PDIP, Rocky Gerung dan Masa Depan Buruh

Image 3
Rocky Gerung

KETUA Bantuan Hukum PDIP telah memberikan rilis atau pernyataan yang dikutip berbagai media nasional bahwa mereka mencabut pengaduannya atas Rocky Gerung di Kepolisian RI atas ucapan Rocky "Bajingan Tolol" yang ditujukan pada Jokowi.

Johannes Lumban Tobing, PDIP, dalam alasan pencabutannya mengatakan mereka sepakat ternyata Jokowi sesuai dengan apa yang disebut Rocky, karena ternyata Jokowi lebih mementingkan urusan pribadi atau keluarga daripada kepentingan bangsa.

Meskipun terlambat, pengakuan PDIP ini patut diapresiasi. Istilah "Better late than never" dari sikap PDIP ini membuka jalan bagi mencari makna hakiki dari konsep negara, kepemimpinan negara dan "national interest". Meskipun polisi mengatakan pencabutan laporan PDIP ini tidak membuat polisi berhenti mengusut kasus pidana peristiwa tersebut, namun sebagai partai terbesar di tanah air, perubahan PDIP ini menunjukkan semangat kemenangan menegakkan kebenaran akan lebih mungkin dicapai nantinya.

Tiga bulan lalu ketika saya berdebat dengan Deddy Sitorus, PDIP, dan Irma Suryani Chaniago (NASDEM), di TVOne, di mana mereka berdua mengeluarkan kebencian besar terhadap Rocky, saya menekankan bahwa kasus Rocky ini adalah soal biasa dalam demokrasi. Perubahan persepsi kita soal presiden atau elit-elit nasional berubah seiring melemahnya demokrasi di era Jokowi. Melemahnya demokrasi berbanding terbalik dengan meningkatnya autokrasi, di mana seorang pemimpin menjadi sakral dan otoriter.

Di era SBY, ketika semangat demokrasi masih bergelora, demo terhadap SBY, secara langsung kerap dilakukan. Bahkan, SBY pernah di demo dengan kerbau yang ditulis SBY di badan kerbau di bawa di depan istana negara. Tentu saja soal etika menjadi diskursus ketika itu. Namun, SBY maupun pendukungnya, seperti saya saat itu, tidak membawa perkara itu ke polisi.

Mahkamah Konstitusi sendiri, dalam kepemimpinan Jimly Asshiddiqie kala itu, mencabut pasal-pasal pidana penghinaan presiden yang ada di KUHP. Sebab, pasal-pasal ini adalah warisan kolonial Belanda.

Kembalinya cara pandang PDIP yang melihat kasus Rocky ini  sebagai hal biasa berdemokrasi, sebuah kemajuan besar bagi bangsa. Mudah2an seluruh kekuatan bangsa lainnya, baik parpol maupun elit politik, mengambil sikap yang sama. Mengkritik presiden ataupun seperti pemenjaraan saya ketika mengkritik UU Omnibuslaw Ciptaker, 2020, pemidanaan Harris Azhar dan Fatia, serta pemenjaraan ulama dapat ditiadakan sehingga kebencian antara kelompok dapat diselesaikan melalui cara-cara beradab dalam naungan demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Lebih lanjut dalam kasus Rocky ini adalah nasib buruh. Jika PDIP percaya tentang sebutan "BT" itu sah dan benar tentang Jokowi, maka PDIP harus melihat bahwa statemen Rocky pada acara KSPSI Jumhur Hidayat kala itu adalah soal UU Omnibuslaw Ciptaker. Sudah 3 tahun sejak 2020, semua elemen kekuatan buruh menolak UU itu. Sebab, UU itu membuat buruh akan terjebak dalam penindasan kaum kapitalis.

Jadi, selain isu kebebasan berpendapat, isu yang dibawa Rocky adalah isu keadilan bagi orang-orang miskin. Jika buruh merupakan kaum marhaen, sebagaimana Sukarno (simbol PDIP) mengajarkannya, maka baik perjuangan struktural kaum buruh melawan penindasan terhadap dirinya, maupun cara-cara menggunakan massa aksi, atau istilah Rocky bahwa buruh harus memacetkan jalan-jalan, adalah ajaran yang legitimate. Dengan demikian, PDIP bukan saja merasa perlu mencabut laporan soal Rocky ke polisi, melainkan juga PDIP perlu kembali ke ajaran Sukarno sesungguhnya, bahwa kaum Marhaen harus menjadi penguasa di negerinya sendiri.

Bahkan, isu kembali kepada Marhaenisme ini, menurut saya, merupakan kewajiban umum Ketua Umum PDIP yang juga anak Bung Karno, yang harus dia selesaikan sebelum lengser dari panggung politik. Sebab, tanda-tanda kembalinya Neo Orba, seperti yang disebutkan Megawati, saat ini memang sedang berlangsung. Orde Baru adalah simbol awal berkuasanya kapitalisme di Indonesia.

Megawati, dalam konteks sosialisme Marhaenisme, perlu mengumumkan keberpihakan pada buruh dengan mendukung gerakan buruh mencabut UU Omnibuslaw Ciptaker. Disamping memastikan pembatasan kekayaan orang-orang kaya ke depan.

Penutup

PDIP telah mengambil langkah besar dengan mencabut laporannya ke polisi soal "Bajingan Tolol" dengan calon tersangka Rocky Gerung. Mungkin ini hasil dialog Rocky dan Ganjar di Makassar minggu lalu. Meskipun polisi memastikan kasus ini tidak ditutup, setidaknya rakyat mengetahui partai terbesar di Indonesia, PDIP, kembali pada demokrasi dan kebebasan sipil.

Lebih lanjut, selain isu demokrasi, persoalan buruh yang menjadi triger kritik Rocky terhadap Jokowi, yakni kesengsaraan buruh, kaum marhaen, karena adanya UU Omnibuslaw Ciptaker, perlu mendapat perhatian serius dari PDIP. Sebab, demokrasi harus beriringan dengan meningkatnya kekayaan orang-orang miskin. Posisi orang miskin alias tidak memiliki sama sekali uang/tabungan di bank, saat ini mencapai 100 juta penduduk. Sementara segelintir orang kaya menguasai 50 % kekayaan nasional. Melakukan kebijakan redistribusi yang paling ampuh adalah melalui upah buruh. Di sinilah pentingnya isu pencabutan laporan PDI-P dalam kasus Rocky dilakukan secara simultan mendukung kenaikan upah buruh dan pencabutan UU Omnibuslaw Ciptaker.

Penulis adalah Ketua Dewan Syariah Serikat Buruh PPMI '98.

Berita Terkait

Berita Lainnya