Persatuan Bangsa Dalam Bayang-bayang Intoleransi, Kajian 80 Tahun Kemerdekaan RI

Image 3
Pendiri Institut Rumah Keadilan Indonesia (IRKI), Fransiskus Lature, S.H.

Oleh: Fransiskus Lature, S.H., Pendiri Institut Rumah Keadilan Indonesia (IRKI)
 

APA arti kemerdekaan jika hati kita masih terkoyak oleh prasangka dan kebencian?
Delapan puluh tahun lalu, Indonesia lahir dari keberanian untuk menolak perpecahan dan menuntut keadilan. Hari ini, bayang-bayang intoleransi masih mengintai, menguji ketahanan persatuan, dan menantang komitmen kita terhadap nilai-nilai Pancasila. Konflik antarumat beragama, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, dan polarisasi di ruang publik bukan sekadar berita, tetapi pertanda bahwa perjuangan moral bangsa belum selesai.
 
Intoleransi muncul dalam berbagai wujud.

Dari pembatasan kegiatan keagamaan hingga diskriminasi di institusi pendidikan dan tempat kerja, setiap tindakan meruntuhkan fondasi sosial yang kita bangun sejak kemerdekaan. Laporan SETARA Institute mencatat peningkatan kasus intoleransi dari 217 peristiwa pada 2023 menjadi 260 peristiwa pada 2024, dengan total 402 tindakan intoleransi sepanjang tahun terakhir.

Angka-angka ini adalah cermin yang memaksa kita menilai sejauh mana Pancasila benar-benar hidup di tengah masyarakat.

Fenomena ini memiliki akar yang kompleks. Ketidaksetaraan sosial, miskinnya literasi keberagaman, dan pemahaman agama yang sempit menutup ruang dialog. Media sosial, yang seharusnya menjadi sarana pertukaran ide, kerap memperkuat stereotip dan memperdalam jurang perbedaan. Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku intoleransi menegaskan bahwa prinsip keadilan sosial masih dianggap retorika semata.

Dampak intoleransi jauh melampaui konflik individu.

Ia melemahkan kohesi sosial, menurunkan kepercayaan pada institusi negara, dan memperlambat kemajuan bangsa. Ketimpangan dalam akses terhadap sumber daya sosial dan simbolik memicu rasa ketidakadilan yang dapat menimbulkan konflik horizontal. Lebih dari itu, intoleransi merenggut empati, solidaritas, dan kesadaran kolektif yang seharusnya melekat pada setiap warga negara.

Butir pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan sekadar simbol, tetapi pedoman moral.

Menghargai keyakinan orang lain adalah bukti nyata hidupnya nilai ini. Praktik intoleransi menunjukkan bahwa fondasi ini belum menjadi pengalaman sehari-hari sebagian masyarakat. Pendidikan karakter, literasi Pancasila, dan regulasi yang menegakkan prinsip keadilan sosial menjadi jalan untuk membangun kesadaran kolektif. Pendidikan toleransi sejak dini, dialog antaragama yang konsisten, dan kampanye inklusif harus menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.

Persatuan bangsa bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Semua elemen memiliki peran strategis. Pemerintah menegakkan hukum secara adil, melindungi hak minoritas, dan menyusun kebijakan yang memperkuat kohesi sosial. Akademisi meneliti intoleransi, memberikan rekomendasi berbasis bukti, dan mengembangkan modul pendidikan yang menekankan pluralisme. Masyarakat sipil dan tokoh agama menanamkan nilai toleransi, menginisiasi dialog, dan mengkampanyekan inklusivitas. Sinergi ini membuat persatuan bangsa menjadi pengalaman nyata, bukan sekadar slogan.

Kasus-kasus intoleransi yang terjadi di berbagai daerah memberikan gambaran jelas akan tantangan yang dihadapi. Contohnya, pembubaran kegiatan keagamaan minoritas di Sumatera Barat, kekerasan simbolik terhadap komunitas tertentu di Papua, dan diskriminasi berbasis agama di sekolah menengah menunjukkan bahwa intoleransi bukan sekadar fenomena sosial, tetapi ancaman sistemik terhadap persatuan bangsa. Kasus ini memperlihatkan lemahnya implementasi regulasi, kurangnya pemahaman toleransi, dan minimnya pendidikan multikultural di tingkat akar rumput.

Memasuki usia kemerdekaan yang ke 80 adalah momentum menagih janji moral yang terkandung dalam Pancasila.

Kemerdekaan politik tidak cukup jika intoleransi terus mengintai kehidupan sosial. Bangsa ini harus menegaskan kembali komitmen terhadap persatuan dan prinsip keadilan sosial. Pendidikan toleransi, penegakan hukum yang konsisten, dan literasi sosial menjadi instrumen penting untuk mengatasi tantangan ini. Tanpa langkah konkret, persatuan bangsa akan tetap berada dalam bayang-bayang ancaman.

Secara historis, bangsa ini lahir dari kesadaran kolektif untuk menolak penindasan dan memperjuangkan keadilan. Para pendiri bangsa menegaskan bahwa kemerdekaan bukan hanya soal politik, tetapi juga soal moral. Nilai-nilai Pancasila dirumuskan untuk menjawab kebutuhan moral ini. Jika kita mengabaikan ajaran itu, intoleransi akan menjadi virus yang lambat laun merusak fondasi moral bangsa.

Kemerdekaan bukan sekadar angka sejarah atau simbol politik. Ia adalah kemerdekaan hati, kesadaran moral, dan pengalaman sosial kolektif. Intoleransi yang dibiarkan merusak kohesi sosial menurunkan kepercayaan pada negara dan melemahkan makna kemerdekaan itu sendiri. Usia kemerdekaan yang ke 80 adalah saat tepat untuk meneguhkan komitmen terhadap Pancasila, menanamkan nilai toleransi, dan menegakkan hukum secara adil. Dengan itu, Indonesia dapat merasakan kemerdekaan substansial, di mana persatuan, toleransi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pengalaman nyata seluruh rakyat.

Sosiologis, intoleransi memengaruhi psikologi kolektif masyarakat. Rasa takut, curiga, dan prasangka yang menumpuk menciptakan jarak sosial yang melemahkan jaringan solidaritas. Ketika masyarakat tidak percaya pada sesamanya, kohesi sosial runtuh, dan konflik mudah muncul. Oleh karena itu, membangun kembali kepercayaan sosial adalah langkah fundamental. Program pendidikan inklusif, kampanye literasi sosial, dan kegiatan bersama antarumat beragama menjadi strategi efektif membangun empati kolektif.

Selain itu, intoleransi berdampak pada pembangunan ekonomi dan politik. Investasi sosial dan ekonomi terganggu ketika ketegangan sosial meningkat. Demokrasi menjadi rapuh ketika sebagian masyarakat merasa haknya diabaikan. Dengan kata lain, intoleransi bukan hanya masalah moral, tetapi juga hambatan struktural bagi kemajuan bangsa. Mengatasi intoleransi menjadi bagian integral dari strategi pembangunan nasional.

Refleksi ini adalah panggilan moral bagi generasi sekarang dan yang akan datang.

Bangsa yang mampu menjaga persatuan dan menghormati keberagaman adalah bangsa yang tangguh secara politik, ekonomi, moral, dan spiritual. Jika nilai-nilai ini dipelihara, intoleransi tidak lagi menjadi bayangan yang mengintai, tetapi menjadi tantangan yang dapat diubah menjadi kekuatan kolektif. Bangsa ini akan menemukan kekuatan dalam perbedaan, harmoni dalam keberagaman, dan kemerdekaan sejati dalam hati setiap warganya.

Dirgahayu Republik Indonesia ke 80.

Semoga persatuan, toleransi, dan keadilan sosial terus menjadi nafas bangsa, dan semoga nilai-nilai Pancasila hidup dalam setiap tindakan, kata, dan hati warga negara.