Membedah Rekayasa Karier Tukang Mebel Jadi RI-1

Image 3
Joko Widodo dan istri dalam sebuah kesempatan.

Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior

APAKAH Jokowi adalah tokoh yang muncul dari rahim demokrasi? Atau, dia bagian dari sebuah proyek panjang. Hasil rekayasa geopolitik global? Rekayasa yang rancang bangunnya sudah dimulai jauh sebelum rakyat benar-benar mengenalnya?

Pertanyaan ini tidak muncul dari ruang hampa. Politik adalah persepsi. Jokowi hadir hasil polesan untuk menorehkan persepsi. Jejak dan narasi tentang Jokowi membanjiri benak rakyat. Para endorser datang dari segala kalangan dan profesi. Asing dan lokal.

Lazimnya persepsi adalah nisbi. Ia bukan kebenaran hakiki. Mutlak. Karenanya persepsi (seharusnya) selalu punya ruang untuk diskusi. Pertanyaannya sekarang: apakah kita punya keberanian untuk membedahnya? Mengulitinya?

Dari Solo Menuju Panggung Global

Banyak yang yakin, titik balik karier politik Jokowi bermula dari sebuah tugas "kecil tapi strategis". Tugas maha penting itu datang dari Presiden SBY. Titahnya: bantu menangkap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Sebagai wali kota Solo, Jokowi saat itu dinilai cukup netral dan bersih. Dia dianggap tidak terafiliasi pada kekuatan politik tertentu.

Namun, benarkah tugas itu hanya bagian dari kerja seorang kepala daerah? Atau apakah itu tiket masuk ke dalam radar pengaruh kekuatan global?

Sejumlah pengamat menyebut, pasca operasi tersebut, Jokowi masuk dalam “peta jalan pemimpin” versi Washington. Sosoknya pun dikemas ulang. Sederhana, merakyat, bersih, dan “toleran”. Media lokal dan asing berlomba mengangkat citranya. Blusukan, menyapa grassroot, juga masuk gorong-gorong. TIME bahkan mengganjarnya dengan julukan “Wali Kota terbaik dunia.” Sebuah branding luar biasa untuk seorang pejabat lokal dari Solo. Apakah ini semua kebetulan?

Luhut dan Hendro: Operator dari Dalam?

Ada dua nama yang selalu muncul dalam narasi perjalanan Jokowi menuju istana. Luhut Binsar Panjaitan dan A.M. Hendropriyono.

Luhut, seorang jenderal tua dengan rekam jejak panjang di diplomasi dan bisnis. Dia dikenal sangat dekat dengan Jokowi. Tugas itu harus paripurna. Harus sempurna. Itukah sebabnya Luhut pernah menyebut dirinya “berguru mebel” kepada sang wali kota? Tapi publik tahu, relasi mereka jauh lebih dari itu. Luhut bukan murid. Ia arsitek. Dia aktor. Luhut mentor dan pelindung.

Lalu ada Hendropriyono, tokoh intelijen kawakan dan mantan Kepala BIN. Dia juga disebut berada di balik dukungan strategis terhadap Jokowi. Dengan jejaringnya yang dalam dan lama di tubuh kekuasaan, Hendro diduga kuat jadi semacam pagar kokoh dari arah yang tak terlihat.

Jadi, benarkah keduanya memainkan peran kunci dalam membawa Jokowi ke tampuk kekuasaan? Apakah kita sedang berhadapan dengan sebuah konsorsium elite? Bukan sekadar demokrasi akar rumput?!

Tuan Baru: China

Dan, akhirnya Jokowi resmi jadi presiden. Tapi ironisnya bukan Amerika yang diuntungkan. Republik Rakyat China yang justru berpesta.

Dari proyek infrastruktur raksasa, investasi strategis, hingga eksploitasi sumber daya alam, semuanya masuk melalui pintu kerjasama bilateral yang sangat pro-Tiongkok. Proyek Belt and Road, kereta cepat, tambang nikel, pelabuhan, hingga ekspansi tenaga kerja asing (TKA), semuanya dikangkangi RRC.

Publik lalu bertanya-tanya: apakah benar Amerika yang menyiapkan, tapi justru China yang menuai hasil? Apakah kita sedang menyaksikan pertarungan dua raksasa dunia? Ironisnya, padang kurusetra itu bernama Indonesia. Yang tersisa dari panggung tempat terjadinya perang cuma porak-poranda!  Dan yang lebih tragis lagi: kalau RRC yang pesta pora, rakyat Indonesia dapat apa?

Demokrasi, atau Sandiwara Global?

Kalau semua jalur kekuasaan sudah diplot sejak awal, maka pemilu hanyalah rakyat dibikin pilu. Terlebih lagi bila si pemilik hajatan adalah kepentingan asing, demokrasi jadi dekorasi. Rakyat hanya disertakan dalam upacara formalitas untuk melegitimasi sesuatu yang sudah diputuskan jauh sebelum hari pencoblosan. Ini bukan tuduhan, apalagi dugaan. Ini peringatan.

Dan jika elite negeri ini justru berlomba-lomba memuaskan tuan-tuan asing itu, maka kita patut merenungkan sabda Rasulullah SAW:

“Barangsiapa memuaskan hati orang zalim dengan pujiannya, maka ia telah murka kepada Allah.” (HR. Ahmad, no. 17164)

Meski babak-belur, selalu ada kabar gembira bagi orang muslim dan beriman. Sampai tahap tertentu, para elit global itu boleh disebut berhasil. Tapi coba tengok, bagaimana nasib si wayang usai purna tugas? Dia mulai dijauhi. Finalis koruptor kelas dunia versi OCCRP itu kini disergap penyakit kulit. Dokter Tifa menyebut penyakitnya serius. Bisa berujung kematian.

Wamakaru makar Allah. Wallahu khoirul maakirin...

Catatan Penulis
Tulisan ini berdasarkan informasi dan narasi yang beredar di ruang publik. Tidak dimaksudkan sebagai tuduhan hukum kepada pihak mana pun. Tujuannya semata-mata untuk menggugah kesadaran kolektif demi menjaga kedaulatan dan masa depan bangsa Indonesia.

Berita Terkait

Berita Lainnya