Oleh: Moh. Samsul Arifin, Pecinta Sepak Bola
INTER Milan lebih menginginkannya. Tengok saja saban melesakkan gol ke gawang Barcelona di leg kedua di stadion Giuseppe Meazza, Milan, skuad asuhan Simone Inzaghi itu selalu merayakan dengan gegap gempita, bahkan emosional.
Babak pertama Inter bermain nyaman, efektif dan menyengat, terutama gol pertama yang diraih dengan menjalankan tekanan tinggi pada pemain belakang Barca yang sedang memegang bola. Sang kapten Lauro Martinez mudah saja merobek gawang Wojceich Szcesny hasil asis Marcus Thuram. Gol itu melambungkan mimpi "Il Nerazzurri". Sebuah gol yang jadi modal kepercayaan diri dan menjemput gol berikutnya.
45 menit pertama Barca tak berkutik. Inter masuk kamar ganti tanpa waswas. Tapi yang dilawan adalah Barcelona, ditukangi Hansi Flick yang punya satu trofi Liga Champions Eropa bareng Bayern Munchen. Dan semua juga tahu klub Spanyol itu memiliki aminisi macam Lamine Yamal, Pedri Gonzalez, Raphael Raphinha atau Dani Olmo. Inter belum menang sampai pluit terakhir ditiup wasit.
Cerita babak kedua sungguh bak "roller coaster". Adegan empat gol tambahan mengaduk-aduk adrenalin.
Dari menit 46 sampai 87 Barca menguasai lapangan. Satu gol Eric Garcia, lalu Olmo dan Raphinha hampir menyegel satu tiket final buat "Blaugrana". Tapi sepak bola tidak kelar di menit 87 ketika gawang Yann Sommer jebol kali ketiga malam itu.
Kesalahan di sisi kiri pertahanan Barca di "injury time" harus ditebus mahal: bek tengah Inter Francesco Acerbi ada di kotak penalti dan menceploskan gol penyeimbang. Dia menyambut asis Dumfries. Skor 3-3 dan martabat Barca runtuh. Perayaan atas gol Acerbi, di lapangan dan tribun stadion, seolah mengabarkan kesimpulan yang bakal terjadi di akhir laga yang harus ditentukan dalam dua jam itu.
Di babak perpanjangan 2x15 menit Inter punya momen. Inter merampasnya dari Yamal dan kawan-kawan. Puncak dari drama itu tak lain gol Frattesi di menit 99. Stadion pun meledak. Meski Barca memiliki 21 menit untuk setidaknya memaksa hasil seri 4-4, ikhtiar mereka mentok.
Di sepanjang laga bocah ajaib yang belum 18 tahun, Lamine Yamal berulang kali harus gigit jari. Malam itu Sommer tak dapat ditaklukkan oleh Yamal, kalau pun Sommer tak dapat menjangkau tendangan Yamal, tiang gawang setia membantu Inter tidak kebobolan lebih dari tiga gol. Inter berpesta, Barca menangis. Salah satu laga semifinal terbaik Liga Champions abad 21 (dengan tujuh gol) itu menobatkan Inter sebagai protagonis. Yamal dkk yang di atas kertas lebih diunggulkan harus melipat mimpi. Mereka dipersilakan mencoba lagi di lain musim untuk menjadi raja Eropa sekali lagi.
Inter menyegel satu tiket final yang akan berlangsung di Munchen, Jerman, 31 Mei mendatang. Ini final kedua buat Inter dan Inzaghi dalam tiga tahun terakhir. Di kesempatan pertama mereka dipatahkan Manchester City asuhan Pep Guardiola.
Di Munchen, Inter menunggu salah satu di antara PSG dan Arsenal. Kedua tim belum pernah menggamit trofi Liga Champions, tapi PSG telah berpengalaman melakoni final di musim 2019/2020. Adapun Arsenal sempat hampir juara di musim 2005/2006, namun asa itu digergaji Barcelona yang kala itu diarsiteki Frank Rijkard.
Jika sepak bola menyerang yang jadi pujaan, Barcelona mestilah jawara. Tapi pemenang ditentukan di lapangan. Barca telah masuk kotak. Kini Inter berada di garis paling ideal untuk menjemput trofi Liga Champions. Limabelas tahun lalu Inter juara ketika sanggup melukai Barcelona di semifinal. Di musim 2009/2010 laga puncak mempertemukan Inter kontra Bayern Munchen. Jose Mourinho sukses mengantar Inter jadi kampiun dan treble winner. Akankah musim ini bakal terulang? Treble winner sudah tak mungkin. Kans tersisa tinggal Liga Champions dan Serie A.
Saya teringat awal milenium. Di musim 1999/2000 dan 2000/2001 klub dari Spanyol, Valencia tetiba merampas perhatian pecinta bola. Klub ini tak punya tradisi di Liga Champions. Semua tertahan pada klub yang diracik Hector Cuper itu lantaran melesat ke babak puncak. Di tahun 2000, ia menantang sesama klub Spanyol, Real Madrid di final. Musim berikut Valencia sekali lagi masuk final. Kali itu bertemu Bayern Munchen.
Dan hasilnya adalah...?
Cuper yang berpaspor Argentina gagal. Dua kali final, dua kali pula merana. Itulah nasib Cuper. Di Liga Champions ada mitos bahwa klub yang belum pernah masuk final, tidak pernah langsung jawara di kesempatan pertama. Pada kasus Valencis dan Cuper, mitos itu menjadi kutukan: Di kesempatan kedua, musim 2000/2001, Valencia pun tak mampu jadi kampiun setelah menyerah via adu penalti kontra Munchen.
Pada 2009, Chelsea juga gagal juara di kesempatan pertama. Begitu pula PSG di tahun 2020. Setahun kemudian mitos itu makan korban lagi: Manchester City.
Chelsea baru jawara di kans kedua, musim 2011/2012. Begitu pula City jadi raja Eropa di final keduanya, musim 2022/2023.
Jika mampu menyingkirkan Arsenal di Paris, malam nanti, PSG memiliki kesempatan kedua untuk juara. Begitu juga dengan Arsenal. Bila ikut cerita manis Chelsea dan City, PSG atau Arsenal bisa menjemput trofi musim ini. Namun, jika PSG atau Arsenal digandoli kutukan Valencia, dua klub ini bakal tetap nomor dua di Eropa. Gagal juara.
Sebagai klub Inter Milan sudah terlatih. Di era Liga Champions, Inter pernah juara. Cuma harus dicamkan ada "cerita pahit" ala Juventus. Pernah jawara musim 1995/1996 dan setelah itu berulang kali (lima kali di era UCL) masuk final dengan rekor kalah lagi dan kalah terus. Nah cerita muram ini dapat saja menimpa Inter: Masuk final dua kali dalam tiga musim dan kalah.
Satu lagi: Ini final kedua Simone Inzaghi sebagai pelatih. Dia belum tentu lepas dari kutukan, seperti yang menimpa Hector Cuper atau pelatih Juventus, Massimiliano Allegri yang kalah terus di dua final, 2014/2015 dan 2016/2017.
Adik dari Filippo Inzaghi itu masih punya satu kans lagi: Menyamai prestasi Thomas Tuchel jadi pelatih yang meraih trofi Liga Champions di kesempatan kedua. Tuchel mengantar PSG ke final 2019/2020 dan baru mengoleksi trofi UCL setelah disunting Chelsea musim 2020/2021.
Ini Liga Champions, segala sesuatu tidak kelar di hal-hal teknis. Inzaghi pun harus mematahkan satu mitos terakhir: Allianz Arena adalah stadion yang ramah dengan underdog dan melahirkan juara baru. Di stadion itu pula, tahun 2012 silam Chelsea menggasak Bayern Munchen via adu penalti untuk merebut trofi pertama Liga Champions.
Mungkinkah hal itu bakal terulang? Sejak tahun 2000, saya sering tergoda membela tim-tim kejutan, klub yang diremehkan dan belum pernah jawara. Di musim ini, Real Madrid telah disikut Arsenal. Liverpool juga dirontokkan PSG. Kini klub yang belum pernah juara Liga Champions berpeluang besar menorehkan namanya di pucuk kompetisi tertinggi Eropa.
Kalau boleh memilih saya lebih ingin melihat juara baru musim ini. Kalau tidak, saya ikhlas bila terpaksa Inter Milan yang jadi raja Eropa musim ini. Sebab sang hegemon, yakni Real Madrid, tak ada lagi di final. Saya kelewat cemas dengan dominasi--sesuatu bikin sepak bola tak berkembang dan dikuasai klub yang itu-itu saja. Bosan dan membosankan.