Malari 1974 dan Konsolidasi Demokrasi

OLEH: HANIEF ADRIAN*

Image 3

Artikel ini merupakan bagian terakhir dari tulisan memperingati 49 tahun Malari.

Kawasan stasiun Sudirman di jalan Blora dan Teluk Betung, Jakarta Pusat sekitar enam bulan lalu dihebohkan oleh fenomena Citayam Fashion Week yang diramaikan anak-anak usia remaja dari Cibinong, Bogor dan Depok. Kawasan itu pun secara jenaka dijuluki SCBD, singkatan dari Sudirman, Cibinong, Bogor dan Depok.

Di kawasan itulah suatu peristiwa yang terjadi 49 tahun lalu, kerusuhan besar pada 15 Januari 1974 menghanguskan beberapa pusat komersial di Harmoni dan Senen, termasuk membuat kawasan jalan Blora yang saat itu dikenal sebagai kawasan panti pijat. Almarhumah ibu saya suatu hari pernah bercerita, tahun itu ia berusia SMP dan saat peristiwa Malari ia keluar rumah ingin menyaksikan Jenderal Soemitro berjalan kaki dari kantor Dephankam di Medan Merdeka menuju pemusatan massa di jalan layang Dukuh Atas.

Ibuku bercerita, gedung-gedung di jalan Blora itu hangus dan para pekerja panti pijat termasuk pelanggannya berhamburan keluar, beberapa di antara mereka hanya menggunakan handuk. Hanya Tuhan dan mereka di bilik panti pijat itu yang mengetahui apa saja yang mereka lakukan.

Pembangunan dan Kesenjangan

Jakarta di tahun 1974 memang berbeda jauh dibandingkan Jakarta pada tahun 1965-1966. Jakarta era Orde Lama adalah kampung besar yang jalanannya dipenuhi demonstrasi menentang Nekolim, sementara Jakarta awal Orde Baru tetap menjadi kampung besar yang kawasan pusat bertebaran panti pijat, tempat perjudian dan segala yang berbau Nekolim. Sebagai pusat bisnis yang bermodalkan utang dan investasi asing, Jakarta memerlukan kawasan hiburan untuk para pebisnis melepas penat setelah berurusan dengan para birokrat.

Sementara pembangunan mengalir ke dalam kantung-kantung celana kaum yang lazim disebut sebagai OKB (Orang Kaya Baru), buruh pabrik, petani gurem, pegawai kecil dan kaum miskin kota mencoba bertahan hidup dengan upah murah dan kesenjangan pendapatan yang semakin meningkat pasca krisis kenaikan harga warisan Orde Lama.

Sementara itu surat kabar nasional memberitakan tentang korupsi perusahaan-perusahaan negara dan peristiwa lain yang memancing temperamen masyarakat. Sekali waktu, pecah kerusuhan anti pedagang Tionghoa di Bandung pada 5 Agustus 1973 akibat insiden yang seharusnya bisa cepat diselesaikan secara damai. Satu bulan kemudian, gedung DPR diserbu para santri yang marah dengan rapat-rapat DPR untuk mengesahkan RUU Perkawinan yang salah satu klausulnya akan melarang poligami.

Saat psikologi massa mudah terpancing untuk isu-isu permukaan, intelektual yang tercerahkan tentu secara cermat akan mendiagnosisnya sebagai gejala suatu penyakit. Mudahnya massa terpancing adalah gejala akutnya kesenjangan sosial dan ekonomi yang TSM atau Terstruktur, Sistematis dan Masif. Kesenjangan terstruktur tentu saja disebabkan kebijakan terstruktur yang hanya menguntungkan segelintir pihak dan merugikan orang banyak.

Kebijakan pembangunan semacam itu tentu saja merupakan persoalan ketidakadilan!

Protes Dari Kampus

Sebagaimana generasi 1966, mahasiswa generasi 1970-an selalu aktif mengkritisi kasus-kasus korupsi dan ketidakadilan lainnya. Namun, berbeda dengan Angkatan 66 yang bersekutu dengan Militer dan selalu meneriakkan slogan ‘Hidup ABRI’ dalam aksi-aksinya, Angkatan 1970-an adalah generasi yang memilih berhadap-hadapan dengan Rezim Militer Orde Baru yang berjanji menegakkan demokrasi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Militer berperan dalam demokratisasi bukan hal yang baru. Huntington dalam The Soldier and the State (1957) menegaskan bahwa korps perwira memiliki social imperative (kekuatan untuk mempengaruhi masyarakat), karena bagaimana pun para perwira berasal dari masyarakat. Masyarakat yang sedang mengalami proses demokratisasi akan mempengaruhi institusi militer yang berkecenderungan pro demokrasi. Itulah yang terjadi di Portugal saat terjadi Revolusi Anyelir 1974 dan Filipina dalam Revolusi EDSA (People’s Power) tahun 1986, di mana institusi militer yang sebelumnya memihak penguasa diktator kemudian memilih mendukung gerakan demokratisasi dari rakyat.

Tetapi kemudian, Militer Indonesia yang dipercaya mahasiswa angkatan 1966 memegang tampuk kekuasaan tidak konsekuen dengan janji demokratisasi. Dalam satu pertemuan tahun 1970 antara Seskoad dengan Dewan Mahasiswa-Senat Mahasiswa se-Bandung yang diundang Sekretaris Bidang Pemuda, Mahasiswa dan Cendekiawan Golkar Dr. Midian Sirait, Komandan Seskoad Mayjen S. Tjakradipura saat itu menegaskan bahwa ABRI memerlukan waktu hingga 25 tahun untuk membangun Indonesia. Sikap Komandan Seskoad tersebut tentu saja memicu kritik keras dari para aktivis mahasiwa yang hadir.

Mahasiswa kemudian kembali ke kampus-kampus memperbaiki kehidupan akademik yang terpolitisasi ekstrem pada era Demokrasi Terpimpin. Walaupun demikian, mahasiswa bukan berarti apatis terhadap politik. Mereka membangun grup-grup diskusi untuk mengkritisi kebijakan secara akademis. Aktivis-aktivis UI mendirikan Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI) yang dipimpin tokoh seperti Soe-Hok Gie, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan Sjahrir (Ciil).

Aktivis mahasiswa Bandung dari ITB, Unpad dan Unpar mendirikan Study Group 10 November yang menerbitkan Mingguan Mahasiswa Indonesia dengan markasnya di Jalan Tamblong Dalam. Perkumpulan Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (PSIK) yang didirikan Dewan Mahasiswa ITB aktif menyelenggarakan kuliah-kuliah umum untuk membahas persoalan ekonomi dan sosial politik. Mahasiswa UGM mendirikan Kelompok Diskusi Tiga Belas di Yogyakarta yang digawangi tiga belas orang antara lain Mochtar Pabottinggi, Ashadi Siregar dan Aini Chalid.

Strategi Kooptasi

Kritik-kritik keras terhadap kebijakan pembangunan datang dari diskusi-diskusi yang diselenggarakan para aktivis mahasiswa dari tiga cite universitaire Indonesia yaitu Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Mengingat peranan mahasiswa dalam menggerakkan aksi-aksi untuk menuntut pembubaran PKI kemudian menjatuhkan Bung Karno, Rezim Orde Baru kemudian memilih menghadapinya dengan dialog, pendekatan personal yang sifatnya persuasif, hingga menggalang mahasiswa untuk tujuan kooptasi.

Inisiatif itu datang dari Asisten Pribadi Presiden bidang Politik, Brigjen Ali Moertopo yang memandang pemuda pelajar dan mahasiswa perlu diberikan wadah tunggal setelah bubarkan organisasi eksponen aksi 1966 seperti KAMI, KAPPI, KASI, KAWI dan lain-lain. Sebagian eksponen 66 menjadi anggota DPR-GR dan beberapa digalang menjadi bagian dari Golongan Karya. Ali Moertopo melalui bidang Pemuda, Mahasiswa dan Cendekiawan (Pemacen) Golkar yang dipimpin Dr. Midian Sirait berusaha menyatukan mahasiswa dalam wadah National Union of Student (NUS), meniru nama organisasi yang sama dari Kerajaan Inggris Raya.

Namun, sebagaimana dialog antara Seskoad dengan mahasiswa Bandung, para aktivis terutama dari lembaga intrakampus sudah mengambil jalan berbeda dengan inisiatif Rezim Militer. Sementara aktivis organisasi ekstrakampus didahului dengan pertemuan Cipayung yang dihadiri HMI, GMKI, PMKRI, GMNI dan kemudian PMII menyetujui pendirian Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai wadah tunggal organisasi massa kepemudiaan. Kesepakatan mendirikan KNPI tentu saja mudah dibuat mengingat organisasi ekstrakampus dengan anggota berjumlah besar sangat bergantung pada tokoh sentral pengurus, sementara organisasi intrakampus bercirikan Pemerintahan Mahasiswa dipimpin oleh lembaga eksekutif yang dikontrol secara demokratis oleh mahasiswa melalui lembaga legislatif.

Oleh karena itu, Ali Moertopo dengan organisasi intelijen Operasi Khusus (Opsus) terus berusaha mengkooptasi organisasi mahasiswa intrakampus dengan mendirikan Ikatan Mahasiswa Profesi seperti Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia (IMKI) dan Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI). Hariman Siregar, mahasiswa populer dari Fakultas Kedokteran UI berhasil dibina Ali Moertopo dan dimenangkan dalam pemilihan Sekjen IMKI.

Dalam pemilihan Ketua Umum Dewan Mahasiswa UI periode 1973-1975, Ali Moertopo berusaha menggalang kekuatan untuk memenangkan Hariman. Saat itu aktivis yang akan maju menjadi Calon Ketua Umum DMUI adalah Theo Sambuaga dari GMNI dan Ismeth Abdullah dari HMI. Manuver Ali berhasil dan Hariman menjadi Ketua Umum DMUI mengalahkan Ismeth Abdullah setelah Theo Sambuaga mengundurkan diri dari pencalonan. Di luar dugaan, Hariman justru mengangkat Judilherry Justam, aktivis HMI dan calon Sekjen IMKI yang dikalahkan Hariman, sebagai Sekjen DMUI.

Langkah aktivisme Hariman semakin tidak dapat dikendalikan Ali Moertopo. Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa se-UI semakin aktif menggalang aksi-aksi demonstrasi untuk mengkritisi kebijakan penanaman modal asing. Tentu saja protes mahasiswa ini menyerang sosok pejabat seperti Soedjono Hoemardani yang dikenal dekat dengan pengusaha dan investor dari Jepang. Para ekonom Mafia Berkeley juga tidak luput dari kritik mahasiswa atas kebijakannya yang hanya bertumpu pada strategi pertumbuhan ekonomi.

Kritik terhadap strategi pembangunan Orde Baru dihadapi Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dengan berkeliling kampus-kampus se-Indonesia mengajak dialog. Jenderal Soemitro yang dikenal dekat dengan para teknokrat Mafia Berkeley ini menjanjikan pembangunan lebih menyerap aspirasi masyarakat sekaligus menggulirkan isu kepemimpinan sosial baru yang diperkirakan Soemitro akan muncul pada 1 April 1974 atau pelaksanaan Pelita II.

Persaingan antara Soemitro dan Ali Moertopo dalam mencari dukungan mahasiswa ini kemudian bermuara pada konflik yang tak terelakkan dalam puncak aksi demonstrasi mahasiswa menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka pada 15 Januari 1974. Aksi mahasiswa diikuti dengan kerusuhan yang dilakukan masyarakat dan menurut analisis Soemitro dan pengakuan para pelakunya di penjara didalangi oleh ormas GUPPI. Kerusuhan ini didalangi GUPPI binaan Ali Moertopo tentu saja bertujuan menciptakan citra buruk bagi Jenderal Soemitro yang diisukan akan memanfaatkan aksi mahasiswa untuk menggulingkan Presiden Soeharto dan berujung pada kerusuhan.

Menjadi Guru Aktivis Pro-Demokrasi

Sementara para jenderal yang berusaha mengkooptasi gerakan mahasiswa dalam mematangkan demokrasi satu persatu masuk kotak, para aktivis mahasiswa meneruskan kaderisasi di kampus dalam rangka melahirkan kepemimpinan sipil yang demokratis. Walaupun Pangkopkamtib Laksamana Soedomo mengeluarkan kebijakan pembekuan Dewan-Dewan Mahasiswa se-Indonesia sebagai jawaban dari aksi mahasiswa ITB menolak pencalonan Soeharto untuk ketiga kalinya dalam Sidang Umum MPR 1978, kaderisasi berjalan terus dalam bentuk kelompok-kelompok studi mahasiswa, pers mahasiswa, keterlibatan mahasiswa dalam lembaga swadaya masyarakat hingga komite-komite aksi untuk isu pertanahan yang marak pada dekade 1980-an.

Hariman Siregar menjadi simbol pemersatu gerakan para aktivis yang tercerai-berai karena pemerintahan mahasiswanya dibubarkan Rezim Militer Orde Baru. Aktivis yang berperan dalam mempertemukan para aktivis mahasiswa dari berbagai kota universitas di Jawa dan menjadikan Hariman seperti semacam guru kader mereka adalah alm. Amir Husin Daulay, mahasiswa Universitas Nasional (Unas) pendiri majalah ‘Politika’. Saat itu Unas dipimpin Rektor Sutan Takdir Alisjahbana yang dikenal dengan pemikirannya yang liberal dan pro terhadap kebebasan beraktivitas para mahasiswa.

Sebagai guru kader para aktivis, Hariman sebenarnya hanya mengajarkan satu hal bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan moral yang didasarkan pada nurani. Mereka bergerak melawan ketidakadilan karena digerakkan oleh kesadaran nurani dan bukan menginginkan kekuasaan politik. Pandangan ini tentu saja berbeda jauh dengan sikap aktivis mahasiswa eksponen 66 yang menekankan gerakan mahasiswa bersifat moral namun mendapatkan bagian kekuasaan sejak era Orde Baru bahkan hingga hari ini.

Tetapi dari nilai-nilai kemerdekaan berpikir dan bersikap yang diajarkan Hariman inilah, muncul gerakan-gerakan mahasiswa yang lebih independen sejak pertengahan 1980-an, bahkan mereka lebih mampu mengorganikkan diri dengan gerakan rakyat dari kelompok buruh dan tani. Sikap jauh lebih independen lahir dari aktivis mahasiswa generasi 90-an yang berusaha keras membentuk organisasi pemerintahan mahasiswa tanpa intervensi Rezim Orba melalui birokrasi kampus. Dalam situasi yang matang, aktivis mahasiswa 90-an akhirnya sukses menjatuhkan Soeharto dan mengakhiri Rezim Orde Baru.

Mengawal Reformasi dan Konsolidasi Demokrasi

Setelah jatuhnya Soeharto, Hariman memilih masuk ke dalam politik karena kedekatan personalnya dengan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Pilihan ini kemudian dicibir para aktivis karena Hariman kemudian bergerak menggalang dukungan politik dalam kedudukannya sebagai anggota MPR. Namun, kita semua bisa melihat pengaruh Hariman terhadap kebijakan Habibie yang dinilai pro-demokratisasi seperti pembebasan para tapol Orde Baru, jaminan kebebasan pers dan aksi unjuk rasa, dan lain-lain.

Setelah Habibie memilih tidak melanjutkan pencapresannya dalam SU-MPR 1999, Hariman dan para aktivis pro-demokrasi seperti alm. Amir Husin Daulay dan alm. Mulyana Wira Kusumah mendirikan lembaga Indonesia Democracy Monitor (Indemo) pada peringatan Malari 15 Januari 2000. Indemo sejak awal sangat kritis terhadap Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang di awal pemerintahannya dirundung dugaan kasus KKN.

Indemo ikut mengkritisi kebijakan pemerintahan Presiden Megawati tentang penjualan aset negara yang strategis dan menguntungkan seperti Indosat dan Telkom. Gerakan yang dilancarkan Indemo mencapai puncaknya saat menggelar aksi ‘Pawai Cabut Mandat SBY’ pada HUT ke-7 Indemo 15 Januari 2007.

Indemo tetap menjadi barisan terdepan dalam mengkritik kebijakan pembangunan Rezim Jokowi yang bertumpu pada infrastruktur. Walaupun Jokowi adalah rezim yang diusung oleh para aktivis kelompok masyarakat sipil dan hak asasi manusia, program pembangunan infrastruktur dinilai Indemo hanya menguntungkan segelintir orang karena tidak jelas kegunaannya. Hariman mengingatkan jika infrastruktur dibangun tanpa digunakan untuk produksi, maka pihak asing akan memanfaatkan infrastruktur tersebut demi kepentingannya.

Di usianya yang ke-23, Indemo adalah salah satu lembaga yang konsisten menggulirkan isu demokrasi secara komprehensif, bahwa demokrasi tidak selalu soal penyelenggaraan pemilihan umum yang bersih dan jujur, tetapi demokrasi berbicara soal penegakan hukum, nasionalisme, kemanusiaan hingga pelestarian sumber daya alam dan lingkungan untuk generasi ke depan. Kiprah Indemo dalam proses konsolidasi demokrasi menjadi penting agar masyarakat selalu menyadari bahwa demokrasi adalah jalan terbaik untuk mencapai keadilan sosial dan kemakmuran yang merata, dan kita tidak akan pernah mentoleransi  penggunaan jalan otoritarian, baik yang berbungkus agama maupun berkemasan nasionalisme untuk mencapai tujuan tersebut.

Selamat Ulang Tahun Indemo, Panjang Umur Demokrasi!

Penulis adalah Peneliti Independent Society (IndeSo), sedang menempuh S2 Ilmu Politik UI

 

MALARI

Berita Terkait

Berita Lainnya