Jokowi, Presiden yang Tidak Paham Pancasila

Image 3
Presiden Joko Widodo

KOALISI Indonesia Maju deklarasikan Prabowo dan Gibran sebagai capres dan cawapres 2024. Jokowi bahagia. Fakta ini menunjukkan, Jokowi tidak paham Pancasila. Hal ini semakin menguatkan dugaan, jangan-jangan tuduhan, Jokowi punya ijazah palsu, benar adanya.

Dahsyatnya, kubu Jokowi mahir bersandiwara setelah MK dijadikan sebagai Mahkamah Keluarga. Krisis konstitusi yang paling dahsyat selama orde reformasi.

Hakikat Pancasila

Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Maknanya, Indonesia, bukan negara kapitalis atau komunis. Hal ini ditegaskan oleh pasal 29 UUD 45.

Pasal 29 ayat (1) berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Maknanya, Indonesia adalah negara tauhid. Negara yang mengesakan Tuhan. Aplikasi ketauhidan itu disebutkan di ayat (2): “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan itu.”

Ayat (2) di atas menerangkan, setiap pemeluk agama harus melaksanakan ajaran agamanya. Maknanya, Jokowi harus melaksanakan ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunah. Salah satu ketentuan Al-Qur’an, kubu Jokowi tidak boleh memengaruhi MK dalam menetapkan putusan yang meloloskan Gibran menjadi cawapres.

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah: 188).

Ibnu Abbas mengisahkan latar turunnya ayat ini. Menurutnya, ada seorang lelaki yang memiliki utang. Namun, pihak-pihak terkait tidak punya bukti mengenainya. Olehnya, lelaki ini memungkiri utang tersebut. Beliau pun melaporkan masalahnya ke hakim karena merasa dia di posisi yang akan menang.

Kubu Jokowi sadar, utang rezimnya yang tertulis di APBN, hampir 8 ribu trilyun. Utang yang tidak tertulis, baik oleh BUMN maupun swasta, sekitar 10 ribu trilyun. Maknanya, utang kubu Jokowi, hampir 18 ribu trilyun rupiah. Mereka ingin lepaskan tanggung jawab dengan memeralat MK.

Apalagi, Aparat Penegak Hukum (APK) berada di bawah kendali mereka. Lebih-lebih, setelah Jokowi berhasil mengubah UU KPK di mana pegawainya berstatus ASN. Padahal, Jokowi adalah atasan langsung ASN. Olehnya, kedua anak Jokowi yang dilaporkan Ubaidillah Badrun, tidak diproses KPK. Namun, kubu Jokowi khawatir, jika rezim berganti. Sebab, pimpinan KPK baru nanti, bukan lagi herdernya. Otomatis, kasusnya akan diproses KPK. Olehnya, kubu Jokowi harus terus berkuasa.

Jokowi Tiga Periode

Strategi kubu Jokowi yang santer di medsos, ada empat skenario. Pertama, Jokowi menjadi presiden tiga periode. Targetnya, semua pimpinan Lembaga Negara, khususnya APH harus di bawah kekuasaannya. Dengan demikian, kasus-kasus korupsi yang melibatkan kubunya dan anak-anak Jokowi bisa daluwarsa. Minimal, terlupakan oleh masyarakat dan APH.

Kubu Jokowi lalu memanfaatkan pimpinan partai yang statusnya “rawat jalan” di KPK. Merekalah yang menyuarakan Jokowi tiga periode. Pada waktu yang sama, ada ribuan kepala desa yang juga statusnya “rawat jalan” di APH. Sebab, mereka terlibat dalam kasus penyalah-gunaan dana desa. Mereka digiring untuk secara demonstrative di gelora Senayan, mengusulkan Jokowi tiga periode.

Jokowi dan Pilpres 2024

Kubu Jokowi sadar, skenario presiden tiga periode, gagal. Akhir 2024, Jokowi akan menjadi rakyat biasa. Pimpinan KPK yang baru juga sudah bukan anak buahnya. Dampaknya, Jokowi, anak-anaknya, dan kubunya diseret ke penjara.

Skenario kedua, digelontorkan. Masa jabatan Jokowi diperpanjang. Caranya, Pemilu ditunda. Sial, skenario ini juga gagal. Muncullah skenario ketiga. Siapkan capres yang berada di bawah kendali kubu Jokowi.

Hal ini diketahui ketika pimpinan KPU menginformasikan ke salah seorang Ketum Parpol, presiden 2024 adalah Ganjar. Hal ini dibuktikan dengan ucapan Jokowi, yang layak jadi presiden adalah laki-laki berambut putih. Agar lelaki berambut putih tetap di bawah kendalinya, Jokowi harus jadi Ketum PDIP.

Naas bagi kubu Jokowi. PDIP, khususnya Megawati mencium strategi kubu Jokowi tersebut. PDIP langsung “menculik” Ganjar. Beliau dideklarasikan sebagai capres 2024. Jokowi kecolongan.

Strategi Membunuh atau Dibunuh

Dunia militer biasa mengenalkan adagium “to kill or to be killed.” Membunuh atau dibunuh. Kubu Jokowi yang dikendalikan oligarki dan jenderal sekuler, sadar, Jokowi tidak bisa jadi Ketum PDIP. Mereka lancarkan strategi keempat. Peralat MK. Ubah MK dari Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga. Sebab, jauh sebelumnya, skenario ini sudah disiapkan: Ketua MK harus jadi adik ipar Jokowi. Tragisnya, ketua MK pun tidak paham sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 45. Sebab, beliau tidak mundur dari jabatannya. Beliau tidak paham apa itu konflik kepentingan.

Jokowi, sambil mendukung Ganjar, dalam pelbagai kesempatan, selalu bilang, jangan grasa grusu. Rupanya kubu Jokowi mau terapkan strategi “membunuh atau dibunuh” ini. Mereka memperalat Prabowo yang ambisius jadi presiden. Sebab, Prabowo sudah tiga kali ikut Pilpres dan selalu gagal.

Langkah terakhir kubu Jokowi, MK mengubah batasan umur agar Gibran bisa jadi cawapres. Jokowi yakin, anaknya lolos di KPU sebagai cawapres, maka beliau pun undang ketiga capres, makan siang di istana. Khayalannya, jika Prabowo berhalangan tetap, otomatis Gibran yang jadi presiden. Sebab, konon, Prabowo sudah dua kali alami stroke. Akhirnya, Gibran dapat angkat adiknya yang Ketua Umum PSI sebagai wakil presiden. Dia bisa juga angkat Jokowi sebagai Menteri Senior ala Singapura.

Jokowi dan Krisis Konstitusi

Nabi Muhammad bersabda: “Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti kupotong tangannya.” Jokowi sebaliknya. Beliau tidak perintahkan KPK memeriksa laporan masyarakat mengenai anaknya yang korupsi.

Raja Gowa, aplikasikan sabda Nabi Muhammad di atas. Beliau perintahkan Mahkamah mengeksekusi hukuman mati terhadap anaknya. Sebab, menurut syariat Islam, kesalahan yang dilakukan putera mahkota tersebut harus dihukum mati.

Rakyat yang cinta raja karena keadilannya, memohon agar putera mahkota, tidak diekesekusi mati. Raja menolak. Mereka mendatangi ratu, isteri raja agar mau membujuk raja membatalkan hukuman mati tersebut. Jawaban ratu, tegas: “Jika kalian cinta raja dan ratu, bantulah kami melaksanakan hukuman mati tersebut.”

Ajaran Islam yang dilaksanakan raja Gowa tersebut dimasukkan dalam pasal 29 UUD 45. Tragisnya, Jokowi yang sudah 9 tahun berkuasa, tidak paham hal tersebut. Bahkan, tanpa dosa mengatakan, “tugas orang tua hanya berdoa dan memberi restu.”

Maknanya, selama ini Jokowi berharap, anaknya jadi cawapres. Beliau, setelah Gibran dicalonkan sebagai cawapres, hanya merestui. Beliau tidak meneladani Umar ibnu Khattab yang melarang anaknya jadi khalifah.

Jika Pancasila saja tidak dipahami, apalagi ajaran Islam. Khalifah Umar sewaktu sekarat, menolak usul para sahabat agar menunjuk anaknya, Abdullah menjadi pengganti. Umar justru bentuk formatur, 6 orang. Umar menegaskan, anaknya Abdullah tidak boleh jadi khalifah. Padahal, Abdullah adalah foto-copy Nabi Muhammad dalam pelaksanaan aktivitas ibadah sehari-hari.

Memang, tidak wajar membandingkan Umar ibnu Khattab dengan Jokowi. Sebab, membandingkan dengan Ubaidillah Badrun saja, Jokowi kalah. Namun, ketika menyatakan, beliau hanya berdoa dan memberi restu bagi anaknya untuk menjadi cawapres, Jokowi adalah presiden Indonesia terburuk. Sebab, Soeharto, setelah tujuh periode berkuasa baru menunjuk anaknya menjadi Menteri. Jokowi, baru beberapa tahun jadi presiden, sudah ajukan anak dan mantunya jadi walikota.

Simpulannya, jika Gibran lolos sebagai cawapres, maka selain melanggar peraturan KPU sendiri, pimpinan dan anggota KPU juga sama dengan Jokowi yang tidak paham Pancasila. Inilah krisis konstitusi.

JOKO WIDODO

Berita Terkait

Berita Lainnya