Krisis Konstitusi dan Konflik Politik Semakin Dekat

Image 3
Presiden Joko Widodo ketika menjadi wali pernikahan antara adiknya, Idayati binti Notomiharjo, dengan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, di Solo, 26 Mei 2022.

HAKIM Konstitusi Arief Hidayat berkabung atas prahara “pengkhianatan konstitusi”. Pernyataannya disampaikan saat menghadiri acara di Kemenkumham beberapa waktu yang lalu.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi persyaratan batas usia capres-cawapres. Dalam putusannya, MK menambah norma baru, sebagai alternatif syarat batas usia minimum 40 tahun. Yaitu, “berpengalaman sebagai Kepala Daerah”.

Putusan MK menuai polemik, bisa mengakibatkan krisis konstitusi dan memicu konflik politik. Di mana, konstitusi tidak mampu memberi jalan keluar atas perbedaan pendapat antar lembaga negara.

Pendukung Prahara putusan MK yang kontroversial mengatakan, putusan MK wajib ditindaklanjuti, karena bersifat final dan binding.

Golkar langsung deklarasi mendukung Gibran menjadi cawapres Prabowo, yang kemudian diikuti deklarasi Prabowo-Gibran sebagai pasangan capres-cawapres 2024 dari Koalisi Indonesia Maju.

Di lain pihak, sebagian masyarakat dan partai politik berpendapat, Gibran tidak bisa serta merta didaftarkan sebagai cawapres di KPU. Karena Peraturan KPU untuk capres dan cawapres 2024 masih menggunakan UU Pemilu yang berlaku, dengan persyaratan umur capres-cawapres paling rendah 40 tahun, titik. Tanpa embel-embel “berpengalaman sebagai kepala daerah”. Dalam hal ini, Gibran tidak memenuhi syarat.

Tentu saja, pendukung Prahara putusan MK berpendapat sebaliknya. KPU harus segera revisi Peraturan KPU sesuai putusan MK, dengan menambah norma baru “berpengalaman sebagai Kepala Daerah”.

Masalahnya, Peraturan KPU tidak bisa direvisi dengan menggunakan hasil putusan MK.

Perlu dipahami, putusan MK bukan merupakan UU atau bukan bagian dari UU, dan tidak berlaku sebagai UU. Apalagi putusan MK No 90 ini menambah norma baru yang mengubah pasal di dalam UU, sehingga pasal tersebut harus diubah.

Oleh karena itu, agar putusan MK dapat berlaku di dalam perundang-undangan, maka putusan MK harus ditindaklanjuti dan diatur di dalam UU Pemilu, dan dilakukan oleh DPR atau Presiden.

Pasal 10 ayat (1) huruf d UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berbunyi: “Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang: tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.”

Pasal 10 ayat (2) berbunyi: Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.

Karena itu, sangat jelas, bahwa putusan MK terkait batas usia capres cawapres tidak berlaku kalau belum diatur di dalam UU Pemilu, Pasal 69 huruf q.

Selanjutnya, penetapan capres dan cawapres, sesuai UU Pemilu, harus mengacu pada Peraturan KPU, yang pada gilirannya harus mengacu pada UU Pemilu.

Dengan kata lain, materi muatan Peraturan KPU tidak bisa dan tidak boleh berdasarkan putusan MK.

Karena, Peraturan KPU pada hakekatnya merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pemilu.

Pasal 75 UU Pemilu ayat (1), (2) dan (4) berbunyi: “Untuk menyelenggarakan Pemilu …, KPU membentuk Peraturan KPU ….”;

“Peraturan KPU …. merupakan pelaksanaan peraturan perundang undangan.”;

“Dalam hal KPU membentuk Peraturan KPU …, KPU wajib berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah melalui rapat dengar pendapat.”

KPU sangat paham mengenai hal ini. Karena itu, KPU sejauh ini belum mengubah Peraturan KPU yang menetapkan syarat usia capres cawapres paling rendah 40 tahun.

Untuk mengubah peraturan ini, KPU wajib konsultasi dengan DPR dan pemerintah.

Ketika konsultasi, DPR bisa menolak permintaan revisi Peraturan KPU tersebut. KPU tidak bisa paksa dan tidak bisa perintah DPR untuk melakukan revisi seperti keinginannya. Memang siapa KPU?

Alasan pertama, DPR bisa berdalih putusan MK berpotensi cacat hukum, karena hakim konstitusi yang menangani perkara ini diduga dan sudah dilaporkan melanggar kode etik kekuasaan kehakiman. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sedang memeriksa dan mengadili laporan dugaan pelanggaran kode etik ini, sehingga DPR wajib menunggu hasil persidangan tersebut. Kalau hakim konstitusi diputuskan melanggar kode etik, maka putusan MK otomatis batal demi hukum.

Kedua, Karena DPR adalah lembaga pembuat UU maka DPR bisa membuat persyaratan baru terkait batas usia capres-cawapres. Misalnya, dengan menambahkan persyaratan menjadi “berpengalaman sebagai kepala daerah setingkat provinsi”, atau “berpengalaman sebagai kepala daerah setidaknya-tidaknya satu periode”.

Apakah dalam hal ini DPR salah? Tentu saja tidak. Karena DPR lembaga pembuat UU.

Apakah, dalam hal ini, pasal tersebut melanggar konstitusi? Tentu saja tidak.

Bagi yang berpendapat Pasal hasil revisi tersebut melanggar konstitusi, silakan ajukan permohonan uji materi lagi ke Mahkamah Konstitusi.

Kesimpulan dari semua penjelasan di atas menegaskan, bahwa krisis konstitusi tidak dapat dihindarkan. Mengingat batas waktu yang sangat sempit, maka krisis konstitusi ini berpotensi besar berkembang menjadi konflik politik.

Untuk mengantisipasi hal ini, sebaiknya masyarakat sipil merapatkan barisan, siap siaga, dan mengamati secara cermat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Penulis adalah Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).

Berita Terkait

Berita Lainnya