Pilpres 2024, Monumen Kemenangan atau Tugu Kekalahan PDIP?

Image 3
Presiden Joko Widodo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo

KONTESTASI politik melalui Pemilihan Umum (Pemilu) partai politik maupun Pemilihan Presiden (Pilpres) adalah murni perhitungan yang saling menegasikan. Kemenangan di salah satu pihak merupakan kekalahan di pihak lainnya. Kehilangan atau penurunan suara pada salah satu partai politik menjadi penambahan suara bagi partai politik lainnya. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, maka hukum besi inilah yang berlaku mutlak dan abadi.

Sekarang ini mudah dicermati melalui berbagai pernyataan para pengamat yang sepertinya seolah-olah menyanjung, memuja dan mengarahkan ke jalan yang benar, tetapi sesungguhnya mereka menjerumuskan dan mendorong PDIP dan para elitenya agar terperosok ke jurang kegagalan dan kehancuran dalam Pemilu dan Pilpres 2024 yang akan datang. Sangat mudah dibaca, tentunya strategi yang sedang digulirkan adalah berlakunya hukum besi abadi dalam kontestasi politik, kesalahan, kebodohan dan kelalaian lawan politik, menjadi keuntungan dan keunggulan bagi pihak lainnya.

Tentunya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tidak akan pernah bisa melupakan fakta dan catatan sejarah kekalahan dan kegagalan dalam Pilpres tahun 2004 lalu, bahwa pemilihan Presiden berbeda total dengan pemilihan partai politik dalam Pemilu. Sejarah pemilu dan pilpres tahun 2004 lalu, sudah membuktikan bahwa tidak ada korelasi preferensi rakyat pemilih terhadap partai politik identik dengan pilihan terhadap kandidat Capres/Cawapres.

Secara logika maka seharusnya pasangan Megawati Soekarnoputri dan KH Hasyim Muzadi dalam Pilpres 2004 lalu adalah pemenang yang dipilih oleh mayoritas rakyat pemilih, karena bagaimanapun Megawati Soekarnoputri adalah Presiden “incumbent” dan merangkap Ketua Umum PDIP yang menjadi pemenang Pemilu 2004. Diperkuat sebagai pasangan Cawapresnya yakni KH Hasyim Muzadi sebagai Ketua Umum Nahdathul Ulama (NU) dengan kekuatan mayoritas sebagai ormas agama Islam terbesar di Indonesia.

Pemimpin setiap negara atau suatu bangsa adalah pilihan Tuhan Yang Maha Kuasa. Jelas dan tegas dinyatakan dalam kitab suci umat Islam Al-Qur’an dan kitab suci umat Nasrani Al-Kitab. Banyak hal yang irasional dan tidak masuk logika akal sehat Kita manusia, jika sudah membahas tentang siapa dan mengapa seseorang bisa jadi Presiden RI.

Yang masih hangat dan didepan mata Kita adalah fenomena Joko Widodo. Saya sudah uraikan dalam berbagai tulisan pemikiran Saya dulu, siapa dan bagaimana rekam jejak seorang Joko Widodo, dari latar belakang pengusaha furnitur di Solo hingga Ia bisa dapat duriah runtuh yakni dapat amanah dari Tuhan Yang Maha Kuasa jadi Presiden RI, memimpin sedemikian banyak orang-orang jenius dan yang lebih baik yang ada di negara kita.

Semuanya mungkin terjadi karena berlandaskan pada filosofi “suara rakyat adalah suara Tuhan”, yang bersumber dari keyakinan dan ketauhidan umat manusia kepada Tuhan Yang Maha Kuasa melalui ajaran semua Kitab Suci.

Sejarah juga mencatat bahwa bagaimanapun Presiden Megawati Soekarnoputri saat memimpin Indonesia pada tahun 2001-2004, dengan dana bantuan JICA (Jepang), telah membangun budaya dan kultur demokrasi era modern di Indonesia melalui survei opini publik/jajak pendapat dan salah satu produknya adalah “tracking” terhadap kandidat Capres/Cawapres melalui variabel popularitas dan elektabilitas.

Bagaimana mungkin Ibu Megawati dan PDIP akan menegasikan dan menihilkan sejarah dan fondasi demokrasi yang telah mereka bangun di Indonesia dengan menyangkal Ganjar Pranowo sebagai kandidat Capres tertinggi elektabilitasnya berdasarkan hasil survei nasional seluruh lembaga survei di Indonesia?

Mengapa Harus Ganjar Pranowo?

Sebagai salah satu kekuatan pendukung yang terlibat dalam Pilpres 2014 lalu, bagi Saya ini hanyalah sejarah yang berulang dengan pertanyaan yang identik pada Pilpres 2014 dahulu, mengapa harus Joko Widodo?

Apa kelebihan seorang Joko Widodo yang tidak selesai menjalani jabatan Walikota Solo, kemudian lompat jadi Gubernur DKI Jakarta, akhirnya kemudian lompat lagi menjadi Presiden RI? Joko Widodo hanyalah pengusaha mebel sebelum menjadi Walikota Solo, itupun bisa terwujud jadi Walikota Solo karena wakilnya adalah kader PDIP sejati yang mumpuni FX Rudy Hadyatmo beragama Katolik dan kota Solo belum siap ketika itu untuk dipimpin oleh Walikota yang beragama non Muslim.

Sejatinya, dahulu ada lebih banyak pertanyaan tentang mengapa harus Joko Widodo? Pada sisi yang lain sungguh kontras jika dibandingkan, bahwa bagaimanapun Ganjar Pranowo telah berpengalaman menjadi seorang legislator PDIP sebagai anggota DPR RI selama 2 periode, mengurus berbagai masalah dan persoalan bangsa dan negara Kita pada tingkat nasional periode 2004-2009 dan 2009-2013.

Ganjar Pranowo tercatat juga telah menjadi Ketua Umum Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada (Kagama) selama dua periode 2014-2019 dan 2019-2024. Bahkan dari segi bibit, bobot dan bebet, sejarah mencatat bahwa Parmudji Pramudi Wiryo, ayahanda dari Ganjar Pranowo adalah seorang polisi yang jujur dan sederhana dan sempat ditugaskan dalam operasi penumpasan pemberontakan di Sumatera Tengah. Juga tidak bisa dilupakan, bagaimanapun Ganjar Pranowo telah menjadi kader PDIP dari sejak awal PDIP berdiri paska runtuhnya rezim Orde Baru, artinya merupakan kader PDIP tulen yang sudah berbuat dan berjuang untuk PDIP sejak dini.

Sejarah akan mencatat apakah panggilan jiwa dan hati nurani seorang Megawati Soekarnoputri sebagai seorang negarawan dan mantan Presiden RI, hanya berpikir sekedar mengartikulasikan nilai ajaran dan panutan sikap negarawan Presiden Soekarno sebagai hubungan karena darah dan keturunan belaka, atau menjalankan seluruh nilai dan sikap negarawan seorang Soekarno sebagai nilai-nilai ideologis bukan sekedar hubungan biologis atau karena faktor keturunan belaka.

Seluruh elite PDIP dan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri tentunya selalu berpikir filosofis, apakah esensi sesungguhnya politik dan kekuasaan? Apakah hanya sekedar jargon ideologis belaka, ataukah lebih fundamental dan lebih idealis lagi sesuai dalam ajaran kitab suci agama, bahwa memimpin itu sesungguhnya memberi dan membawa manfaat dan kebaikan yang sebesar-besarnya bagi umat manusia?

Sejujurnya cukup lama Saya merenungkan hingga akhirnya mencoba untuk bisa memahami mengapa partai politik PDIP diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa kepercayaan dan amanah dalam rentang waktu yang panjang sejak era reformasi tahun 2004 hingga sekarang menjadi partai politik pemenang Pemilu di Indonesia? Ada beberapa pertanyaan kritis yang selalu berkecamuk di benak saya.

Apakah memang benar PDIP partainya “wong cilik” tempat rakyat jelata bisa mengadu serta semua aspirasi, keluhan dan kegelisahannya sungguh-sungguh diperjuangkan? Bagaimana PDIP kedepan jika pemimpinnya bukan lagi Megawati Soekarnoputri? Bagaimana jika Megawati Soekarnoputri karena usia dan kesehatan akhirnya tidak bisa lagi sama sekali aktif di PDIP? Apakah Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan kekuasaan kepada PDIP karena mereka merupakan representasi keberagaman, pluralisme dan kemajemukan berbagai suku bangsa, etnis dan agama di Indonesia?

Megawati Soekarnoputri tentunya menyadari bahwa filosofi “suara rakyat, suara Tuhan” adalah kebenaran hakiki yang tidak bisa dilawan karena inilah yang mengangkat Megawati dan PDIP yang pada masa Orde Baru merupakan rakyat jelata biasa dan bisa mengantarkannya ke puncak kekuasaan di negara Kita. Jika sampai melawan takdir, maka sudah tentu perhitungan akhirnya akan berhadapan dengan rakyat dan Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai pemilik kekuasaan yang sejati.

Analisis dan prediksi Saya dengan latar belakang yang cukup panjang di negeri ini karena sejak Pilpres pertama tahun 2004 lalu hingga kini, Saya fokus dan mendedikasikan diri untuk terus mengawal proses pemilihan Presiden di negara Kita. Siapapun tidak akan ada yang bisa menghadang dan menghalangi jalan dan takdirnya Ganjar Pranowo untuk menjadi Presiden RI, kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa, sang pemilik tunggal kekuasaan sejati di alam semesta ini.

Perwujudannya akan muncul kelak melalui berbagai partai politik yang ada. Tidak ada satupun partai politik serta elite parpol yang tidak punya syahwat untuk berkuasa. Karena memang sejatinya, berpolitik dan membentuk partai politik tujuan sejatinya adalah untuk berkuasa dan merebut kekuasaan. Partai politik lainnya sedang terus mengintai dan menunggu untuk meminang dan mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai Capres dalam Pilpres 2024 saat pencalonan resmi tahun depan. Partai politik manapun yang akan mencalonkan Ganjar Pranowo pada Pilpres 2024 nanti, Insya Allah akan memenangkan dan mengantarkan Ganjar Pranowo jadi Presiden RI periode 2024-2029.

Apakah dengan dukungan ataupun tanpa dukungan PDIP. Tentunya merupakan rahasia dan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa mengapa Ganjar Pranowo yang dipilih akan diberikan amanah kekuasaan, bukan kepada figur yang lainnya yang dianggap lebih mumpuni atau sudah lebih teruji sebagai pemimpin.

Jika ternyata Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang telah diberikan amanah kekuasaan yang luar biasa dari Tuhan Yang Maha Kuasa berupa hak prerogratif untuk mementukan siapa pun yang mendapat tiket Capres dari PDIP, khilaf dan terpeleset dalam mengambil keputusan penting bagi bangsa dan negara Kita serta tentunya bagi masa depan PDIP, artinya sejarah bangsa dan negara Kita sedang ditata ulang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tapi jauh di lubuk hati terdalam, sungguh Saya tidak percaya bahwa Megawati Soekarnoputri akan melakukan kesalahan yang sangat fatal. Jika dalam Pilpres 2014 lalu saja, Megawati Soekarnoputri telah mengambil keputusan yang matang dan rasional dengan memberi tiket Pilpres pada Joko Widodo, maka 10 (sepuluh) tahun kemudian, tentunya tidaklah sulit bagi Megawati Soekarnoputri untuk memberikan tiket Pilpres 2024 kepada kader PDIP lainnya yakni Ganjar Pranowo.

Karena jika tidak, maka sejarah bangsa dan negara Kita Indonesia akan ditulis ulang. Tentu Megawati Soekarnoputri menyadari bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa telah memberikan beban dipundaknya, tugas dan tanggung jawab untuk tetap terus mengawal masa depan NKRI hingga akhir hayatnya.

Penulis adalah pendiri Negarawan Institute

 

Berita Terkait

Berita Lainnya