Narasi bahwa Prabowo akan menyingkirkan orang-orang Jokowi sering disandarkan pada simbol-simbol kecil. Gestur kunjungan, pernyataan normatif, atau absennya konflik terbuka. Padahal, dalam politik kekuasaan, ketiadaan konflik justru sering menandakan konsolidasi, bukan pembersihan.
Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior
ADA satu ilusi politik yang sampai kini sengaja terus dipelihara. Keyakinan bahwa Prabowo Subianto akan membersihkan orang-orang Jokowi. Ilusi itu beredar luas di media sosial, obrolan warung kopi, hingga analisis setengah akademik. Tapi mencermati perkembangan yang terjadi, harapan tadi sejatinya lebih mirip doa daripada pembacaan kekuasaan. Publik ingin percaya. Masalahnya, politik tidak bekerja dengan harapan. Tapi dengan struktur.
Keinginan publik itu dapat dipahami. Sepuluh tahun era Jokowi telah meninggalkan jejak panjang. Pelemahan KPK, pembusukan penegakan hukum, dan oligarki yang telanjang. Juga konstitusi yang dipermainkan demi satu nama, Gibran Rakabuming Raka. Publik lelah. Maka, ketika Prabowo duduk di kursi presiden, harapan pun dititipkan: “kali ini berbeda”. Namun, politik bukanlah terapi. Ia soal kontinuitas kepentingan.
Narasi bahwa Prabowo akan menyingkirkan orang-orang Jokowi sering disandarkan pada simbol-simbol kecil. Gestur kunjungan, pernyataan normatif, atau absennya konflik terbuka. Padahal, dalam politik kekuasaan, ketiadaan konflik justru sering menandakan konsolidasi, bukan pembersihan.
Ambil contoh Luhut Binsar Pandjaitan. Ia bukan sekadar individu, melainkan simpul kekuasaan. Penghubung modal global, proyek strategis, dan jaringan militer senior. Luhut juga dipersepsikan menentukan naik-turunnya kepercayaan investor asing. Menyingkirkan Luhut bukan sekadar mengganti orang, tapi mengguncang arsitektur ekonomi-politik yang dibangun satu dekade. Apakah Prabowo punya insentif melakukan itu di awal kekuasaannya? Sayangnya, tidak ada tanda ke sana.
Demikian pula Listyo Sigit Prabowo. Kapolri ini bukan figur netral. Ia adalah produk kompromi kekuasaan era Jokowi. Fungsi utamanya menjaga stabilitas politik. Lebih tepat lagi menjaga lestarinya kekuasaan Jokowi. Dan mungkin Prabowo. Sigit, di posisinya, bukan untuk menegakkan keadilan.
Jika Prabowo sungguh ingin memutus mata rantai lama, indikatornya bukan kunjungan Natal atau bahasa tubuh. Publik ingin dia melakukan perubahan nyata di tubuh Polri. Copot Kapolri dan pergantian posisi-posisi kunci, pembongkaran pola perlindungan kasus. Dan keberanian membuka kembali perkara besar yang selama ini “diamankan”. Sayangnya, lagi-lagi sampai hari ini, semua itu tak terjadi.
Publik Putus Asa?
Lalu mengapa publik tetap ingin percaya? Pertama, karena keputusasaan. Ketika jalur oposisi dilemahkan dan institusi pengawas dilumpuhkan, publik mencari harapan di figur penguasa baru. Harapan ini bukan tanpa catatan. Soal figur itu lahir dari sistem yang sama dan dengan cara bermasalah itu fakta. Ini bukan analisis, tapi mekanisme psikologis.
Kedua, karena mitos Prabowo sebagai jenderal tegas. Imajinasi ini terus diproduksi. Prabowo digambarkan akan memotong perlahan, mengeringkan air, atau menata ulang, Sayangnya, rekam jejak menunjukkan sebaliknya. Prabowo justru dikenal sebagai figur kompromistis, akomodatif terhadap elite lama. Dia juga berhati-hati ekstrem terhadap konflik struktural.
Ketiga, karena kesalahpahaman tentang transisi kekuasaan. Banyak yang mengira pergantian presiden otomatis berarti pergantian rezim. Padahal, dalam politik Indonesia, yang sering terjadi adalah pergeseran wajah, bukan perubahan watak. Jokowi mungkin tak lagi di Istana, tapi pengaruhnya—melalui Gibran, aparat, dan jejaring ekonomi—masih menancap dan menggurita. Kemana-mana. Dimana-mana.
Fakta paling telanjang justru ini. Jika Prabowo benar-benar berniat menyingkirkan orang-orang Jokowi, tanda-tandanya seharusnya sudah terlihat sejak hari pertama. Bukan dalam simbol, tapi dalam keputusan. Bukan dalam bahasa, tapi dalam struktur.
Hingga kini, yang tampak bukan pemutusan, melainkan perawatan. Bukan pembongkaran, tapi penyesuaian. Bukan perlawanan, namun keberlanjutan dengan kemasan baru. Karena itu, pertanyaan yang lebih jujur bukan “kapan Prabowo menyingkirkan orang-orang Jokowi?”. Pertanyaannya kini, sampai kapan publik mau memelihara ilusi perubahan? Pasalnya, tanda-tandanya justru menunjukkan kelanjutan.
Politik tidak menipu mereka yang waspada. Ia hanya menipu mereka yang terlalu ingin percaya. 

