Oleh: Ravindra, Ketua Umum Indonesia–India Youth Forum
GEOPOLITIK Asia Selatan dan Posisi Moral Indonesia Konflik India–Pakistan bukan sekadar pertikaian dua negara di Asia Selatan. Ia adalah luka geopolitik yang belum sembuh sejak 1947, sekaligus menjadi cermin distorsi arsitektur perdamaian dunia modern. Ketegangan ini kini memasuki babak baru dalam lanskap multipolar yang lebih kompleks, di mana kekuatan-kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia terlibat secara langsung maupun tidak langsung.
Bagi Indonesia, negara yang mewarisi semangat Konferensi Asia-Afrika dan menjunjung tinggi prinsip bebas aktif, konflik ini adalah ujian strategis sekaligus moral. Indonesia tidak berada di garis tembak secara geografis, tetapi dalam medan pengaruh dan tanggung jawab global, ia berdiri di tengah episentrum tantangan.
Sebagai pemuda dan pemimpin organisasi yang menjembatani relasi antarbangsa, kami melihat bahwa konflik ini bukan hanya soal diplomasi antarnegara, tetapi juga pertempuran narasi, identitas, dan kemanusiaan. Dan dalam hal ini, pemuda memiliki tanggung jawab historis untuk turut bicara dan bertindak.
Ketegangan India–Pakistan: Perang Lama dalam Dunia Baru
Konflik India–Pakistan berakar dari persoalan historis atas wilayah Kashmir. Sejak pemisahan India–Pakistan pada 1947, tiga perang besar telah terjadi, dan ratusan bentrokan kecil terus berlangsung hingga kini. Namun di era pasca-2019, pasca pencabutan otonomi Jammu dan Kashmir oleh pemerintah India, konflik memasuki fase baru: militerisasi digital, kampanye disinformasi, dan proxy war oleh kekuatan global.
Tiongkok memperkuat aliansi dengan Pakistan melalui proyek CPEC (China–Pakistan Economic Corridor), sementara India mempererat hubungan pertahanan dengan AS dan negara-negara QUAD. Asia Selatan, secara perlahan, menjadi panggung kompetisi kekuatan besar, dan ini memperbesar risiko eskalasi.
Kedua negara memiliki senjata nuklir dan populasi gabungan hampir 1,7 miliar jiwa. Dengan kemunculan teknologi drone, serangan siber, dan infiltrasi narasi di media sosial, peperangan masa depan bukan hanya terjadi di medan fisik, melainkan di ruang digital dan diplomasi informasi.
Dampak terhadap Indonesia: Empat Dimensi Ancaman dan Peluang
A. Geopolitik dan Keamanan Regional
Indonesia adalah negara kunci di Indo–Pasifik dan pemegang posisi penting di ASEAN serta IORA. Eskalasi konflik India–Pakistan akan mengganggu stabilitas Samudra Hindia, yang merupakan jalur vital bagi perdagangan Indonesia.
Tekanan juga datang dari dinamika blok geopolitik: akankah Indonesia berpihak pada India sebagai mitra strategis, atau memilih peran penengah aktif? Di sinilah pentingnya mempertegas posisi bebas aktif Indonesia, bukan sebagai netral pasif, melainkan aktif dalam memediasi.
B. Ekonomi dan Konektivitas Strategis
Menurut Kemendag, perdagangan Indonesia–India mencapai USD 38 miliar (2023), mencakup sektor energi, batu bara, pupuk, dan farmasi. Perang akan mengganggu pelayaran dan rantai pasok di Samudra Hindia.
Krisis juga dapat mengganggu proyek investasi India di Indonesia, serta menciptakan gejolak nilai tukar, inflasi harga obat dan komoditas, serta memperlemah daya saing logistik nasional. Strategi diversifikasi dan ketahanan logistik menjadi keharusan.
C. Sosial dan Kohesi Internal
Konflik eksternal berisiko masuk ke dalam negeri lewat ruang digital. Sentimen keagamaan dan etnis terhadap konflik India–Pakistan bisa memicu polarisasi di masyarakat Indonesia, apalagi dengan adanya diaspora India dan Pakistan di Indonesia.
Jika tak dikendalikan, akan muncul ketegangan antarwarga yang bisa digunakan oleh kelompok ekstrem untuk memperkuat narasi intoleransi. Media sosial menjadi medan utama pertarungan, dan perlu ada gerakan kontra-narasi berbasis nilai Pancasila dan solidaritas lintas budaya.
D. Diplomasi Pemuda dan Kemanusiaan
Pemuda Indonesia tidak bisa diam. Sebagai generasi yang hidup dalam era keterhubungan global, kami memiliki tanggung jawab untuk membangun jembatan, bukan tembok.
Indonesia–India Youth Forum memandang bahwa diplomasi pemuda harus bergerak cepat: menginisiasi Peace Dialogue, memperkuat pertukaran budaya, serta membangun solidaritas digital lintas bangsa. Inilah bentuk konkret dari diplomasi generasi ketiga: dari negara ke masyarakat sipil ke pemuda.
Indonesia sebagai Titik Tengah Moral dan Strategis
Indonesia bukan sekadar negara penonton. Ia memiliki posisi, sejarah, dan sumber daya moral untuk menjadi penengah dan penjaga stabilitas kawasan. Netralitas tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah keberpihakan terhadap perdamaian, kemanusiaan, dan keadilan.
Melalui pendekatan multilapis — diplomasi negara, diplomasi masyarakat sipil, dan diplomasi pemuda — Indonesia bisa memainkan peran strategis dalam meredam tensi, memperkuat solidaritas global, dan menunjukkan bahwa di tengah dunia yang terpecah, selalu ada jalan untuk bersatu.