Salah Paham Tentang Kemiskinan Buruh

Image 3
Presiden Joko Widodo melemparkan cindera mata kepada masyarakat yang menunggunya.

HARI-HARI belakangan ini buruh dan pemerintah kembali berbeda pandangan soal kesejahteraan buruh, khususnya kenaikan upah. Menteri tenaga kerja tetap memberlakukan formula kenaikan upah buruh dalam fungsi inflasi, pertumbuhan ekonomi dan faktor alpha yang bervariasi antara 0,1-0,3. Menurut menteri ini teori pengupahan seperti itu yang paling sempurna.

Sebelumnya, calon presiden RI, Prabowo Subianto mengingatkan kaum buruh agar jangan mencekik leher pengusaha. Dihadapan 100 ekonom di Jakarta, 8/11/23, dia mengatakan "kau" kepada buruh jangan "mencekik" pengusaha, sebab pengusaha akan lari alias hengkang ke luar negeri jika buruh terlalu menuntut upah. Menurutnya, subsidi pemerintah (welfare policy) sudah cukup banyak saat ini. Jadi buruh harusnya tahu diri.

Baik menteri tenaga kerja maupun  capres Prabowo kelihatannya salah faham tentang tuntutan buruh soal upah. Upah dalam berbagai teori, khususnya dalam spektrum ekonomi dan kesejahteraan, dapat dipandang sebagai instrumen makro ekonomi untuk stabilitas perekonomian dan juga sebagai alat redistribusi.

Faktor stabilitas berfungsi ketika upah dipandang sebagai upaya peningkatan daya beli masyarakat, sehingga konsumsi meningkat dan perekonomian tumbuh berkembang. Sedangkan instrumen redistribusi, upah merupakan instrumen utama, selain "tax deduction" dan "welfare policies", untuk membagi pertumbuhan ekonomi agar dinikmati seluruh orang, bukan sekedar kapitalis saja.

Di Eropa misalnya, ada 4 kriteria yang terkait dengan penentuan upah minimum yang harus dihormati. Pertama, daya beli, dengan memperhitungkan biaya hidup; kedua, tingkat upah secara umum dan distribusinya; ketiga, tingkat pertumbuhan upah; dan keempat, level produktifitas dan pembangunan dalam jangka panjang.

Meski beberapa negara berbeda, namun langkah-langkah "extra ordinary" dilakukan agar kehidupan layak buruh dapat terjadi. Misalnya, Belgia melakukan 6 kali kenaikan upah antara Januari 2022 sampai 2023. Jerman melakukan dua kali kenaikan upah dalam setahun pada tahun 2022 Belanda memberlakukan kombinasi statuta upah minimum dengan "collective bargaining" buruh, dan lain sebagainya. (Sumber: Minimum Wages in 2023: Annual Review, Eurofound.europa.eu).

Terakhir, tahun ini Belanda memberlakukan kebijakan upah berbasis kerja per jam, namun memberlakukan kewajiban kontrak 36 jam kerja perminggu. Sehingga terjadi kenaikan upah pada buruh dengan kerja 40 jam perminggu sebesar 11%. (Source: iamexpat.nl, 23/2/23).

Kesalahan faham menteri tenaga kerja adalah melihat instrumen upah hanya sekedar pelengkap ekonomi kapitalis dan liberal saat ini. Spektrum pembicaraan upah selama ini hanya dimaksudkan untuk memelihara struktur penguasaan kapitalis atas roda perekonomian kita. Baik ketika faktor alpha 0,1-0,3, yang menunjukkan "return to labor" yang begitu kecil ditentukan menteri, maupun hilangnya hak buruh untuk merundingkan "cost of living" buruh, yang sesungguhnya harus diperhatikan negara.

Cost of living buruh dalam konteks sesat pikir Prabowo adalah menempatkan instrumen welfare sebagai pengganti instrumen upah dalam urusan hubungan industrial. Padahal, dalam teori negara kesejahteraan, instrumen welfare diletakkan sebagai "extention" kebijakan upah, bukan utama. Apalagi urusan kesejahteraan buruh merupakan hasil dari kontribusi buruh dalam pembayaran "tax dan welfare", bukan gratis seperti pikiran Prabowo yang dibahas di awal, maupun datang dari pola Jokowi yang suka "lempar-lempar" sembako.

Pikiran Prabowo bahwa investor akan kabur kalau buruh mencekik pengusaha adalah "lagu lama". Isu seperti ini mencuat di era Orde Baru berkuasa, di mana kebijakan upah buruh murah diciptakan untuk "Comparative Advantage" dalam persaingan merebut investor.

Namun, setelah Indonesia mulai mencapai perekonomian yang lepas dari sebutan negara miskin, elit-elit bangsa ini tetap berpikir upah buruh murah adalah kunci sukses pembangunan. Sehingga, misalnya, upah buruh di Korea Selatan hampir 4 kali upah kita atau Malaysia yang hampir 2 kali. Perbedaan upah ini malah membuat pekerja-pekerja trampil kita pindah kerja di negara lain. Kebijakan upah buruh murah adalah perangkap untuk mempertahankan kemiskinan orang miskin.

Dalam konteks produktivitas, Sri Mulyani Indrawati, M. Ikhsan, dkk dalam "The Productivity and Future Growth Potential of Indonesia", 2021, memperlihatkan buruknya kontribusi " Human Capital" bangsa ini selama lebih dari 20 tahun terakhir. Hal ini diperlihatkan oleh kontribusi negatifnya pada pertumbuhan "output per worker", terutama di era Jokowi.

Total Factor Productivity (TFP) kita, sebagai fungsi pertumbuhan, hanya setengah dari Amerika dan jauh di belakang negara-negara menengah. Sri Mulyani dkk juga mengkritik perusahaan-perusahan yang takut " dicekik" buruh, baik perusahaan besar, maupun BUMN, bukanlah perusahaan-perusahaan yang kompetitif dalam market.

Akhirnya kita melihat, orang-orang kaya dan elit negara bertemu dalam cara pandang yang buruk tentang perjuangan buruh menuntut kesejahteraan. Ini sebuah salah faham.

Penutup

Cara pandang negatif terhadap buruh, baik oleh menteri tenaga kerja maupun capres Prabowo memberi harapan suram bagi bangsa kita ke depan. Indonesia sebagai negara besar dan kaya seharusnya mulai ditata ulang untuk memastikan sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, sebagai target jangka pendek.

Untuk itu maka mengembalikan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state) dengan menempatkan kebijakan perburuhan sebagai kata kunci bagi isu redistribusi harus dimulai setelah era Jokowi berakhir. Jika tidak, maka ketimpangan sosial akan terus memburuk dan cara pandang terhadap buruh seperti melihat manusia-manusia rendahan, bukan sebagai mitra penting membangun Indonesia yang maju dan beradab.

Penulis adalah Sabang Merauke Circle

Berita Terkait

Berita Lainnya