Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior
PERPOL10/2025 benar-benar bikin masalah. Kritik membuncah dari segala arah. Bukan cuma datang dari obrolan warung kopi, tapi juga dari para akademisi sekelas Mahfud MD. Namun Kapolri Listyo Sigit Prabowo bergeming. Baginya, segala masukan dan kritik itu bak semilir angin yang memainkan anak rambut di pelipis perawan.
Yang membuat lebih miris lagi, Presiden Prabowo Subianto tetap saja abai. Dia sama sekali merasa tak terusik oleh polah pembantunya. Padahal Kapolri Listyo Sigit Prabowo dengan Perpolnya terang-benderang menabrak putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang polisi aktif duduk di jabatan sipil. Padahal, kita paham betul putusan MK bersifat final dan mengikat. Siapa pun mesti tunduk dan mematuhinya. Perpol 10/2025 juga melabrak dua undang-undang sekaligus. Prabowo? Dia seperti tak peduli. Tak ada teguran. Apalagi pencopotan.
Pertanyaan publik hari ini bukan lagi soal teknis hukum. Ia telah berubah menjadi pertanyaan politik yang jauh lebih mendasar: mengapa Presiden Prabowo Subianto tidak bertindak tegas terhadap Perpol itu? Terhadap Kapolri Sigit?
Jawaban normatif tentu tersedia. Bahwa ini sedang dikaji. Bahwa pemerintah berhati-hati. Bahwa negara tak boleh gegabah. Namun dalam praktik kekuasaan, jawaban normatif sering kali justru menutupi persoalan yang lebih nyata: relasi kuasa.
Prabowo secara de facto dan de jure adalah presiden dengan mandat elektoral kuat. Dia punya dkungan parlemen dominan dan legitimasi politik penuh. Sulit diterima akal sehat bila Prabowo ragu mengambil langkah konstitusional yang sederhana: memerintahkan Kapolri mencabut Perpol yang cacat hukum. Keraguan ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia muncul dari realitas bahwa Polri hari ini berada dalam posisi sangat dominan dalam lanskap kekuasaan.
Polisi aktor politik?
Dalam satu dekade terakhir, Polri tidak lagi sekadar berfungsi sebagai penegak hukum. Ia menjelma menjadi aktor politik de facto. Mengelola keamanan, mengawal stabilitas, menangani konflik sosial, hingga memasuki ruang-ruang sipil yang sebelumnya dianggap tabu. Polisi juga jadi alat pemukul bagi lawan politik dan atau mereka yang dianggap mengganggu. Dalam beberapa kali hajatan demokrasi, Polri malah tampil sebagai mesin pemenangan yang efektif. Dalam konteks itu, Perpol bukan sekadar produk administratif. Ia sekaligus penanda arah konsolidasi kekuasaan.
Peralihan kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo semula dipersepsikan sebagai momen koreksi politik. Paling tidak, begitulah yang diharapkan. Publik berharap ada jarak dari praktik kekuasaan lama. Namun tanda-tanda yang muncul justru menunjukkan kontinuitas. Bukan koreksi. Relasi mesra negara dengan aparat, khususnya Polri, tetap dipertahankan sebagai pilar utama stabilitas rezim.
Prabowo tentu membaca realitas ini dengan sangat sadar. Dia bukan politisi sipil yang asing terhadap peta kekuatan negara. Ia purnawirawan jenderal yang memahami arti loyalitas institusi bersenjata dan peran aparat dalam menopang kekuasaan. Maka wajar jika muncul dugaan bahwa sikap lunak terhadap Perpol bukan karena ketidaktahuan, melainkan kalkulasi politik.
Kalkulasinya sederhana dan klasik: Polri adalah instrumen penting stabilitas. Tanpa aparat yang solid dan “aman”, kekuasaan selalu berada di atas fondasi rapuh. Jokowi memahami hal ini dengan sangat baik. Sepanjang pemerintahannya, Polri ditempatkan sebagai garda depan pengamanan politik. Kritik dipersempit, oposisi ditekan, hukum kerap tampil sebagai alat kontrol. Stabilitas tercapai, tetapi dengan harga mahal: menyempitnya ruang kebebasan berpendapat dan demokrasi.
Pertanyaan krusialnya kini: apakah Prabowo sedang melanjutkan pola itu? Sayangnya sinyal-sinyalnya tidak bisa diabaikan. Perpol yang membuka jalan bagi polisi aktif masuk ke jabatan sipil. Wacana Peraturan Pemerintah untuk “menyiasati” putusan MK. Dan di depan mata, pemberlakuan KUHP baru pada Januari 2026 dengan sejumlah pasal kontroversial yang memberi ruang luas kriminalisasi terhadap kritik. Semua ini membentuk satu garis lurus: negara dengan aparat kuat dan ruang oposisi yang kian sempit.
Dalam konfigurasi seperti ini, Polri menjadi aktor sentral. Bukan hanya sebagai penegak hukum, tetapi sebagai penjaga stabilitas kekuasaan. Dan kekuasaan, seperti selalu dicatat sejarah, cenderung memilih aparat yang patuh ketimbang konstitusi yang kaku.
Prabowo takut pada Polri?
Di titik inilah publik berhak bertanya lebih jauh: apakah Prabowo takut pada Polri? Atau, lebih tepatnya, apakah Prabowo memilih bergantung pada Polri? Dua-duanya sama berbahayanya bagi negara hukum.
Ketergantungan pada aparat selalu melahirkan simbiosis yang tidak sehat. Aparat diberi ruang dan privilese. Kekuasaan diberi rasa aman. Yang dikorbankan adalah konstitusi dan hak warga negara. Negara tampak stabil. Namun stabilitas semacam itu rapuh karena dibangun di atas ketakutan. Bukan keadilan.
Masihkah Prabowo bisa diharapkan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik? Jawabannya belum sepenuhnya tertutup. Namun waktunya sempit. Dan ujian itu ada di depan mata. Bukan pada pidato atau niat. Tapi pada tindakan nyata: berani menegakkan konstitusi meski berisiko mengganggu kenyamanan politik.
Jika Perpol yang jelas-jelas melanggar Putusan MK saja tidak berani dibatalkan, publik patut bersiap menghadapi masa depan yang lebih suram. Negara yang tampak tenang, tetapi perlahan kehilangan jiwanya sebagai negara hukum. Dan ketika kritik dipersempit, sejarah selalu memberi peringatan yang sama: negara tidak runtuh karena kritik. Negara roboh karena kekuasaan yang menutup telinga dari kritik.
Jadi, Prabowo adalah Jokowi periode tiga?


