Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
APAKAH negara boleh menukar hak atas tubuh warganya dengan sebungkus bantuan sosial? Ini bukan pertanyaan spekulatif.
Ini adalah realitas kebijakan yang kini mengemuka: wacana memberikan bantuan sosial kepada rakyat miskin dengan syarat bersedia melakukan vasektomi.
Secara teknokratis, wacana ini mungkin terdengar efisien.
Tetapi dalam kerangka negara Pancasila yang menjunjung kemanusiaan dan keadilan sosial, pendekatan semacam ini membuka luka baru dalam relasi negara dan rakyat.
Jika bantuan sosial hanya dapat diakses dengan menyerahkan kendali atas tubuh, apakah itu masih kebijakan atau sudah menjadi paksaan yang dibungkus insentif?
Dalam kebijakan publik, pendekatan seperti ini masuk dalam kategori politik reproduksi.
Negara tidak menyelesaikan kemiskinan dengan membenahi struktur ekonomi atau memperluas akses terhadap pendidikan, melainkan dengan mengintervensi tubuh rakyatnya.
Dan ironisnya, yang menjadi sasaran justru kelompok paling miskin, mereka yang kehidupannya sudah sulit, kini dihadapkan pada dilema baru: memilih antara lapar atau steril.
Bayangkan seorang buruh harian, yang pulang dengan tangan kosong, mendapati dirinya hanya bisa menerima bantuan jika bersedia menjalani vasektomi.
Ini bukan keputusan yang diambil dalam kondisi merdeka, melainkan di bawah tekanan ekonomi.
Dalam situasi seperti itu, pilihan berubah menjadi paksaan. Di sinilah kebijakan kehilangan legitimasi moralnya.
Kebijakan vasektomi untuk bansos ibarat menambal jalan berlubang dengan karpet merah.
Terlihat rapi dari atas, namun tidak menyelesaikan kerusakan di bawahnya.
Masalah kemiskinan bukan sekadar akibat jumlah anak, melainkan karena negara belum hadir secara adil dalam penyediaan pekerjaan yang layak, pendidikan berkualitas, dan jaminan sosial universal.
Lebih jauh, jika hari ini negara mulai menukar bantuan dengan kendali atas tubuh, maka terbuka preseden berbahaya.
Bisa jadi esok hari, bantuan pendidikan akan diberikan hanya kepada mereka yang mengikuti program ideologis tertentu.
Atau layanan kesehatan hanya untuk mereka yang bersumpah setia kepada kebijakan pemerintah.
Ini adalah bentuk normalisasi koersi yang dibungkus dalam narasi insentif.
Padahal, demokrasi sejati dibangun di atas fondasi kebebasan, penghormatan atas martabat manusia, dan perlindungan terhadap kelompok rentan.
Kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang membebaskan rakyat, bukan menjerat mereka dalam jebakan moral akibat kemiskinan struktural.
Tentu kita mendukung pengendalian penduduk dan perbaikan kualitas hidup.
Tapi caranya harus etis, adil, dan berbasis kesukarelaan.
Yang dibutuhkan rakyat adalah edukasi kesehatan reproduksi yang menyeluruh, program Keluarga Berencana yang inklusif, dan bansos yang diberikan sebagai hak warga negara, bukan sebagai alat tukar kebijakan.
Vasektomi untuk bansos bukan solusi. Ia adalah kesalahan moral yang lahir dari logika pembangunan yang abai terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Negara seharusnya berdiri bersama rakyat, bukan di atas tubuh mereka.
Jika kita sungguh ingin menyejahterakan bangsa ini, maka bangunlah keadilan struktural, bukan sekadar mengatur angka kelahiran.
Karena pada akhirnya, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang paling sedikit anaknya, melainkan bangsa yang mampu memanusiakan seluruh warganya—tanpa syarat, tanpa paksaan.