Badai PSG Menelan Inter

Image 3

Oleh: Moh. Samsul Arifin, Pecinta sepak bola.

SEPAK BOLA bisa begitu sangat manis, di saat yang sama sangat kejam. Kontradiksi itu melilit Paris Saint-Germain dan Inter Milan tatkala berperang demi trofi Liga Champions Eropa musim 2024/2025. Di markas Bayern Muenchen itu, Simone Inzaghi yang berhasrat mengantar klubnya menjadi Raja Eropa rontok di tangan pasukan Luis Enrique. Kejayaan Francesco Acerbi dkk yang menenggelamkan Barcelona di semifinal, hilang tak tersisa dilumat badai kesempurnaan Ousmane Dembele dkk. PSG memeluk kebesaran, Inter menggenggam tragedi.

Musim ini Inter menyingkirkan Barca, 7-6 dalam dua laga yang akan dikenang sebagai salah satu semifinal terbaik di era UEFA Champions League (UCL); Arsenal menggasak juara bertahan, Real Madrid dengan agregat 5-1 di perempat final; PSG dengan susah payah melempar Liverpool dalam laga ketat yang berujung drama adu penalti di Stadion Anfield saat bentrok pada 16 besar.

Tiga laga itu, yang dapat disebut sebagai momen penting Liga Champions musim ini, menentukan kisah tiga klub di kompetisi terakbar di Eropa ini. Namun satu hal yang tak boleh dilupakan: Sang juara selalu ditentukan di partai final. Arsenal tidak juara saat membekuk Madrid. Begitu pula Inter tak otomotis menyabet trofi cuma karena melempar Barca.

Inter berada dalam euforia tinggi setelah menang atas Lamine Yamal dkk itu. Ada kesan, dan itu menonjol, trofi UCL seolah tinggal sekian inchi lagi dari jangkauan mereka. Siapa tidak teler, girang, dan mabuk kala sanggup membungkus Barca yang begitu dominan menguasai bola itu? Inter pun menjadi pusat perbincangan: Juru taktiknya, Simone Inzaghi, dianggap punya dimensi taktik yang cukup untuk melakoni final kedua di panggung Eropa di Muenchen.

Toh sepak bola tidak bergerak lurus dan gampang ditebak. Semua tahu hasilnya. Stadion Allianz Arena, yang karena pertimbangan netralitas komersial diubah jadi Munich Football Arena oleh UEFA, tak bersahabat buat Inter yang memilih kostum berwarna kuning.

Kali ini Si Ular gagal menerkam. Orang Paris, Les Parisiens, itu tak mampu dijinakkan. Sebaliknya Les Parisiens menari-nari sepanjang 90 menit, melepaskan diri dari Si Ular. Nyaris di seluruh pojok lapangan, pasukan Enrique memainkan bola dengan nyaman. Vitinha dkk tak gentar, seolah bukan Inter yang dihadapi.

Gol ketiga PSG menunjukkan tarian indah racikan Enrique yang menawan. Dembele, bukan striker murni, yang diplot sebagai pemain bebas terus bergerak.

Dembele menggoda Acerbi mengawalnya sampai ke tengah lapangan. Saat mendapat sodoran bola dari Vitinha, Dembele mengelabui Acerbi dengan tumit kaki kirinya sehingga bola kembali ke Vitinha. Ruang pun terbuka lebar. Pengatur serangan PSG itu menggiring bola bak penari balet hingga depan kotak penalti Inter. Dia lalu memberikan si kulit bundar kepada Desire Doue. Yann Sommer tak berdaya. Gol menit ke-62 dari Doue itu mengakhiri segalanya. Ikhtiar Inter untuk membalikkan skor 2-0 sirna. Sihir PSG meluluhlantakkan, mengingatkan pada keindahan sepak bola yang telah lama hilang dari tim nasional Brasil yang biasa memainkannya.

Kisah dongeng ala Liverpool yang sanggup mengejar ketertinggalan 3-0 AC Milan menjadi 3-3, di Istanbul, Turki, 2005 silam tak terjadi dua kali. Sebaliknya Si Ular terkulai lemah, goyah dan menyerah 5-0. Ini tragedi bagi Simone Inzaghi, juga buat pasukannya, Inter Milan.

Skor 5-0 itu merupakan kekalahan paling telak yang dialami finalis sejak kali pertama kompetisi ini digelar tahun 1956 silam. Duh antagonis kisah ini justru Inter, klub dari Italia yang dengan segala hormat sangat paham bagaimana bertahan dengan baik. Ini bahkan lebih buruk dari tragedi sama yang menimpa Italia tatkala dilumat habis Spanyol, 4-0, di Euro 2012.

Dua level yang berbeda, yakni level klub dan level negara, tapi menerbitkan luka dan kepedihan serupa. Kalau kebetulan harus dicari, aktor di belakang itu orang Spanyol juga. Kali ini menjelma dalam sosok Luis Enrique yang kalem, tapi ambisius.

Kok bisa PSG main dengan rancak, rapi, mematikan saat tak ada megabintang di dalam tim?

Saya kira di sini kepiawaian Enrique bekerja. Skuad PSG tersusun dari pemain muda yang dinamis dan cair plus pilar penopang Marquinhos, Hakimi, Dembele dan Donnarumma. Tujuh pemain lain: Pacho, Mendes; Vitinha, Neves, Ruiz, Doue, dan Kvaratskhelia. Mereka bekerja dalam skema 4-3-3.

Ajaibnya justru tanpa Kylian Mbappe, Lionel Messi dan Neymar, PSG memiliki senjata ampuh untuk menjinakkan perintangnya--termasuk tiga klub Inggris, Liverpool, Aston Villa dan Arsenal, yang disingkirkan mereka di babak 16 besar, perempat final dan semifinal.

Tiga gelandang, yakni Vitinha, Neves dan Ruiz, begitu cair, memainkan bola dari kaki ke kaki. Bola-bola pendek mengalir, bahkan di area sempit. Ketika ruang di pertahanan Inter terbuka, bola menjumpai Kvaratskhelia atau Doue. Dembele yang berperan sebagai "free role" justru bikin alur serangan tidak mudah ditebak dan dijinakkan. Ia bergerak di sayap kanan, kiri, menjemput bola sampai ke bawah--bahkan di posisi Hakimi.

Permainan PSG yang cair efektif menangkal cara bermain Inter yang kaku dan terpola. Tidak ada lagi serangan balik yang bikin Barca merana.

Organisasi pertahanan yang digalang empat bek sejajar PSG meredam serangan-serangan Inter. Bisa dikatakan Marquinhos dkk di belakang, tak perlu "sport jantung". Duet Lautaro Martinez dan Marcus Thuram buntu--justru di final. Donnarumma tak berkeringat, setidaknya cuma sedikit keluar keringat. Selama 90 menit gawang kiper berpaspor Italia itu perawan.

Dengan skor 5-0, lebih dari yang sanggup dicerna pecinta bola, penantian Nasser al-Khelaifi sejak membeli PSG lewat Qatar Sports Investments tahun 2011 silam. Di final keduanya, sang saudagar menjemput mimpinya menjadi Raja Eropa.

Duit miliaran dolar memang tak terganti, tapi itu bukan segalanya. Pelatih kondang dengan reputasi mentereng keluar masuk Parc des Princes. Bukan Carlo Ancelotti, Jose Mourinho, Thomas Tuchel atau Mauricio Pochettino yang menyegel satu trofi Liga Champions Eropa untuk klub ibu kota Prancis itu, tapi Luis Enrique. Seorang Spanyol yang menyunting DNA Liga Champions dari Barcelona, klub yang juga diantarkannya menyabet treble tahun 2015 silam.

Les Parisiens ternyata berjodoh dengan Orang Spanyol. Setelah tiga trofi, dua trofi domestik dan satu lagi trofi Liga Champions, PSG terbang tinggi di tanah Eropa. Kini PSG jadi klub kedua di Prancis setelah Olympique de Marseilles yang jawara Liga Champions. Stadion Allianz Arena, yang sementara diubah nama oleh UEFA atas nama menghindari komersialisasi merk itu, tetap tidak ramah pada klub-klub tua dan berpengalaman. Sebaliknya, ia terus melahirkan juara baru. Stadion ini masih menyimpan misteri yang belum terpecahkan.

Sudah takdir PSG mengakhiri paceklik trofi di Liga Champions di sana. Sepak bola menang di Allianz Arena. Dan itu dengan  mematahkan rumus Real Madrid, yang terbiasa menghimpun para superbintang. PSG menempuh jalan lain--setidaknya ampuh di musim 2024/2025. Saya tak yakin sihir ini akan terawat dan selalu memberi keberuntungan pada Paris Saint-Germain.