KUD didirikan secara top down melalui Inpres no 4 tahun 1973 dengan tujuan yang kira-kira sama dengan Koperasi Merah Putih. KUD gagal di antaranya karena anggota tidak memiliki keterikatan dan kepentingan kepada koperasi. Bahkan seringkali KUD disebut sebagai wadah untuk memperkaya pengurus, yaitu ketua, sekretaris dan bendahara. (Ada plesetan yang menyindir soal KUD, yakni dianggap sebagai Ketua Untung Duluan).
Oleh: Kurnia Fajar, Mantan CEO Agro Jabar dan Pengurus Koperasi Tani Tatali Batin, Jawa Barat
RENCANA Koperasi Merah Putih yang sudah digulirkan Presiden Prabowo Subianto patut diapresiasi dan ditunggu kehadirannya sebagai generator ekonomi baru dalam masyarakat. Namun perlu dicermati dan dikritik, agar jangan sampai koperasi ini bernasib seperti KUD di masa Orde Baru.
Dalam situsnya merahputih.kop.id disebutkan, koperasi berbasis desa/kelurahan ini akan di resmikan 12 Juli 2025. Yang menjadi landasan adalah pasal 33 UUD 1945 dan mimpi Bung Hatta yang sering mengatakan bahwa koperasi adalah sokoguru perekonomian bangsa. Bung Hatta juga dijuluki sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Dalam situs juga disebutkan ada 13 manfaat dari koperasi desa/kelurahan Merah Putih. Sebagai pusat produksi dan distribusi yaitu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, memberikan pelayanan yang cepat dan sistematis, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi, menekan harga di tingkat konsumen, meningkatkan nilai tukar petani (NTP) dan kesejahteraan petani, menekan pergerakan tengkulak, memperpendek rantai pasok, meningkatkan inklusi keuangan, menjadi agregator UMKM, menekan kemiskinan dan mengendalikan inflasi.
Tujuannya sudah baik dan tepat. Namun apakah program ini akan berhasil? Saya mencatat empat hal yang harus direvolusi jika program ini ingin berhasil.
Berikut beberapa catatan yang menurut saya penting. Pertama, pembentukan koperasi idealnya bottom up, sesuai dengan kepentingan dan profesi anggota. Contohnya koperasi perikanan di Norwegia, yang cukup terkenal dan survive hingga saat ini. Koperasi perikanan di Norwegia dimulai dengan pembentukan dua asosiasi perikanan pada 1926/1928.
Kemudian, pada 1936 enam koperasi ikan lepas pantai, yang dikenal sebagai Norges Sildesalgslag, dibentuk untuk mempromosikan penjualan hasil laut. Dalam koperasi ini para nelayan berhimpun dan menyetorkan sebagian modalnya pada koperasi. Kemudian Koperasi menyusun satu model bisnis yang tertutup hanya untuk anggota koperasi (closed loop model bisnis) dan koperasi bergerak di semua ekosistem perikanan, mulai dari perawatan kapal, penyiapan logistik dan bahan bakar kapal yang akan melaut, kemudian menerima hasil tangkapan, sampai koperasi bertanggung jawab atas pemasaran hasil lautnya.
Dengan demikian nelayan bisa profesional dan fokus pada produksi menangkap ikan di laut. Ekosistem bisnis yang tertutup ini membawa koperasi semakin besar dan memaksa pebisnis pendukung dan turunannya untuk akhirnya ikut masuk menjadi anggota koperasi.
Kedua, koperasi harus bisa mengelola Sovereign Wealth Fund (SWF), yang berarti Dana Kekayaan. Ini adalah dana investasi yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah suatu negara untuk tujuan jangka panjang, seperti stabilisasi ekonomi dan pembangunan nasional. Lagi-lagi Norwegia adalah negara yang memiliki SWF terbesar dan terbaik cara pengelolaannya. Jika koperasi diberikan peluang untuk mengelola dana investasi maka akan terjadi peningkatan dan putaran bisnis baru di masyarakat. Sebagai contoh, jika tambang-tambang di Kalimantan, Sulawesi, dikelola koperasi maka terbuka kesempatan masyarakat mendapat SHU atau sisa hasil usaha. Tidak seperti sekarang yang hanya dikuasai oleh korporasi dan bahkan individu-individu tertentu.
Jika KPBS Pangalengan sebagai koperasi susu bisa mengelola dana SWF, bisa saja KPBS akan berinvestasi pada pembangunan perkebunan pakan, menambah jumlah sapi perah, melakukan breeding dan meningkatkan kualitas hasil susu, sehingga bisa setara dengan susu impor.
Ketiga, untuk menghidupkan koperasi pemerintah harus mengukur ulang kebijakan dan peraturan perbankan. Dalam UU perbankan no 10 tahun 1998 memang sudah meratifikasi sistem perbankan Internasional. Namun Indonesia yang masih menggunakan Bank Sentral dalam pembinaan dan pengawasan kepada bank-bank, juga memiliki kredo bahwa bank adalah the last resort of financial.
Pemberi pinjaman terakhir adalah pihak yang Anda andalkan saat Anda sangat membutuhkan dana dan Anda telah kehabisan pilihan lain. Sehingga perbankan menjadi rikuh dalam hal inovasi produk perbankan.
Bandingkan dengan Singapura yang menganut sistem prime bank sehingga perbankan bisa lebih inovatif dalam memberikan kredit kepada para nasabahnya. Rabo Bank sebagai bank pertanian terbesar di dunia pun akhirnya check out dari Indonesia karena environment bisnis pertanian di Indonesia dianggap tidak menguntungkan lagi. Padahal, Indonesia dulu pernah menjadi eksportir karet dan teh terbesar di dunia.
Keempat, berkacalah kepada kegagalan KUD atau Koperasi Unit Desa yang didirikan pada masa Orde Baru. KUD didirikan secara top down melalui Inpres no 4 tahun 1973 dengan tujuan yang kira-kira sama dengan Koperasi Merah Putih. KUD gagal di antaranya karena anggota tidak memiliki keterikatan dan kepentingan kepada koperasi. Bahkan seringkali KUD disebut sebagai wadah untuk memperkaya pengurus, yaitu ketua, sekretaris dan bendahara. (Ada plesetan yang menyindir soal KUD, yakni dianggap sebagai Ketua Untung Duluan).
Anggota hanya berkumpul jika dibutuhkan tanda tangannya, menerima subsidi pupuk dan menerima bantuan alat dan mesin pertanian. Ketika bantuan sudah diterima, penggunaan mesin pun tidak fleksibel dan menjadi otoritas ketua koperasi.
Membangun koperasi yang kuat diperlukan modal sosial yang cukup, mental yang baik. Yang paling penting adalah rasa saling percaya. Apakah masyarakat Indonesia hari ini masih memiliki itu? Jangankan di level masyarakat, di level elit pemerintahan pun krisis kepercayaan sudah terjadi. Sesama warga negara berkelahi, aksi tipu-tipu. Saling menghina martabat antaranak bangsa sedang terjadi saat ini. Saya pesimistis, Koperasi Merah Putih akan kuat jika kondisi mental bangsa ini belum diperbaiki.
Bagaimana caranya agar program koperasi merah putih ini bisa berhasil? Menurut saya sederhana saja: mari ciptakan musuh bersama. Ketika pemerintah berniat membangun koperasi susu, apakah pemerintah berani menghentikan impor susu dari Australia dan New Zaeland? Apakah pemerintah berani memprovokasi warga negara agar tercipta kesadaran bahwa Indonesia harus memproduksi susu sapi yang kualitasnya baik, dengan harga bersaing dari produk susu Australia dan New Zealand. Jika warga negaranya sadar dan pemerintah berani menghentikan impor susu maka dipastikan dua sampai tiga juta rakyat Nusantara punya harapan baru, yakni berprofesi sebagai petani pakan, peternak sapi, industri pengolahan susu dan industri turunan lainnya.
Impor susu sapi Indonesia mencapai 4,5juta ton. Warga negara akan berhenti berkelahi, mereka akan bahu-membahu karena yakin hasil susunya pasti dibeli. Saya sebagai pengurus Koperasi Tani Tatali Batin akan mendorong anggota koperasi untuk menanam pakan ternak, mendorong produksi pupuk karena kebutuhan pakan akan meningkat drastis. Koperasi lain akan mau menanam cabai, singkong, wortel, dan kentang karena tahu pemerintah bertekad mengurangi impor bahkan jika perlu meniadakan impor.
Saya yakin dan percaya Wakil Menteri Koperasi, Kang Ferry, sangat memahami ini. Dulu kami sering berdiskusi ketika beliau masih mengurusi pasar sebagai sekjen APPSI. Beliau paham sekali bahwa impor itu meniadakan generator ekonomi rakyat. Terakhir, saya berdoa semoga cita-cita baik pemerintahan Prabowo Subianto ini berhasil dan tentu disertai keberanian melawan hegemoni produk pertanian impor. Merdeka!