Peran LPS di Tengah Ekonomi Nasional Melemah

Image 3
Ilustrasi Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS)

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

PADA kuartal pertama tahun 2025, ekonomi nasional tengah menghadapi tekanan yang tidak ringan.

Pelambatan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK), volatilitas pasar keuangan global, serta ketidakpastian kebijakan moneter Amerika Serikat telah menciptakan guncangan simultan terhadap stabilitas sistem keuangan nasional.

Di tengah situasi ini, peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjadi semakin strategis dan krusial.

Tidak lagi sekadar berperan sebagai penjamin simpanan nasabah bank, LPS kini berada di persimpangan tanggung jawab baru yang semakin kompleks: penjaminan polis asuransi, pengelolaan program resolusi bank gagal, serta penyesuaian terhadap dinamika digitalisasi dan struktur pasar keuangan yang berubah cepat.

Laporan LPS per Maret 2025 menunjukkan anomali dalam distribusi simpanan.

Kelompok simpanan menengah ke atas dengan saldo Rp2 miliar hingga Rp5 miliar mengalami penurunan 1% secara year to date (YtD), sementara kelompok simpanan di atas Rp5 miliar justru mengalami pertumbuhan 3,5%.

Hal ini menunjukkan adanya perubahan perilaku nasabah dalam mengelola dananya, mungkin sebagai respons atas suku bunga yang stagnan, ketidakpastian makroekonomi, atau munculnya alternatif investasi digital di luar sistem perbankan tradisional.

Pelambatan DPK mengindikasikan potensi krisis likuiditas di sektor perbankan yang dapat berdampak sistemik apabila tidak dikelola dengan seksama.

Namun tantangan LPS tidak berhenti di situ. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), LPS mendapatkan mandat baru: menjadi penjamin polis asuransi melalui program penjaminan polis (PPP).

Tugas ini sangat strategis tetapi juga kompleks karena menyentuh sektor yang selama ini belum memiliki kerangka perlindungan konsumen sekuat sektor perbankan.

Dengan total premi yang kini mulai dikumpulkan dari perusahaan asuransi, LPS harus membangun sistem monitoring risiko, mekanisme penilaian solvabilitas, serta menyiapkan dana cadangan untuk menghadapi potensi klaim yang besar.

Ini bukan pekerjaan administratif biasa, tetapi proses reformasi sistemik yang harus dilakukan bersamaan dengan pembenahan menyeluruh di sektor asuransi.

Selain itu, LPS juga masih harus mengemban tugas menyelesaikan resolusi bank-bank bermasalah, terutama bank perkreditan rakyat (BPR) dan bank syariah (BPRS) yang terus bermunculan kasus fraud dan tata kelola buruknya.

Sebagai garda terakhir, LPS menghadapi dilema: menyelamatkan bank dengan menyuntik dana atau melikuidasinya dengan biaya minimum. Namun dalam praktiknya, keputusan-keputusan ini kerap kali tertutup dari publik, tidak transparan, dan minim partisipasi masyarakat.

Padahal, sebagai lembaga publik yang dibiayai oleh premi bank peserta dan dana negara, LPS seharusnya lebih terbuka, inklusif, dan akuntabel.

Selama ini, salah satu kritik yang patut diajukan terhadap LPS adalah minimnya keterbukaan informasi kepada publik, terutama dalam hal asesmen situasi keuangan bank dan mekanisme penanganan bank bermasalah.

Informasi yang disampaikan cenderung bersifat agregat, eksklusif, dan teknokratis, sehingga masyarakat tidak memiliki cukup ruang untuk memahami risiko yang mereka hadapi. Di sinilah letak pentingnya reformasi cara pandang.

LPS tidak bisa terus-menerus menjadi lembaga yang tertutup. Kepercayaan publik tidak dibangun lewat kerahasiaan, tetapi melalui transparansi yang cerdas dan edukatif.

Dalam era digital dan disrupsi informasi, LPS juga dihadapkan pada tantangan bagaimana menjamin simpanan di bank digital dan platform fintech yang belum sepenuhnya berada dalam cakupan penjaminan.

Perbankan digital kini berlomba-lomba menawarkan suku bunga tinggi untuk menarik dana masyarakat, bahkan kadang melampaui tingkat bunga penjaminan (TBP) yang ditetapkan oleh LPS.

Ini menciptakan risiko penempatan dana masyarakat di luar skema perlindungan, yang jika tidak dikendalikan akan menciptakan eksklusi perlindungan bagi kelas menengah dan bawah.

Pendekatan kolaboratif lintas otoritas menjadi sangat penting dalam menjawab berbagai tantangan ini. LPS tidak bisa bekerja sendiri. Kolaborasi dengan OJK, Bank Indonesia, dan Kementerian Keuangan dalam kerangka Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) harus ditingkatkan secara substantif, bukan hanya prosedural.

Dalam konteks ini, LPS harus berani memainkan peran advokatif yang lebih kuat dalam menyuarakan kebijakan publik yang berpihak pada perlindungan konsumen dan stabilitas sistemik.

LPS juga perlu memperkuat kapasitas hukumnya agar lebih mampu menangani konflik, fraud, dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan dana penjaminan.

Inovasi dalam sosialisasi juga tak kalah penting. Dalam banyak kasus, masyarakat masih belum memahami dengan baik apa itu LPS, berapa batas penjaminan simpanan, dan apa risikonya jika menaruh dana melebihi suku bunga penjaminan.

Sosialisasi LPS harus keluar dari ranah kampanye birokratis dan masuk ke ruang-ruang digital yang relevan dengan masyarakat.

Edukasi berbasis media sosial, kolaborasi dengan influencer keuangan, dan integrasi kurikulum literasi keuangan di sekolah-sekolah harus menjadi prioritas.

Manajemen risiko yang adaptif menjadi fondasi terakhir yang harus diperkuat.

Di tengah dunia yang semakin tidak pasti, LPS harus mampu membangun sistem early warning yang berbasis data real-time, prediktif, dan responsif terhadap potensi gagal bayar baik dari perbankan maupun asuransi.

Strategi investasi dana penjaminan juga harus lebih progresif, terdiversifikasi, namun tetap konservatif dalam menjaga nilai dana yang dikelola.

Ke depan, LPS harus menjadi institusi publik yang bukan hanya kuat secara teknokratis, tetapi juga sensitif secara sosial.

Masyarakat membutuhkan jaminan, bukan hanya perlindungan formal, tetapi kepastian bahwa negara hadir membela kepentingan mereka.

Dalam konteks ini, LPS harus menjelma dari lembaga penjamin menjadi pelindung sistem keuangan yang inklusif, transparan, dan progresif.

Lembaga Penjamin Simpanan memiliki peluang besar untuk menciptakan reformasi struktural di sektor keuangan Indonesia, tetapi itu hanya bisa dicapai jika ia mampu membuka diri, berinovasi, dan membangun kepercayaan publik sebagai pilar utama.

Kepercayaan bukan dibangun dari kekuasaan, tetapi dari akuntabilitas. Dan di situlah LPS akan benar-benar menjadi milik rakyat.

Berita Terkait

Berita Lainnya