Oleh: Dr. Ahmad Yani, SH. M.H., Ketua Umum Partai Masyumi
PADA tanggal 1 Juni 1945, dalam pidato yang sangat populer itu Ir. Soekarno bertanya: “Apakah yang dinamakan merdeka?” Soekarno menjawab “...bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, ta’ lain dan ta’ bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.”
Pikiran tentang Indonesia merdeka yang hendak dibangunkan oleh pendiri bangsa ini adalah sebuah pikiran konseptual dan material. Mereka hendak membangunkan “jembatan emas” bagi masa depan bangsa dan negaranya, bagi masa depan masyarakat dalam negara itu.
Cita-cita untuk mendirikan jembatan emas itu kemudian dituangkan dalam filosofiche groundslaag Indonesia Merdeka. Di dalam pembukaan UUD 1945 kita menemukan tujuan kemerdekaan kita, yaitu; menghapuskan penjajahan di atas dunia dan mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Apa yang hendak dihantarkan oleh Indonesia merdeka itu? suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Itulah cita-cita luhur yang tertuang dalam idee tentang kemerdekaan. Cita-cita itu adalah tugas dan kewajiban pemerintah kepada rakyat yang harus ditunaikan. Yaitu: melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Apakah tugas dan kewajiban itu telah tercapai setelah 80 tahun merdeka? Ataukah cita-cita luhur kemerdekaan sebagai jembatan emas untuk melindungi tumpah darah, memajukan kesejahteraan dan mencerdaskan bangsa sudah terwujud?
Tujuan kemerdekaan itu ialah hendak membangun sebuah negara yang mandiri secara politik dan ekonomi, serta menjalankan pemerintahan sendiri, seperti kata Soekarno “bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri”.
Dalam kemandirian itulah pemerintah negara dibentuk berdasarkan permusyawaratan dan kedaulatan rakyat. Lalu Siapakah pemerintah negara Indonesia? Apa tugas dan kewajiban mereka terhadap negara dan rakyat?
Pemerintah Negara Indonesia adalah suatu badan-badan negara yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yukatif,serta organ organ negara lainnya. Badan-badan ini diisi oleh tiap-tiap warga negara yang memiliki integritas dan moral seorang republikan yang hebat. Mereka itulah yang disebut pemerintah negara Indonesia.
Pemerintah yang hendak dibangun, Kata Ki Bagus Hadikusumo “satu pemerintahan yang adil dan bijaksana, berdasarkan budipekerti yang luhur bersendi permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas berlebar dada tidak memaksa tentang agama. Kalau benar demikian, dirikanlah pemerintahan itu atas agama Islam karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat itu.”
Pemerintah negara yang hendak dibentuk itu haruslah bersifat integralistik, Kata Prof. Soepomo, “Kepala Negara dan badan-badan Pemerintah lain harus bersifat pemimpin yang sejati, penunjuk jalan ke arah cita-cita luhur, yang diidam-idamkan oleh rakyat. Negara harus bersifat "badan penyelenggara", badan pencipta hukum yang timbul dari hati sanubari rakyat seluruhnya.”
“Bukan saja Kepala Negara, lanjut Soepomo, akan tetapi pemerintah daerah pun sampai Kepala Daerah yang kecil-kecil, misalnya Kepala Desa, harus mempunyai sifat pemimpin rakyat yang sejati.”
Pemerintah negara yang dimaksud adalah pemerintah yang menyatu hati dan pikiranya dengan kehendak rakyat. Sederhananya pemerintah negara adalah mereka yang memiliki budi pekerti yang luhur, yang memberikan teladan bagi rakyat dan mampu mengejewantahkan kepentingan rakyat, serta melindungi segenap rakyat.
Apakah pemerintah negara yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa itu telah tiba untuk memimpin negara ini?
Belakangan ini justru kita menyaksikan dengan mata telanjang, mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif, telah mempertontonkan moralitas pemerintah negara yang berjalan terbalik dengan cita-cita pendiri bangsa ini.
Pemerintah negara yang kita saksikan hari ini, pemerintah negara yang korup, bebal dan tidak mengenal rasa malu. Setiap waktu kita menyaksikan mulai dari pusat sampai daerah, mereka yang menjalankan pemerintahan ditangkap karena korupsi, penyelewengan dan kejahatan lainnya.
Dari data yang tersedia, sepanjang reformasi terdapat 164 kepala daerah telah ditangkap KPK sepanjang 2004-2024. Dari data KPK, sejumlah 344 anggota DPR dan DPRD yang terjerat Korupsi. Belum lagi data dilembaga penegak hukum lain seperti di Kejaksaan dan kepolisian. Begitu juga ditingkat kementerian, ada 14 menteri yang menjadi narapidana korupsi.
Di lembaga Yudikatif, data dari kejaksaan dan KPK terdapat 39 hakim yang terjerat kasus korupsi dalam kurun waktu 15 tahun terakhir (2010-2025). Dari fakta-fakta ini kita dapat melihat, bagaimana perilaku korupsi telah terjadi di semua tingkatan dan cabang kekuasaan negara.
bangsa Indonesia menggenapkan segala kesemrawutan ini di masa pemerintahan Jokowi. Mulai dari politik dinasti, pembajakan konstitusi, hingga menyengatnya polemik ijazah palsu dan merebaknya isu korupsi.
Pemerintahan Jokowi mematahkan “jembatan emas”, dan mengarahkan negara pada kepentingan politik individu dan keluarga.
Presiden Prabowo, "menerima residu hitam, gelam" dari regiem jokowi, Sehingga 80 tahun ini, Indonesia menghadapi kecemasan yang cukup serius.
Lalu bagaimana dengan janji untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia? Sementara pemerintah negara sebagai pelindung sudah terjangkit kejahatan luar biasa?
Korupsi dan penyelewenangan pemerintah negara telah terjadi secara meluas, bahkan sampai pada titik tertentu telah mencapai titik kritis. Namun kewajiban negara melindungi rakyat semakin terabaikan.
Kondisi ini menciptakan ketimpangan besar, elit politik “bersekongkol” dengan pemilik modal, pemilik modal “menyuap penegak hukum”, penegak hukum menekan rakyat. Roda ini berputar terus menerus, sehingga rakyat yang menjadi korban.
Padahal konstitusi memberi amanat “Negara wajib melindungi rakyat” baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan hukum.
Dalam bidang ekonomi, Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan kepada negara untuk menguasai bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dan kekayaan itu dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tetapi kekayaan yang terkandung bumi tidak dinikmati oleh rakyat, justru dinikmati oleh mereka yang disebut sebagai “oligarki”. Pemerintah negara sebagai pelindung, justru berkolaborasi dengan oligarki.
Kita dapat melihat ketimpangan kepemilikan, ketimpangan ekonomi dan sosial yang cukup melebar setelah 80 tahun Indonesia Merdeka. perbedaan dalam distribusi pendapatan, kekayaan, dan akses terhadap sumber daya ekonomi antar individu sangat miris.
Bayangkan, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 40 persen kekayaan nasional. Separuh dari aset nasional hanya dikuasai oleh segelintir orang kaya di Indonesia, yaitu 1 persen orang kaya menguasai 50 persen aset nasional. (Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)-2019).
Sedangkan Data Oxfam (2023), sebuah lembaga riset asal Inggris itu mengilustrasikan harta empat orang terkaya di Indonesia itu setara dengan akumulasi kekayaan milik 100 juta penduduk, luar biasa timpangnya.
Sebaliknya rakyat yang hidupnya paling susah setara 36,13% populasi penduduk, yang tidak memiliki masa depan finansial sama sekali, rentan karena pendapatan sehari-hari cuma habis tanpa sisa untuk biaya makan dan kebutuhan lain tanpa bisa menyisihkan untuk tabungan.
Riset lain yang mengungkapkan ketimpangan itu dirilis pula oleh Center of Economic and Law Studies (Celios). Celios mengungkapkan ketimpangan yang besar antara penduduk terkaya dengan mayoritas penduduk Indonesia. Dalam studi berjudul Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk si Kaya, Sepeda untuk si Miskin tersebut, Celios menemukan kekayaan 50 hartawan terkaya di negeri ini setara dengan kekayaan 50 juta masyarakat Indonesia.
Ketimpangan ini bukan hanya sekedar nasib baik dan nasib buruk, tetapi ini menyangkut sistem negara yang tidak adil dan berkeadilan sosial. Sehingga setiap orang kaya berpotensi menumpukkan kekayaan, sementara yang miskin semakin miskin.
Ketimpangan ekonomi yang besar ini menyebabkan ketimpangan akses terhadap berbagai bidang. Dalam bidang penegakan hukum, slogan “hukum tajam ke bawah tumpul ke atas” terjadi dalam beberapa kasus. Munculnya tagar #Percuma LaporPolisi bahkan sempat viral di media sosial akibat kekesalan masyarakat terhadap kinerja polisi.
banyak masyarakat yang sulit mengakses bantuan hukum. Karena setiap laporan masyarakat tentang ketidakadilan selalu diabaikan, apalagi berhadapan dengan mereka yang memiliki akses kekuasaan dan ekonomi yang berkecukupan.
Sehingga dalam persepsi masyarakat yang terbangun adalah tingginya biasa untuk menghadapi satu perkara hukum. Cara berpikir ini yang terbangun, kemudian mempengaruhi tindakan, terlebih pada masyarakat tidak mampu.
Apabila rakyat memiliki permasalahan hukum, mereka enggan untuk menempuh proses pengadilan dan menerima saja perlakuan ketidakadilan itu tanpa melakukan apapun.
Dalam penegakan hukum yang timpang itu, perkembangan informasi dan teknologi memberi jalan bagi mereka yang sulit mendapatkan keadilan. Munculnya tagar “No Viral No Justice” merupakan sebuah fenomena baru untuk menuntut keadilan.
Rakyat harus mencari jalan yang cenderung nekat untuk menghadapi ketidakadilan itu. Ketika semua akses telah buntu, dan jalan untuk mencapainya mustahil, maka rakyat mengibarkan bendera One Piece, sebuah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.
Mereka tidak tahu harus kemana untuk memperjuangkan haknya. Pada situasi lain, perlakuan tidak adil itu dibalas dengan melakukan kekerasan, malah justru banyak yang memperjuangkan haknya menjadi pesakitan.
Akibat potret ketidakadilan, kemerosotan moral dan budi pekerti, serta rusaknya nilai bernegara itu, pada pegibaran bendera menyambut 17 Agustus 2025, rakyat menyambutnya dengan bendera berlambang tengkorak milik bajak laut yang dikenal bendera one piece.
Sebuah perlawanan simbolik yang sangat sederhana, namun memperlihatkan keresahan sosial yang memuncak. Seharusnya peringatan 17 Agustus disambut sebagai hari kegembiraan nasional, namun berbeda dengan 17 Agustus kali ini, disambut oleh rakyat dengan simbol “tegakkan keadilan dan tumpas kejahatan”.
Simbol one piece bukan sekedar mengibarkan tuntutan, tetapi juga simbol peringatan, bahwa setelah 80 tahun Indonesia merdeka, negara justru semakin menyusahkan rakyat.
Dari korupsi elit, pajak yang terus mencekik, menyebabkan keresahan sosial yang memuncak. Dibeberapa daerah terjadi kenaikan pajak yang sangat tinggi. Semua bermula dari kebijakan pemerintah pusat yang gemar menarik pajak.
Baru-Baru ini Bupati Pati didesak mundur oleh rakyat akibat menaikkan pajak 250 persen. Selain Pati, beberapa daerah juga menaikkan pajak di atas 200 persen, seperti Bone di Sulawesi Selatan, Kabupaten Jombang, Kabupaten Semarang, Kota Cirebon.
Sementara pemerintah negara terus mengumbar janji, mencela rakyat kalau melakukan protes, hingga represifitas negara terhadap rakyat. Semua terjadi kian mencolok mata, tetapi tuntutan rakyat terus ditekan dan diabaikan begitu saja.
Apa yang hendak dirayakan, pajak mencekik, ketidakadilan, ketimpangan? Apakah 80 tahun kita merayakan kegagalan?
Kalau sekedar upacara simbolik, justru hanya menghina akal sehat rakyat, sementara cita-cita kemerdekaan hanya menjadi utopia di tengah keserakahan dan kemerosotan moralitas dan runtuhnya integritas penyelenggara pemerintah?
Potret ketidakadilan, ketimpangan dan ketidaksetraan dalam ekonomi, sosial dan hukum menyebabkan bangsa ini kesulitan menemukan peta jalan masa depan. Jangankan membuat jembatan emas seperti yang dikatakan Soekarno, menemukan peta jalan pun kebingungan.
Ketimpangan social dan ekonomi berdampak pada akses Pendidikan yang tidak setara. Pendidikan belakangan justru semakin terbengkalai, korupsi dan komersialisasi membawa dunia pendidikan pada ketikjelasan tujuan.
Sebaliknya pemerintah hanya berpikir tentang membangun infrastruktur fisik, tetapi lupa menciptakan infrastruktur pikiran dan imajinasi generasi.
Pendidikan juga sudah mulai kehilangan orientasi, dari mengejar harapan dan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa, berubah orientasi mengejar keuntungan. Pendidikan menjadi alat komersialisasi, bahkan oleh para pendidik, terlebih lagi oleh pemangku kebijakan negara. Pendidikan akhirnya menghadapi kemunduran yang cukup serius.
Dari semua permasalahan di atas, sampailah kita pada satu kesimpulan sederhana, bahwa cita-cita republik Indonesia merdeka masih menjadi hutang yang belum kunjung dapat diwujudkan.
Penyebabnya adalah pemerintah negara tidak memiliki moralitas dan budi pekerti yang luhur, justru mereka menciptakan sistem yang tidak adil, ketimpangan, korupsi dan kejahatan lainnya menyebar di semua institusi inti negara.
Pertanyaannya Kapan kita dapat membangun jembatan emas untuk menuju Indonesia emas, sementara praktik bernegara mengarah pada “kebangkrutan”?