Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
PENETAPAN Tom Lembong, Menteri Perdagangan periode 2015–2016, sebagai tersangka tindak pidana korupsi sarat dengan kepentingan politik. Penahanan yang dilakukan pada 29 Oktober 2024 patut dipertanyakan karena belum, atau bahkan tidak, memenuhi persyaratan formil dua alat bukti yang sah. Klaim kerugian keuangan negara hanya berdasarkan perkiraan yang kemudian terbukti tidak benar.
Tom Lembong dituduh merugikan keuangan negara sebesar Rp400 miliar, dengan alasan memperkaya pihak lain, bukan memperkaya dirinya sendiri. Tuduhan ini bersifat spekulatif, alias tidak nyata dan tidak pasti, dan tidak didukung fakta ekonomi yang riil.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembagunan (BPKP) dijadikan alat untuk pembenaran. BPKP ditugaskan melakukan audit investigatif untuk “menemukan” kerugian keuangan negara. Hasil audit BPKP selesai pada 25 Januari 2025, sekitar tiga bulan setelah Tom Lembong ditahan. Nilai kerugian keuangan negara kemudian membengkak menjadi Rp578 miliar, membengkak dari tuduhan awal Rp400 miliar.
Menurut audit BPKP, kerugian keuangan negara tersebut berasal dari dua komponen, “Kemahalan” dan “Kurang Bayar Pajak”. Masalahnya, kedua komponen tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai Kerugian Keuangan Negara. Pertama, komponen “Kurang Bayar Pajak” tidak diterima oleh majelis hakim yang menyatakan tidak nyata dan tidak pasti. Dalam hal ini, dugaan kriminalisasi terhadap Tom Lembong melalui rekayasa perhitungan kerugian keuangan negara menjadi semakin jelas.
Untuk tetap bisa menghukum Tom Lembong, komponen “Kemahalan” dipertahankan sebagai alat kriminalisasi. Pertama, BPKP berpendapat harga dasar identik dengan harga maksimum. Pendapat ini tentu saja bertentangan dengan fakta dan logika, di mana harga dasar wajib berfungsi sebagai harga minimum.
Kedua, BPKP berpendapat, harga dasar tersebut sudah termasuk PPN (Pajak Pertambahan Nilai), juga tidak sesuai fakta. Kedua hal ini menunjukkan perhitungan kerugian keuangan negara versi BPKP tidak faktual dan penuh rekayasa.
Terlepas dari itu semua, Tom Lembong terbukti tidak melakukan tindak pidana korupsi, tidak menerima suap maupun gratifikasi dalam bentuk apapun. Artinya, Tom Lembong terbukti tidak melakukan perbuatan melawan hukum.
Kasus dugaan kriminalisasi seperti yang terjadi pada Tom Lembong tampaknya terus berlanjut. Salah satu kasus tuduhan tindak pidana korupsi yang terindikasi mengandung unsur kriminalisasi juga menimpa Muhamad Kerry Adrianto Riza, seorang pengusaha muda di bidang penyewaan kapal tanker dan penyimpanan (terminal) bahan bakar.
Kerry ditahan sejak 25 Februari 2025, dan baru disidangkan 8 bulan kemudian, Oktober 2025. Jangka waktu hingga persidangan awal yang sangat lama tersebut patut dipertanyakan. Diduga, waktu yang lama tersebut diperlukan untuk mencari alat bukti seperti dituduhkan.
Artinya, pada saat penahanan dilakukan pada Februari 2025, Kejagung diduga belum mempunyai alat bukti yang cukup seperti dipersyaratkan dalam kasus tindak pidana korupsi. Dengan demikian, penahanan Kerry terindikasi cacat hukum.
Hal ini terbukti bahwa dakwaan yang diajukan dalam persidangan ternyata jauh berbeda dan tidak sinkron sama sekali dengan tuduhan awal pada saat penahanan terhadap Kerry. Perubahan konstruksi perkara yang sangat mendasar ini menimbulkan dugaan kuat bahwa penahanan Kerry sejak awal bukan berdasarkan kecukupan alat bukti, tetapi harus dicurigai sebagai bagian dari sebuah misi tertentu.
Pada awalnya, Kerry dituduh terlibat dalam tindak pidana korupsi terkait “tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina serta subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023”. Ternyata, tuduhan tersebut tidak ada dalam dakwaan resmi, mencerminkan tuduhan palsu. Dalam persidangan pembacaan dakwaan hanya terungkap, Kerry melakukan pengaturan dalam pengadaan penyewaan kapal tanker dan fasilitas penyimpanan (terminal) bahan bakar yang diklaim oleh Kejagung tidak dibutuhkan oleh Pertamina. Kedua dakwaan ini sama sekali tidak berkaitan dengan tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, subholding dan KKKS.
Dengan demikian, Kejagung terbukti keliru menuduh Kerry terlibat dalam kasus tata kelola minyak mentah dan produk kilang ketika menetapkannya sebagai tersangka dan menahannya pada Februari 2025. Penyimpangan mendasar antara tuduhan awal dan dakwaan di persidangan menegaskan bahwa penahanan Kerry sejak awal dinilai cacat hukum, karena tidak berdasarkan pada konstruksi kasus hukum yang jelas, konsisten, dan didukung oleh alat bukti yang memadai.
Kedua, Kerry disebut berperan sebagai broker, mendapat keuntungan dari mark up kontrak shipping (pengiriman) minyak mentah sekitar 13 persen sampai 15 persen dari harga asli. Tuduhan ini turut membentuk persepsi publik mengenai dugaan tindak pidana yang dituduhkan kepada Kerry.
Namun, tuduhan tersebut juga hilang dalam dakwaan resmi. Dalam persidangan, tidak ada dakwaan mark up seperti dituduhkan Kejagung pada saat penahanan. Fakta ini menunjukkan bahwa tuduhan kepada Kerry tidak mempunyai dasar hukum yang kuat, dan patut diduga hanya dijadikan alasan untuk melakukan penahanan, dengan tuduhan yang bersifat asal-asalan, bahkan cenderung palsu, yang kemudian terbukti tidak bisa dipertanggungjawabkan. Fakta ini semakin menguatkan dugaan adanya unsur kriminalisasi dalam proses penetapan tersangka dan penahanan terhadap Kerry. Selanjutnya, Kerry dituduh terlibat dalam praktek BBM oplosan, yaitu pengubahan Pertalite menjadi Pertamax.
Untuk hal ini, Pertamina sejak awal sudah membantah tuduhan tersebut, dan menegaskan tidak ada BBM oplosan seperti dituduhkan oleh Kejagung. Pertamina juga menegaskan secara eksplisit bahwa informasi yang beredar terkait hal ini merupakan disinformasi.
Lagi-lagi, tuduhan Kejagung tidak berdasarkan fakta, alias ilusi. Tuduhan yang mengandung unsur fitnah ini sangat merugikan Pertamina bukan saja dari sisi reputasi tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang nyata, karena sebagian konsumen beralih ke SPBU swasta (asing).
Tuduhan BBM oplosan pada akhirnya juga menghilang dari dakwaan. Fakta ini secara jelas menunjukkan bahwa tuduhan awal yang disampaikan Kejagung sangat lemah. Hilangnya tuduhan ini semakin menegaskan, proses penetapan tersangka dan penahanan terhadap Kerry bermasalah hukum, dan patut diduga terjadi kriminalisasi.
Kerry pada awalnya dituduh telah merugikan keuangan negara sebesar Rp193,7 triliun, yang sekali lagi ternyata hanya ilusi Kejagung, sebagaimana ilusi tuduhan BBM oplosan, mark up, maupun keterlibatan dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang, yang semuanya menguap dan menghilang dalam dakwaan resmi.
Pada akhirnya, ternyata, Kerry didakwa terkait penyewaan kapal tanker dan fasilitas penyimpanan bahan bakar. Kerry didakwa merugikan keuangan negara sebesar 9,86 juta dolar AS dan Rp1,07 miliar untuk penyewaan kapal tanker, serta Rp2,9 triliun untuk penyewaan fasilitas penyimpanan bahan bakar. Nilai dakwaan tersebut tidak sebombastis pernyataan Kejagung pada saat penahanan Kerry pada Februari 2025 yang disebut-sebut mencapai angka “kuadriliun”.
Dakwaan merugikan keuangan negara tersebut tentu berdasarkan perhitungan auditor negara, yaitu BPK atau BPKP. Untuk itu, perlu dicermati secara kritis apakah perhitungan kerugian keuangan negara tersebut benar-benar bersifat faktual atau ilusi seperti yang terjadi pada kasus Tom Lembong.
Terakhir, dan yang terpenting. Kerry ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi bukan karena perbuatannya secara langsung, tetapi karena Kerry disebut sebagai beneficial owner dari kedua perusahaan yang disangkakan melakukan tindak pidana korupsi di maksud di atas.
Kalau konsep beneficial owner, yaitu penerima manfaat akhir atau pemilik perusahaan sesungguhnya, dapat dijadikan dasar penetapan tersangka tindak pidana korupsi tanpa ada keterlibatan langsung, mencerminkan Indonesia dalam kondisi darurat hukum. Karena, aparat penegak hukum dapat dengan mudah menetapkan semua pemilik perusahaan sebagai tersangka ketika perusahaan milik mereka terseret kasus korupsi. Yang menjadi pertanyaan besar, mengapa Kejagung, atau KPK, tidak menerapkan standar yang sama terhadap pemilik perusahaan yang secara nyata perusahannya telah terbukti terlibat dalam tindak pidana korupsi?
Misalnya, dalam kasus suap pajak yang melibatkan salah satu Direktur Pajak dan tiga perusahaan (Bank Panin, Gunung Madu Plantations dan Jhonlin Baratama), kenapa tidak satupun beneficial owner ditetapkan sebagai tersangka?
Demikian pula dalam kasus skandal minyak goreng yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar seperti Wilmar Group, Permata Hijau Gorup, dan Musim Mas Group, yang mempunyai beneficial owner berkedudukan di Indonesia maupun Singapore, kenapa tidak ada beneficial owner yang ditetapkan sebagai tersangka?
Praktek diskriminatif hukum ini menegaskan bahwa penegakan hukum di Indonesia sarat dengan praktek tebang pilih. Pertanyaannya, kenapa Kerry?


