lukman Hakiem, 2019) Ketika dukungan terhadap Pancasila dan Islam tidak memperoleh dukungan yang cukup, Para Anggota Konstituante bersepakat untuk kembali Ke UUD 1945. Pihak Islam melalui Amandemen K.H. Masjkur menghendaki PIagam Jakarta 22 Juni 1945 dijadikan Pembukaan, dengan pihak Pancasila menghendaki Pembukaan yang disahkan oleh PPKI 18 Agustus 1945. Ketika di voting tidak ada yang mampu mencapai suara Mayoritas.

Sehubung dengan rencana pemerintah kembali ke UUD 1945, Sembilan belas anggota parlemen mengajukan Pertanyaan kepada Perdana Menteri Djuanda. Diantara 19 anggota parlemen itu, Anwar Hadjono (Masyumi) dan Ahmad Sjaichu (NU) menekankan pertanyaan tertulis tentang pengakuan terhadap adanya piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Anwar Harjono Anggota Konstituante dari Masyumi mempertanyakan beberapa hal mengenai rencana keluarnya dekrit Presiden. Apakah yang dimaksud dalam Putusan Dewan Menteri tentang pengakuan Piagam Jakarta, apakah hanya sekedar pengakuan historis hanya dipergunakan secara insidentil atau pengakuan itu mempunya kekuatan UUD?

Pertanyaan itu dijawab secara tertulis oleh PM Djuanda Pada tanggal 25 Maret 1959. “ Dengan Kembali ke UUD 1945 diharapkan agar kita dapat memulihkan potensi nasional kita, setidak-tidaknya memperkuatnya jika dibandingkan dengan masa sesudah akhir 1949. Dengan memulihkan, mendekati hasrat golongan-golongan Islam, Pemerintah mengakui Pula adanya Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang mendahului pembentukan UUD 1945… Walaupun Piagam Jakarta tidak merupakan bagian dari UUD 1945, di antaranya melihat tanggalnya 22 Juni 1945, tetapi naskah itu sebagai dokumen historis besar artinya bagi perjuangan bangsa Indonesia dan bagi bahan penyusunan UUD 1945 yang menjadi bagian daripada Konstitusi Proklamasi.”

Kemudian  Ahmad Sjaichu mengajukan pertanyaan: “Apakah pengakuan Piagam Jakarta berarti pengakuan sebagai dokumen Historis saja ataukah mempunyai Akibat Hukum, yaitu perkataan “Ketuhanan” dalam Mukaddimah UUD 1945 berarti “Ketuhanan dengan Kewajiban bagi umat Islam menjalankan Syariatnya” sehingga atas dasar itu bisa diciptakan perundang-undangan yang bisa disesuaikan dengan syariat Islam bagi pemeluknya?”

Perdana Menteri Djuanda Menjawab: “Pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai Dokumen historis, bagi pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD 1945. Jadi pengaruhnya termaksud tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan… Dengan Demikian Perkataan “Ketuhanan” dalam Pembukaan UUD 1945 diberikan arti “Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya, sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi pemeluk agama Islam yang dapat disesuaikan dengan Syariat Islam.”.

Dari pertanyaan para Anggota Parlemen dan Jawaban dari Pemerintah pada saat itu, dapat kita katakan bahwa Piagam Jakarta adalah dokumen historis dan dokumen yuridis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi kembali ke UUD 1945 adalah kembali kepada piagam Jakarta sebagai dokumen hukum yang otentik.

Maka perlu ditegaskan dalam tulisan ini, Pancasila bukanlah produk yang dihasilkan oleh seorang Soekarno. 1 Juni 1945 adalah pidato Soekarno yang diucapkan di depan Sidang BPUPK.

Sama dengan tokoh-tokoh lain, Pidato Soekarno bukanlah satu-satunya orang yang mengajukan dasar negara. Ada pidato Profesor Soepomo, Muhammad Yamin dan yang lainnya dari golongan Nasionalis Sekuler. Di kalangan Nasionalis Islam Ada juga pidato tokoh-tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, Sukiman Wirdjosanjojo, Haji Agus Salim, AR. Baswedan,H Sanoesi,Abdul Kadir,Muzakir dan golongan Islam Lainnya.

Kenapa hanya pidato Soekarno 1 Juni yang dijadikan sebagai hari lahir Pancasila? Sejarah harus diluruskan.

Berita Terkait

Berita Lainnya