Oleh: Jejep Falahul Alam, Wartawan lokal tinggal di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat
JULUKAN Gubernur Konten mendadak viral dan mampu menyedot perhatian publik. Bukan hanya saat Rapat Kerja Komisi II DPR RI di Gedung Senayan, Selasa 29 April 2025, tapi hingga saat ini tengah menjadi buah bibir di lapisan masyarakat.
Pernyataan Gubernur Konten sendiri pertama kali disampaikan Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas’ud kepada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi --bukan dalam nada pujian, tapi sebagai sindiran tajam di forum resmi negara.
Pertanyaan apakah julukan itu hanya sekadar olok-olok politik? Atau justru cerminan kondisi era digital?
Di dalam ruang sidang di Senayan yang biasanya kaku dan formal, tapi sindiran itu justru memantik senyum, bahkan canda tawa. Tapi sebagian publik pun menangkap sesuatu yang lebih dari sekadar candaan. Sebab, Gubernur Dedi Mulyadi atau yang akrab disapa Kang Dedi Mulyadi (KDM) memang fenomenal.
Politikus Partai Gerindra ini bukan hanya memimpin Jawa Barat saat ini, tapi juga memimpin algoritma digital. Bayangkan saja dari informasi yang diperoleh penulis, akun YouTube-nya memiliki lebih dari 6,4 juta pengikut, dan KDM sapaan Dedi, telah mengunggah lebih dari 4.000 video dengan total 1,9 miliar tontonan sejak 2017.
Tak tanggung-tanggung, dari informasi yang diperoleh Social Blade, penghasilannya KDM dari YouTube berkisar antara Rp 644 juta hingga Rp 10,23 miliar per bulan. Jauh di atas gaji resmi gubernur yang hanya Rp 3 juta per bulan (belum termasuk tunjangan operasional sebesar Rp 3 miliar). Sebuah angka fantastis yang bisa membuat kepala daerah di tanah air ini iri atau bisa jadi resah. Hehee..
Terlepas dari semua itu, kita harus ingat bahwa media sosial itu hanya panggung, sama sepertihalnya panggung sandiwara. Terlihat menegangkan, dramatis, penuh aksi—padahal sering kali dibangun di atas latar hijau, editing, dan narasi yang disusun dengan rapi.
Begitu pula dalam pemerintahan. Apa yang viral belum tentu substantif atau fakta di lapangan. Apa yang populer belum tentu menyentuh akar masalah rakyat.
Gubernur Dedi Mulyadi memang berhasil memangkas anggaran belanja media massa dari Rp 50 miliar menjadi Rp 3 miliar. Sebuah langkah efisiensi yang patut kita diapresiasi. Tapi sekaligus menimbulkan pertanyaan besar, apakah ini berarti menutup akses media massa? Apakah ini membunuh pelan-pelan keberadaan media arus utama yang selama ini menjadi salah satu pilar demokrasi?
Ingat media mainstream bukan sekadar corong informasi, tapi juga alat kontrol sosial dan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Jika semua digantikan oleh konten pribadi --yang hanya menampilkan narasi sepihak dan tanpa kritik -- maka rakyat hanya akan disuguhi satu sisi cerita. Dan bisa jadi itu hanya settingan dibalik layar, tak ubah seperti pembuatan sinetron atau film layar lebar.
Sebagai junior di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saya hanya ingin mengingatkan Kang Dedi dan para kepala daerah lainnya di Indonesia, agar berpikir lebih jauh dari layar ponsel. Media sosial atau sosmed memang ampuh menyebar pesan, tapi itu tak cukup menampung realitas yang terjadi.
Sudah banyak contoh pejabat yang viral menggunakan medsos pribadi, tapi akhirnya saat tersandung kasus hukum atau digulung isu tak sedap. Ia tak berdaya.
Pertanyaanya apakah medsos yang ia miliki mampu menyelamatkan kasusnya? Tidak juga kan. Karena kebenaran tidak selalu datang dari like dan subscriber, tapi dari integritas dan keterbukaan.
Maka kepemimpinan bukan soal jumlah views, tapi jumlah rakyat yang terlayani dan berdaya.
Maka dari itu, menurut hemat saya, dan ini mengingatkan pada pribadi saya sendiri. Setidaknya ada dua ilmu penting yang harus dipegang oleh para pemimpin atau pejabat negara di era digital saat ini.
Pertama ilmu tahu diri. Tahu kapasitas, tahu untuk apa diberi kekuasaan. Apakah untuk membuat konten, atau untuk membuat kebijakan? Kedua, ilmu tahu batas. Tahu kapan berhenti mengejar popularitas, dan mulai menyentuh realitas. Tapi dalam konteks keilmuaan KDM sudah ahli dan pakarnya. Saya hanya mengingatkan saja.
Kesimpulannya menjadi “Gubernur Konten” bukanlah masalah. Tapi jangan sampai rakyat hanya dijadikan penonton, bukan penerima manfaat. Jangan sampai panggung digital menutupi panggung keadilan sosial dan realitas dibalik konten yang dibuat.
Karena pada akhirnya, bukan viral yang dicatat sejarah—melainkan jejak karya dan kerja nyata bukan sekedar omon omon belaka. Lebih baik sedikit bicara banyak bekerja, daripada banyak wacana, nihil bukti nyata. Semoga!!