Kasus Dugaan Ijazah Palsu: Perlawanan Konspirasi Sarat Moral Hazard

Image 3
Joko Widodo

Oleh: Marwan Batubara, Petisi 100

GONJANG-ganjing skandal dugaan ijazah palsu Jokowi terus menggelinding. Para aktivis pejuang moral, keadilan, hukum dan demokrasi, bersama TPUA, terus bersuara melawan dan “mengonter” setiap upaya Jokowi cs “mengamankan” dugaan kejahatan pidana: ijazah palsu Jokowi. Para aktivis sangat yakin ijazah Jokowi memang palsu, maka mereka menggugat ke Bareskrim pada 9 Desember 2024 (No. LI/39/IV/RES.1.24./2025). Sementara Jokowi dan gank menyatakan ijazahnya asli.

Perbedaan sikap dan keyakinan di atas sebenarnya sangat mudah “diselesaikan” jika Jokowi “berani jujur” dan tampil terbuka menunjukkan “ijazah asli” kepada publik atau pengadilan. Sepanjang hal tersebut belum terjadi atau “rela dan kesatria” dilakukan Jokowi, jangan harap para aktivis dan sebagian rakyat akan percaya. Apalagi, predikat Jokowi “Raja Pembohong” (gelar dari BEM UI) sudah melekat di benak sebagian mahasiswa dan rakyat.

Saat melaporkan pencemaran nama baik oleh lima aktivis pejuang yang dituduh melanggar pasal 27a, Pasal 32, dan Pasal 35 UU ITE ke Polda Metro Jaya, Jokowi dan kuasa hukumnya memang menyatakan telah memperlihatkan ijazah SD, SMP, SMA dan UGM. Kata kuasa hukum Jokowi, Yakup Hasibuan: “Semua sudah diperlihatkan ke para penyelidik. Pak Jokowi juga tegas memberitahukan kepada kami.” (30/4/2025).

Kalau ijazah hanya ditunjukkan kepada Polda Metro Jaya, lalu ijazah dibawa pulang kembali ke rumah, maka hal tersebut melanggar prinsip-prinsip penegakan hukum pro justisia. Hal tersebut bisa dianggap langkah pengecut dan pantas dicurigai. Apalagi Jokowi pernah menyatakan: “Dulu kan masih menjabat, saya pikir sudah selesai, ternyata masih berlarut-larut, sehingga dibawa ke ranah hukum lebih baik.” (30/4/2025). Bagaimana mau selesai, kalau “dulu” proses hukumnya sarat rekayasa dan tidak pro justisia?

Jokowi sesumbar, tudingan masalah ijazah palsu sebenarnya masalah ringan. Lalu Jokowi mengatakan: “Tetapi memang perlu dibawa ke ranah hukum agar semuanya jelas dan gamblang” (30/4/2025). Kalau memang tudingan tersebut masalah ringan, rakyat pun bisa menuntut Jokowi, mengapa pula hal sangat ringan, “menunjukkan ijazah kepada publik atau pengadilan” tidak dilakukan? Kalau itu tidak dilakukan, maka wajar sebagian rakyat curiga.

Di sisi lain, beberapa tahun terakhir, sudah menjadi keyakinan sebagian tokoh dan aktivis kalau sebagian oknum pimpinan dan anggota Polri (mereka sebut partai coklat, Parcok) merupakan bagian dari rezim oligarki Jokowi. Mereka tidak heran jika Polri menyatakan tidak menemukan adanya unsur pidana dalam perkara, ijazah Jokowi asli dan porses penyelidikan ijazah palsu Jokowi dihentikan. Direktur Tipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo saat konferensi pers, mengatakan: “Sehingga perkara ini dihentikan penyelidikannya” (22/5/ 2025).

Menghadapi gugatan pidana dugaan ijazah palsu aktivis (diajukan ke Bareskrim 9/12/2025), skenario diambil Jokowi dan gank bisa seperti berikut: 1) Laporkan para aktivis atas tuduhan pencemaran nama baik ke Polda Metro Jaya; 2) Saat yang sama, tunjukkan copies ijazah-ijazah kepada Polda Metro Jaya; 3) “Arahkan” Bareskrim menyimpulkan ijazah Jokowi asli; 4) Hentikan kasus gugatan pidana palsu di Bareskrim; 5) Proses laporan fitnah di Polda Metro Jaya, dan 6) Proses pengadilan terhadap lima aktivis ke pengadilan.

Dengan skenario di atas, yang tersisa adalah Jokowi dan “Polri” diperkirakan akan menuntut lima aktivis menjadi tersangka dan diadili. Skenario lanjutan adalah: sidang-sidang pengadilan, bisa saja berlangsung dalam kondisi MA yang tidak independen, atau menjadi bagian dari lembaga-lembaga negara yang diintervensi, terpengaruh, atau tunduk kepada Jokowi cs. Sehingga proses pembukaan atau pembuktian ijazah Jokowi di hadapan hakim-hakim tidak pernah terjadi. Jokowi pun lolos dari jerat pidana.

Bareskrim dinilai telah “membantu atau berkonspirasi”, sehingga Jokowi lolos. Namun hasil penyelidikan yang menyatakan ijazah Jokowi asli dan penyelidikan dihentikan dapat saja digagalkan. Dalam hal ini TPUA telah menolak kesimpulan Bareskrim (22/5/2025) dengan argumen berikut: 1) Cacat hukum, karena gelar perkara sepihak tanpa melibatkan pelapor dan terlapor serta ahli; 2) Saksi terkait tidak dimintakan keterangan; 3) Uji forensik hanya atas fisik bermetode “raba cekungan”, disimplifikasi dan mengabaikan prinsip scientific crime investigation; 4) Keraguan atas foto dan cap merah dalam ijazah tidak terjawab; 5) Kesimpulan berkategori manipulatif, sebab uji identik tidak identik tetapi hasil dan framingnya adalah otentik; 6) Bareskrim tidak berhak mengambil kesimpulan atau memvonis, sebab yang berhak adalah pengadilan/MA, setelah ada proses tuntutan melalui Kejaksaan.

Karena itu, TPUA secara resmi telah menolak kesimpulan Bareskrim, dan pada saat yang sama TPUA meminta Polri melakukan gelar perkara khusus dengan sejumlah dasar hukum yang tertuang dalam poin-poin keberatan. Alasan utama TPUA, pelapor tidak dilibatkan dalam gelar perkara awal, Bareskrim dianggap membuat kegaduhan baru dan karena kasus atau skandal ijazah ini menjadi perhatian umum. Sejauh ini jawaban Polri tidak jelas.

Permintaan TPUA diperkirakan bisa saja ditolak, namun bisa pula dipenuhi. Penolakan bisa terjadi jika kita melihat track record Polri. Namun bisa pula dipenuhi karena pemerintahan telah berganti, dan diharapkan Presiden Prabowo mendorong terwujudnya penyelesaian skandal ijazah yang pro justisia. Jika ini terjadi, maka bisa saja kesimpulan Bareskrim berubah dan tuntutan aktivis/TPUA bisa berlanjut ke pengadilan melalui Kejagung.

Di pengadilan, hambatan baru (oleh MA) bisa saja kembali muncul, sehingga pembuktian asli atau palsunya ijazah tidak pernah terjadi. Dalam hal ini, hakim-hakim MA bisa saja mengatur sehingga sidang-sidang berakhir dengan Putusan Sela Niet Onvankelijke Verklaard (NO). Gugatan ijazah palsu Jokowi akan dinyatakan tidak diterima. Tujuannya, agar proses pembuktian keaslian ijazah dapat dihindari. Hakim-hakim bisa saja membuat keputusan tersebut karena dintervensi. Namun perlu dicamkan, jika modus ini terjadi maka pengadilan/MA dianggap telah melakukan kejahatan hukum, contempt of  court.

Modus NO telah terjadi pada kasus gugatan ijazah palsu oleh Bambang Tri pada 10/10/2022 (Nomor perkara 592/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst), berklasifikasi perkara perbuatan melawan hukum (PMH). Saat itu hakim pengadilan memutuskan tidak relevan memproses gugatan Bambang Tri, karena itu gugatan dihentikan dan proses pembuktiaan keaslian ijazah Jokowi tidak dilakukan. Namun pada 18 April 2023, karena Bambang Tri bersama Gus Nur melakukan podcast tentang dugaan ijazah palsu tersebut, justru didakwa menyebar berita bohong dan ujaran kebencian, melanggar Pasal 14 ayat 1 UU ITE, dan divonis 6 tahun penjara.

Jika tuntutan TPUA Desember 2024 berlanjut ke pengadilan, hakim-hakim pengadilan bisa saja merujuk putusan perkara No.529/2022 di atas, sehingga pembuktian ijazah tidak terjadi, dan Jokowi kembali lolos dari jerat hukum. Bahkan lebih lanjut, sama dengan yang nasib Bambang Tri dan Gus Nur, kelima aktivis sangat potensial dipenjara karena telah dituduh melanggar pasal 27a, Pasal 32, dan Pasal 35 UU ITE. Dalam hal ini, Jokowi dan Polri memang sudah mengambil ancang-ancang, sama seperti mengkriminalisasi Bambang Tri dan Gus Nur, melalui pelaporan ke Polda Metro Jaya 30 April 2025.

Uraian di atas menunjukkan dugaan ijazah palsu Jokowi akhirnya sangat potensial gagal terbongkar. Justru para penggugat dan aktivis lah yang akan dipenjara, terutama jika dua lembaga negara, Polri dan MA menjalankan skenario sarat rekayasa moral hazard seperti terjadi pada Bambang Tri dan Gus Nur pada 2022-2023. Faktanya proses hukum yang berlangsung hingga saat ini, terutama yang diperankan Polri memang mengindikasikan hal tersebut. Tampaknya Jokowi masih mengontrol dan berkuasa atas lembaga penegak hukum negara tersebut.

Padahal di sisi lain, para aktivis, TPUA dan pakar justru semakin hari semakin banyak menemukan fakta baru yang mengarah kepada kesimpulan bahwa ijazah Jokowi memang palsu. Aneka fakta tersebut antara lain terkait dosen pembimbing, lokasi KKN, pemalsuan ijazah di Jl. Pramuka, dll. Itulah sebabnya proses pembuktian di pengadilan sangat vital dilakukan. Namun tampaknya Jokowi, Polri, UGM dan oligarki pendukung terus berupaya menutupi  dugaan palsunya ijazah Jokowi. Maka, tidak ada jalan lain bagi para aktivis, TPUA dan pakar untuk terus MELAWAN dan mengadvokasi skandal dugaan ijazah palsu tersebut secara berkelanjutan.

Selain itu, karena menyangkut prinsip-prinsip moral, harkat martabat bangsa, konstitusi dan hukum, maka kita perlu mengingatkan seluruh lembaga negara, terutama Polri, MA, parlemen dan pemerintah untuk menjamin bahwa hukum dan keadilan ditegakkan. Sesuai UU KIP No.14/2008, rakyat berhak memperoleh informasi pejabat publik yang menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI dan Presiden RI, seperti yang disandang Jokowi. Informasi tersebut, termasuk tentang ijazah ybs seperti dipersyaratkan dalam Pasal 169 UU Pemilu No.7/2017.

Karena itu, rakyat  berhak memperoleh informasi yang valid dan kredibel tentang pejabat publik seperti Jokowi. Maka tidak ada alasan bagi Jokowi untuk terus menghindar menunjukkan keaslian ijazahnya, atau hanya menunjukkan kepada segelintir pejabat Polri yang diragukan kejujurannya. Sebaliknya, lembaga-lembaga penegak hukum seperti Polri harus kembali berfungsi sesuai amanat konstitusi dan daulat, bukan kepada Jokowi dan oligarki atau malah terlibat dalam skenario kotor sarat moral hazard guna melindungi Jokowi.

Tuntutan yang sama juga ditujukan kepada Prabowo yang menyatakan negara tidak  akan tinggal diam menghadapi pelanggaran merugikan rakyat dan bertekad menegakkan hukum tanpa kompromi dan tanpa pandang bulu (2/6/2025). Maka, Prabowo harus mengendalikan Kapolri dan Polri, tidak membiarkan Jokowi terus mengintervensi. Jangan biarkan konspirasi dan  ketidakjujuran mempermalukan bangsa dan sektor pendidikan dalam kasus dugaan ijazah palsu.

Prabowo menegaskan betapa penting para hakim MA sebagai benteng terakhir keadilan. Prabowo telah mengambil langkah strategis memperkuat integritas sistem hukum nasional, termasuk menaikkan gaji hakim 280 persen (12/6/2025). Sejalan dengan itu, maka MA dituntut tidak mengulang modus kejahatan hukum sarat rekayasa, contempt of court, seperti terjadi pada kasus Bambang Tri dan Gus Nur.

 

JOKO WIDODO

Berita Terkait

Berita Lainnya