Dunia Semakin Kacau: Apakah Indonesia Siap?

Image 3

Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia

DUNIA  yang dulu kita kenal sedang berubah. Selama lebih dari tiga dekade setelah Perang Dingin berakhir, dunia tampak bergerak ke arah keterbukaan yang lebih besar. Perdagangan lintas batas berkembang pesat, teknologi menghubungkan manusia dari berbagai belahan dunia, dan demokrasi liberal dianggap sebagai cita-cita bersama. Namun tanda-tanda perubahan besar mulai muncul.

Kini, kita hidup di masa yang berbeda. Globalisasi yang dulu dianggap tak terbendung kini justru mengalami retak-retak dalam. Negara-negara besar semakin berorientasi pada kepentingan dalam negeri mereka. Perdagangan bebas digantikan oleh proteksionisme, dan kerja sama multilateral yang dulu kuat mulai terseret dalam rivalitas geopolitik yang keras.

Visi Fortress America dari Scott Bessent adalah salah satu cermin betapa serius perubahan ini. Tetapi fenomena ini bukan hanya terjadi di Amerika Serikat. Dunia secara keseluruhan sedang bergerak menuju multipolaritas, proteksionisme, dan fragmentasi.

Bagi Indonesia, perubahan ini bukan sekadar perkembangan akademis yang jauh di sana. Ia membawa konsekuensi nyata bagi perekonomian, keamanan, dan masa depan nasional. Pertanyaannya kini sederhana: apakah Indonesia siap?

Multipolaritas: dunia tanpa pusat tunggal

Multipolaritas berarti dunia tidak lagi didominasi oleh satu kekuatan besar seperti Amerika Serikat pada era 1990-an dan 2000-an. Kini, kekuatan global terpecah ke dalam beberapa kutub: Amerika Serikat, Tiongkok, Uni Eropa, India, Rusia, bahkan kekuatan-kekuatan regional seperti Turki dan Brasil mulai memainkan peran penting.

Bagi Indonesia, ini berarti bahwa hubungan luar negeri akan semakin kompleks. Dulu, diplomasi internasional cenderung sederhana: dekat dengan satu kutub kekuatan, semua urusan mengalir relatif mudah. Kini, Indonesia harus menavigasi jalur di antara berbagai kekuatan yang kadang berkoalisi, kadang bertentangan.

Indonesia harus mengembangkan diplomasi multipolar yang cerdas: tidak terpaku pada satu mitra, tetapi membangun jaringan kerja sama dengan banyak pihak. Hubungan baik dengan Tiongkok sebagai mitra dagang terbesar harus dijaga, namun kemitraan strategis dengan Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, India, dan Uni Eropa juga harus diperkuat. Multipolaritas membuka peluang, tetapi juga membuat kesalahan diplomatik lebih berisiko besar.

Di sinilah politik luar negeri bebas aktif — prinsip yang dipegang sejak masa awal republik — menemukan relevansi baru. Namun, kali ini kebebasan itu harus dijalankan dengan kecerdasan taktis yang lebih tinggi, karena lanskap global jauh lebih dinamis dibandingkan masa lalu.

Proteksionisme: dunia menutup pintu-pintunya

Di era globalisasi, negara-negara berlomba membuka pasar, menurunkan tarif, dan mendorong pertumbuhan melalui perdagangan internasional. Namun di era baru ini, arah angin berubah.

Amerika Serikat — negara yang dulunya menjadi motor perdagangan bebas — kini menerapkan tarif tinggi untuk melindungi industri domestiknya, khususnya terhadap Tiongkok. Eropa memperketat standar teknis dan lingkungan yang kadang-kadang berfungsi sebagai hambatan non-tarif terhadap barang dari luar. Bahkan Tiongkok, di balik citra pro-globalisasi, terus melindungi banyak sektor domestiknya dari persaingan luar.

Bagi Indonesia, ini berarti bahwa jalan tradisional pembangunan berbasis ekspor akan menjadi lebih sulit. Produk-produk Indonesia harus berhadapan dengan lebih banyak hambatan, baik dalam bentuk tarif, kuota, maupun regulasi teknis.

Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan pertumbuhan hanya dari ekspor bahan mentah atau manufaktur sederhana. Diperlukan strategi diversifikasi pasar, peningkatan nilai tambah produk, dan inovasi industri. Program hilirisasi sumber daya alam, pembangunan industri teknologi, serta peningkatan standar kualitas produksi menjadi lebih mendesak daripada sebelumnya.

Dalam dunia proteksionis, negara yang bisa membangun kemandirian ekonominya sambil tetap membuka hubungan strategis ke berbagai pasar akan lebih bertahan. Indonesia harus memperkuat dirinya agar tidak hanya menjadi penonton di era baru ini, melainkan pemain aktif.

Fragmentasi: rantai pasok dunia terpecah

Salah satu dampak nyata dari proteksionisme adalah fragmentasi rantai pasok global. Selama puluhan tahun, perusahaan-perusahaan besar membangun sistem produksi yang tersebar lintas negara untuk mencapai efisiensi maksimal. Komponen mobil dirakit di tiga benua sebelum menjadi satu kendaraan. Barang elektronik mengandalkan chip dari Asia, desain dari Amerika, dan logistik global.

Tetapi ketegangan geopolitik, pandemi COVID-19, dan perang di Ukraina menunjukkan bahwa rantai pasok global yang terlalu panjang dan kompleks rentan terhadap gangguan. Banyak negara dan perusahaan kini berpikir ulang. Mereka mulai memindahkan pabrik ke negara yang lebih dekat, lebih stabil, atau lebih bersahabat secara politik — tren yang disebut reshoring dan friend-shoring.

Indonesia bisa terkena dampak dari tren ini dengan dua cara. Pertama, jika tidak sigap, Indonesia bisa kehilangan peluang investasi asing yang dulu datang dengan mudah. Kedua, jika cerdas dan responsif, Indonesia bisa menjadi tujuan baru untuk relokasi pabrik dari Tiongkok dan negara lain yang menghadapi risiko geopolitik.

Untuk itu, Indonesia perlu mempercepat reformasi iklim investasi: menyederhanakan birokrasi, memperbaiki infrastruktur, meningkatkan kualitas tenaga kerja, dan memberikan kepastian hukum. Di dunia yang fragmentatif, kecepatan beradaptasi menjadi keunggulan strategis.

Fragmentasi juga berarti Indonesia harus membangun ketahanan domestik dalam rantai pasok vital: energi, pangan, obat-obatan, dan komponen industri. Ketergantungan berlebihan pada impor untuk barang-barang kritis adalah risiko serius di era ini.

Indonesia harus bertindak: sekarang!

Waktu adalah faktor kunci. Negara-negara yang bertindak cepat akan mengamankan posisi dalam rantai produksi dan aliansi ekonomi baru yang sedang dibentuk. Yang lambat akan tertinggal, menjadi korban fragmentasi global tanpa daya tawar yang cukup.

Indonesia berada di persimpangan. Dengan populasi besar, kekayaan sumber daya, dan posisi geostrategis yang penting, Indonesia punya modal untuk menjadi salah satu kekuatan utama di dunia multipolar. Namun, tanpa reformasi yang cepat, tanpa kesiapan mental untuk menghadapi dunia baru ini, modal itu bisa sia-sia.

Membaca dunia hari ini dengan kacamata lama — seolah globalisasi penuh akan segera kembali — adalah kesalahan fatal. Dunia pasca-2025 adalah dunia yang lebih keras, lebih kompetitif, dan lebih tidak menentu. Tetapi justru dalam ketidakpastian ini, peluang besar terbuka.

Indonesia harus menyiapkan diri, bukan hanya dengan kebijakan yang adaptif, melainkan juga dengan membangun ketangguhan sosial: pendidikan yang relevan, kohesi nasional yang kuat, serta kepemimpinan politik yang visioner dan berani mengambil keputusan jangka panjang.

Dalam menghadapi dunia yang semakin kacau, Indonesia tidak harus memilih antara isolasi atau menyerah pada arus. Pilihan terbaik adalah menjadi bangsa yang mampu membuka jalannya sendiri — cerdas membaca arah angin, tangguh menghadapi badai, dan luwes mengubah layar saat angin berubah.

Seperti pepatah pelaut: ”Kita tidak bisa mengubah arah angin, tetapi kita bisa menyesuaikan layar kita.”

Dunia multipolar, proteksionis, dan terfragmentasi memang menghadirkan risiko besar. Tetapi bagi Indonesia yang siap, ini juga bisa menjadi masa kebangkitan baru.

Berita Terkait

Berita Lainnya