Oleh: Chappy Hakim, Indonesia Center for Air Power Studies
PERLU sekali dicermati bahwa Ruang udara merupakan dimensi ketiga dari wilayah suatu negara yang tak terpisahkan dari daratan dan lautan. Dalam konteks negara kepulauan seperti Indonesia, ruang udara memegang peranan strategis—bukan hanya sebagai jalur lalu lintas penerbangan sipil belaka, tetapi juga sebagai ruang pertahanan, komunikasi, teknologi, dan bahkan domain politik internasional.
Sayangnya, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki kerangka hukum nasional yang benar-benar menyatukan pengelolaan ruang udara dalam satu sistem yang tangguh dan berdaulat. Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara (RUU PRU) mudah mudahan hadir sebagai upaya menutup kekosongan hukum tersebut.
Dalam paparan akademik Prof. Dr. I.B.R. Supancana pada RDPU Pansus DPR RI (30 April 2025), beliau secara tegas menggarisbawahi berbagai persoalan krusial yang selama ini tidak tertangani secara tuntas. Salah satu persoalan paling mendasar dan menyakitkan adalah tentang pendelegasian wewenang pengelolaan wilayah udara Indonesia kepada negara lain di kawasan yang sangat strategis: Selat Malaka dan Kepulauan Riau.
Landasan Internasional dan Nasional: Meneguhkan Hak Berdaulat
Konvensi Chicago 1944 menegaskan secara eksplisit dengan menyatakan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara nasionalnya (Pasal 1). Begitu pula UNCLOS III 1982 menegaskan hak kedaulatan atas ruang udara di atas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan juga selat navigasi internasional.
Dalam konteks nasional, UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menegaskan kewajiban negara untuk mengambil alih seluruh wilayah udara nasional dari tangan pihak asing selambat-lambatnya 15 tahun sejak diundangkan—yaitu jelas sebelum tahun 2024.
Namun, kenyataan berkata lain: Indonesia justru memperpanjang pendelegasian pengelolaan FIR (Flight Information Region) kepada Singapura untuk 25 tahun ke depan dan akan diperpanjang, sebagaimana tertuang dalam perjanjian bilateral tahun 2022 yang telah diratifikasi melalui UU No. 1 Tahun 2023.
Pendelegasian wilayah udara di Selat Malaka: Kekeliruan Strategis dan Pelanggaran Martabat Bangsa
Perjanjian Indonesia–Singapura tahun 2022 bukan sekadar kesalahan administratif. Ini adalah kompromi strategis yang sangat membahayakan dan merendahkan martabat bangsa. Bagaimana mungkin negara sebesar Indonesia, yang telah memiliki otoritas penerbangan sipil berstandar ICAO dan kekuatan pertahanan udara yang kredibel, menyerahkan pengelolaan ruang udaranya kepada negara kecil tetangga?
Lebih menyedihkan lagi, wilayah yang didelegasikan adalah merupakan kawasan kritis di atas Selat Malaka—jalur perdagangan udara dan laut paling sibuk di dunia. Dalam kacamata geopolitik dan air power doctrine, penguasaan dalam mengelola wilayah udara berarti kontrol strategis terhadap lalu lintas udara sipil maupun militer.
Ketika kontrol operasional berada di tangan negara lain, maka Indonesia kehilangan fungsi early warning, air defense identification zone (ADIZ), dan command and control atas wilayahnya sendiri. Indonesia kehilangan kewenangan dalam melaksanakan Control of the Air, Use of Airspace dan Law Enforcement dikawasan teritorialnya sendiri.
Sejatinya, Hubungan antarbangsa, terlebih antara Indonesia dan Singapura, harus dilandasi pada prinsip mutual respect dan mutual understanding, bukan melanjutkan pola pikir kolonial yang menjadikan wilayah negara lain sebagai alat untuk kepentingan satu pihak saja Dalam dunia modern, kolonialisme hadir bukan hanya dengan senjata, tetapi juga melalui sistem pengaturan udara yang timpang dan memanfaatkan kelemahan hukum negara lain untuk keuntungan sendiri.
Masalah Struktural dalam Pengelolaan Ruang Udara
Prof. Supancana menguraikan berbagai masalah mendesak dalam pengelolaan ruang udara nasional, antara lain:
• Belum jelasnya batas vertikal dan horizontal ruang udara.
• Ketiadaan kewenangan penyidik militer dan otoritas pertahanan dalam menindak pelanggaran wilayah udara.
• Belum adanya pengaturan menyeluruh tentang pemanfaatan UAV dan teknologi udara lainnya.
• Kurangnya sistem pengawasan dan deteksi dini terhadap kejahatan transnasional seperti kasus penyelundupan dan perompakan.
• Ketiadaan koordinasi sipil-militer yang terpadu, terutama dalam pemanfaatan bersama pangkalan udara militer untuk kepentingan sipil.
RUU PRU sebagai Jalan Menuju Kemandirian Dirgantara
RUU Pengelolaan Ruang Udara seharusnya tidak hanya menjadi instrumen hukum administratif, melainkan tonggak kebangkitan kedaulatan udara nasional. Indonesia membutuhkan sebuah undang-undang yang:
1. Menetapkan batas wilayah udara secara vertikal dan horizontal secara tegas.
2. Mengakhiri praktik pendelegasian wilayah udara kepada pihak asing.
3. Memberikan kewenangan penuh kepada aparat militer dan sipil dalam pengawasan dan penyidikan pelanggaran udara.
4. Membentuk sistem nasional pengawasan ruang udara berbasis teknologi tinggi (radar, IMSS, UAV).
5. Memastikan integrasi antara Kementerian Perhubungan, TNI AU, dan instansi lainnya dalam pengelolaan wilayah udara nasional.
Kesimpulan: Kedaulatan Udara Tak Dapat Dinegosiasikan
RUU PRU 2025 harus menjadi pernyataan politik nasional bahwa Indonesia tidak akan membiarkan wilayah udaranya terus dikendalikan oleh negara lain atas dasar alasan teknis. Kedaulatan udara adalah mutlak, komprehensif, dan eksklusif.
Jika bangsa ini tidak segera mengambil langkah tegas untuk mengelola sendiri wilayah udara kritisnya, terutama di Selat Malaka, maka kita sedang melanjutkan warisan kolonial dalam bentuk baru. Dan bangsa yang kehilangan langitnya, dipastikan lambat laun akan segera kehilangan masa depannya, kehilangan martabatnya.
Daftar Pustaka
1. Supancana, I.B.R. (2025). Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara sebagai Penguatan Hukum dalam Pemanfaatan Ruang Udara Indonesia yang Inklusif. Presentasi dalam RDPU Pansus DPR RI, 30 April 2025.
2. ICAO. (1944). Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention). Doc 7300.
3. United Nations. (1982). United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS III).
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pengesahan Perjanjian Penyesuaian FIR Indonesia–Singapura.
6. International Maritime Organization. (2021). Shipping Lanes in the Malacca and Singapore Straits: Strategic Analysis.
7. Hakim, Chappy. (2010). Kedaulatan di Udara: Suatu Keniscayaan. Jakarta: Gramedia.
8. Gertler, J. (2012). U.S. Unmanned Aerial Systems. Congressional Research Service Report for Congress, RL31872.