Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
PRESIDEN Prabowo Subianto sudah berkali-kali melakukan ‘intervensi’ terhadap kebijakan publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab Kementerian.
Terbaru, Presiden Prabowo, melalui pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, mencabut izin usaha pertambangan (nikel) di pulau-pulau kecil di Raja Ampat, Papua, Selasa kemarin, 10 Juni 2025.
Intervensi pencabutan izin usaha pertambangan ini menandakan ada masalah besar dalam pemberian izin usaha pertambangan tersebut, yang tentu saja mengarah pada pelanggaran serius.
Sebelumnya, Presiden Prabowo juga melakukan ‘intervensi’ secara langsung terhadap kebijakan distribusi elpiji 3 kg yang ditetapkan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Kebijakan ini mengakibatkan antrian panjang bahkan ada yang meninggal dunia.
Kebijakan amburadul tersebut dibatalkan oleh Presiden Prabowo esok harinya. Kemungkinan besar, kebijakan tersebut diambil atas inisiatif Bahlil sendiri, tanpa dikomunikasikan terlebih dahulu dengan Presiden.
Yang juga tidak kalah menarik, Presiden Prabowo juga melakukan ‘intervensi’ dalam pergantian dua pejabat penting di Kementerian Keuangan, yaitu Dirjen Pajak dan Dirjen Bea dan Cukai, dan menggantinya dengan orang dekat Presiden.
Nampaknya, ada dua hal yang menjadi latar belakang intervensi ini. Pertama, penerimaan pajak pada triwulan pertama 2025 anjlok tajam, hanya 14,7 persen dari target APBN. Hal ini membuat rasio pajak terhadap PDB pada Q1/2025 ini juga anjlok tajam menjadi hanya 5,7 persen saja. Sangat memprihatinkan. Rasio serendah ini sudah dapat dikatakan masuk kategori krisis fiskal.
Kedua, rencana Presiden Prabowo membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) masih terganjal. Penunjukan dua orang dekatnya sebagai pejabat yang membawahi bidang penerimaan negara, pajak dan bea cukai, menjadi jalan pintas sementara untuk mengendalikan Penerimaan Negara.
‘Intervensi’ lainnya antara lain, perintah kepada TNI untuk membongkar pagar laut di pantai utara Tangerang, serta mengawal dan mengamankan Kejaksaan.
Yang juga sangat menarik dan mengandung nilai politik sangat tinggi, yaitu kasus Jenderal Kunto Arief Wibowo, yang dicopot sebagai Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I, dan dibatalkan esok harinya.
Berbagai intervensi yang dilakukan oleh Presiden seperti dijelaskan di atas sangat tidak lazim terjadi dalam sebuah pemerintahan. Hal ini menunjukkan secara jelas, ada duri dalam kabinet Prabowo.
Hal ini tidak bisa dibiarkan terjadi terus menerus. Prabowo harus segera mengganti menteri yang menjadi duri dalam daging, agar roda pemerintahan dapat berjalan lebih efektif.