Oleh: Syafril Sjofyan, Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen APP-Bangsa
SUDAH banyak peristiwa akibat kekerasan/ kebrutalan Polisi dalam mengatasi aksi-aksi masyarakat selama dekade Pemerintah Jokowi yang paling menyita perhatian adalah peristiwa Kanjuruhan mengakibatkan ratusan rakyat tidak berdosa meninggal secara sia-sia, termasuk pembunuhan sadis terhadap 7 santri di KM 50, ditembak Polisi berkali-kali dalam jarak dekat.
Sebenarnya tidak perlu dipecat jika Kapolri Lystio Sigit mengundurkan diri secara terhormat, karena telah ikut menjaga marwah Kepolisian RI. Beberapa Negara di Luar Negeri para pejabat demi menjaga marwah lembaga/ institusi mereka, secara patriot langsung mengundurkan diri sehingga institusi mereka tidak tercemar.
Era Presiden Jokowi, Kepolisian RI sudah sangat tidak dipercaya oleh masyarakat, bahkan Bayar, Bayar, Bayar lagu protes terhadap Kepolisian menjadi sangat populer sampai ke mancanegara.
Bahkan dari angket FTA (Forum Tanah Air) hasil Evaluasi satu semester Pemerintahan Presiden Prabowo yang disebar kejaringan diaspora di 5 Benua dan 38 Provinsi di Indonesia kinerja dan prestasi POLRI dianggap tidak baik 62.5% dan kurang baik 28,4%, selanjutnya dari hasil angket yang dirilis pada bulan Mei 2025, Jenderal Polisi Lystio Sigit termasuk yang paling tinggi untuk di reshuflle, dari 5 pejabat Lembaga setingkat Menteri.
Kasus polisi menabrak pengemudi ojek online (ojol) terjadi pada 28 Agustus 2025 di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, saat demonstrasi menolak kenaikan tunjangan fantastis anggota DPR berakhir ricuh. Sebuah kendaraan taktis Brimob Polri melaju cepat dan menabrak pengemudi ojol yang terjatuh di jalan, menyebabkan satu orang meninggal dunia dan satu orang lainnya kritis
Affan Kurniawan (21 tahun) meninggal dunia di RSCM, Moh Umar Amarudin (30 tahun) kritis dan dirawat intensif di RS Pelni. Hampir setiap ada Aksi selalu adanya korban kekerasan, padahal demonstrasi yang dijamin konstitusi seharusnya tugas Polisi menjaga secara penyampaiannya aspirasi masyarakat.
Tidak cukup sekadar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta maaf karena kebrutalan polisi dalam menghadapi demonstrasi telah menjadi sorotan di Indonesia.
Berikut beberapa contoh kasus yang pernah terjadi:
Demonstrasi di Semarang: Pada Agustus 2024, polisi melakukan tindakan represif terhadap demonstran yang menentang putusan MK terkait UU Pilkada. Sedikitnya 32 orang ditangkap dan 33 korban dilarikan ke rumah sakit.
Demonstrasi di Jakarta September 2019, polisi menembakkan gas air mata ke arah massa demo yang menolak RKUHP dan polisi menyerang mahasiswa di berbagai kota. Sebanyak 52 orang meninggal dalam aksi demonstrasi sepanjang tahun 2019.
Demonstrasi di Berau: Aparat kepolisian Kabupaten Berau melakukan tindakan kekerasan terhadap demonstran yang menolak izin PT Berau Coal.
Tragedi Kanjuruhan pada 2022, polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton di Stadion Kanjuruhan, Malang, yang mengakibatkan 135 orang tewas, menurut versi lain malah jumlah tewas lebih banyak
Polisi sering menggunakan gas air mata sebagai cara untuk membubarkan demonstrasi, meskipun telah ada larangan dari FIFA dan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW).
Untuk hal ini Presiden Prabowo seharusnya mengeluarkan Inpres untuk menghapuskan/ melarang penggunaan gas air mata serta memusnahkan gas air mata yang dibeli dengan uang rakyat diseluruh Kepolisian RI, di Jakarta pada Aksi tgl 25 Agustus 2025, Masyarakat yang pulang Kerja bahkan anak-anak yang lewat terkena dampak gas air mata.
Aparat kepolisian sering melakukan kekerasan berlebihan terhadap demonstran, termasuk pemukulan dan penangkapan yang tidak proporsional, akibat tidak tegasnya Kapolri mendisiplinkan anak buahnya. Tentu merupakan tanggung jawab langsung dan sepenuhnya Kapolri Jenderal Lystio Sigit, sangat pantas beliau mengundurkan diri, atau Presiden Prabowo segera memecatnya.
Selanjutnya Presiden Prabowo segera melakukan reformasi Kepolisian untuk meningkatkan akuntabilitas dan mengurangi kekerasan dalam menangani demonstrasi.