Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
MENGAPA perekonomian kita tumbuh, tapi rakyat tertinggal di belakang? Pertanyaan itu bukan sekadar keluhan kelas menengah urban yang merasa daya belinya menurun.
Ini adalah cerminan kegagalan struktural yang mulai menggigit fondasi “mimpi besar” Indonesia Emas 2045.
Laporan Indonesia Economic Prospects (IEP) Juni 2025 dari Bank Dunia yang disajikan hari ini Senin 23 Juni menggambarkan sebuah paradoks: Indonesia tumbuh, tapi rakyatnya merangkak.
Pada kuartal I 2025, ekonomi Indonesia tumbuh 4,9 persen year-on-year.
Namun pertumbuhan ini ditopang oleh sektor pertanian dan jasa, sementara industri manufaktur justru melambat.
Lebih dari 50 persen pekerjaan baru tahun lalu diciptakan di sektor informal dan rendah produktivitas seperti perdagangan kecil dan pertanian subsisten.
Bahkan, 60 persen pekerja Indonesia saat ini berada di sektor informal tanpa jaminan kerja.
Sementara itu, konsumsi rumah tangga kelas menengah stagnan.
Dari tahun 2019 hingga 2024, konsumsi riil kelompok ini hanya tumbuh 1,3 persen per tahun.
Bandingkan dengan konsumsi kelompok termiskin dan terkaya yang tumbuh di atas 2-3 persen per tahun (lihat laporan IEP JUni 2025).
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemulihan pasca-pandemi lebih mengandalkan bantuan sosial bagi kelompok miskin dan akumulasi modal bagi kelompok atas, tetapi melupakan peran kelas menengah sebagai motor ekonomi nasional.
Perumahan Rakyat: Dari Rumah ke Harapan
IEP mencatat backlog perumahan yang signifikan.
Sekitar dua pertiga kekurangan perumahan terjadi di kawasan urban, dan banyak di antaranya tidak layak huni.
Di sisi lain, hanya 39 persen dari total rumah yang dibangun pada 2023 tergolong berkualitas baik.
Sebanyak 45 persen penduduk tinggal di rumah yang masih menggunakan cat berbasis timbal, yang berisiko pada kesehatan anak-anak dan menurunkan produktivitas masa depan.
Program pembangunan 3 juta rumah per tahun yang dicanangkan pemerintahan Presiden Prabowo akan memerlukan investasi publik sebesar USD 3,8 miliar dan diproyeksikan mampu menciptakan 2,3 juta lapangan kerja langsung.
Dengan skema yang tepat, program ini dapat memobilisasi USD 2,8 miliar investasi swasta.
Artinya, setiap 1 rupiah dana publik bisa menggandakan dampaknya di sektor riil.
Namun, skema ini hanya akan efektif jika pemerintah juga berperan sebagai fasilitator, bukan sekadar penyedia.
Reformasi regulasi perumahan, perizinan, tata ruang, serta keterlibatan swasta dan BUMD dalam penyediaan hunian harus dikedepankan.
IEP seiring dengan pendapat kami soal program 3 juta rumah dimana kami menyarankan pemerintah mendukung transformasi pemukiman berbasis komunitas yang terintegrasi dengan akses kerja, transportasi, dan layanan publik.
Danantara: SWF atau Leviathan Baru?
Danantara, lembaga baru yang mengkonsolidasikan lebih dari 800 BUMN ke dalam satu holding investasi ala sovereign wealth fund (SWF), menjadi salah satu kebijakan unggulan yang digarisbawahi dalam IEP.
Potensinya besar: mengelola aset strategis negara dan menarik investasi global. Namun potensi bahayanya juga besar.
Laporan IEP mengingatkan bahwa tanpa tata kelola yang transparan dan akuntabel, Danantara bisa menjadi Leviathan ekonomi baru yang tidak terkendali.
Jika orientasi komersial terlalu dominan tanpa perlindungan terhadap kepentingan publik, maka pasar bisa didistorsi dan sektor swasta terpinggirkan.
Bank Dunia menekankan pentingnya penerapan prinsip Santiago Principles dalam pengelolaan SWF, seperti yang diterapkan Temasek di Singapura atau Khazanah di Malaysia.
Transparansi, pelaporan berkala, independensi pengambilan keputusan, dan keterlibatan publik adalah kunci.
Jika tidak, Danantara bisa menjadi pusat kekuasaan ekonomi baru yang kebal terhadap pengawasan publik.
Analogi Mesin dan Oli: Ekonomi Butuh Pelumas Kelas Menengah
Ekonomi adalah mesin. Tapi tanpa oli — yaitu konsumsi kelas menengah — mesin itu macet.
Kelas menengah Indonesia (kelompok 40-90 persen) saat ini menghadapi stagnasi pendapatan riil, lemahnya jaminan sosial, serta meningkatnya biaya hidup, khususnya di sektor pendidikan, kesehatan, dan perumahan.
IEP mencatat bahwa pertumbuhan konsumsi kredit melambat drastis.
Kredit kendaraan, kartu kredit, hingga kredit multiguna semuanya mengalami kontraksi tajam.
Sementara itu, preferensi tabungan rumah tangga bergeser dari perbankan ke aset lindung nilai seperti emas dan properti.
Ini menandakan ketidakpercayaan terhadap masa depan dan semakin terbatasnya ruang fiskal pribadi.
Dengan tekanan pada upah riil dan pemutusan hubungan kerja di sektor padat karya seperti tekstil dan elektronik, kelas menengah Indonesia kehilangan kepercayaan dan daya beli.
Bahkan pertumbuhan nominal upah hanya 1,8 persen pada Februari 2025, hampir sejajar dengan inflasi.
Solusi: Reformasi Berbasis Manusia, Bukan Proyek
Solusinya bukan sekadar mempercepat proyek, melainkan mengembalikan orientasi pembangunan ke manusia.
Pertama, rumah harus dilihat sebagai hak sosial, bukan sekadar angka statistik.
Kedua, reformasi fiskal progresif diperlukan untuk memperluas basis pajak secara adil, termasuk dari sektor digital dan mineral.
Ketiga, peran Danantara harus tunduk pada kerangka hukum yang memungkinkan partisipasi publik dan pengawasan ketat.
Keempat, investasi pada modal manusia seperti pendidikan vokasional dan kesehatan preventif tidak boleh dikorbankan demi keseimbangan anggaran jangka pendek.
Jalan Menuju Indonesia Emas Perlu Kompas Moral
IEP Juni 2025 bukan sekadar laporan teknokratik oleh World Bank.
Ia adalah kompas arah pembangunan, tapi rakyat harus tetap menjadi pengemudinya.
Tanpa distribusi manfaat yang adil, pertumbuhan hanya akan menjadi angka dalam grafik, bukan peningkatan dalam hidup nyata.
Kita bisa saja membangun kota pintar, jalan tol, dan infrastruktur canggih, tetapi jika rakyat tidak punya rumah layak, pekerjaan bermartabat, dan pendidikan berkualitas, maka semua itu hanyalah istana pasir.
Mari kita bangun Indonesia dari bawah — dari rumah rakyat, dari kerja layak, dari kelas menengah yang kembali percaya.