Reformasi Setengah Hati, Apa Yang Bisa Diharapkan dari Polri?

OLEH: GIGIH GUNTORO

Image 3
Direktur Eksekutif Indonesian Club, Gigih Guntoro.

PASCA terkuaknya kematian Brigadir Joshua yang penuh rekayasa dengan melibatkan mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo, Institusi Polri babak belur dari sorotan publik. Tragedi inipun telah membuka tabir bahwa kekerasan internal/eksternal, merekayasa kasus, dan lain sebagainya seolah telah menjadi kultur corps Bayangkara selama ini.

Kini proses penyidikan tengah berlangsung dan terkesan samgat rumit dalam menangani kasus yang sebenarnya merupakan tindak pidana biasa. Kerumitan ini dapat dipastikan bahwa Ferdi Sambo diduga masih memiliki power (Kadiv Propam dan Ketua Satgasuss Merah Putih) di institusi Polri sehingga bisa mengintervensi proses penyidikan. Proses penegakan hukum seperti inipun menguatkan apatisme dan public trust, dan secara cepat akan merobohkan marwah institusi Polri sebagai pengayom, pelindung yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan dalam menegakan hukum.

Belum usai persoalan penyidikan terbunuhnya Brigadir Joshua, bermunculan persoalan lain menambah pelik dan kritis yang melibatkan anggota polri. Adanya keterlibatan oknum dalam suap Sekolah Polri, adanya oknum polri yang terlibat bisnis Narkoba, oknum polri yang terlibat bisnis perdagangan manusia, oknum polri yang menjadi backing judi, oknum polri yang menjadi backing tambang koridor, hingga perilaku Polri dan keluarga hedonis dan bermewah-mewahan dan lain sebagainya.

Rentetan persoalan krusial yang terus bermunculan ini tentu dilakukan tidak hanya satu orang, tapi lebih yang bersifat sistematis dan terstruktur dan melibatkan banyak sektor. Tentu praktek seperti ini menjadi ironi ketika Polri sebagai institusi penegak hukum justru telah dengan sengaja ikut dan telibat dalam memproduksi kejahatan baru.

Tragedi terbunuhnya Brigadir Joshua dan berbagai persoalan krusial yang terus bermunculan dan menggerogoti tubuh Polri menjadi Titik Balik dan Kesempatan emas bagi Pemerintah dan Kapolri untuk mengembalikan marwah corps Bayangkara. Kapolri pun memiliki modal dasar yang kuat untuk menjalankan reformasi total.

Kapolri harus tegak lurus pada UU no 2 Tahun 2002, dan juga aturan yang ada seperti Peraturan Kapolri (Perkap) dan Surat Telegram Rahasia (STR) Propam Polri: ST/30/XI/HUM.3.4/2019/DIVPROPAM tertanggal 15 November 2019 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri, Kode Etik Profesi Polri, dan Kepemilikan Barang Mewah oleh Pegawai Negri di Polri. Namun jika tidak dimanfaatkan secara cepat dan tepat maka Polri akan terus terjerembab dalam praktek kejahatan yang akhirnya akan mengganggu keamanan pemerintah sendiri.

Di tengah melakukan reformasi di internal, Polri justru terkesan kedodoran dengan banyaknya kasus krusial internal yang terus bermunculan, mereka seperti pemadam kebakaran. Penegakan hukum pun lamban dan cenderung tidak adil jika pelakunya adalah anggota Polri sendiri, hal ini berbeda dengan rakyat biasa.

Polri pun lamban merespon Laporan PPATK yang menyebutkan ada oknum Polri yang menerima aliran Judi 303 dan Pinjol, Polri pun terkesan menutupi ada oknum yang terlibat dalam backing Tambang Koridor, Polri pun diam ketika ada pejabat yang menjadi backing Judi 303, Polri pun gagap ketika ada oknum nya yang terlibat perdagangan manusia dan narkoba, Polri pun diam ketika ada oknumnya terlibat bisnis pengamanan dan Polri pun terkesan diam ketika ada oknum nya yang berperilaku hedon dan hidup dalam kemewahan. Bahkan kultur hedon dengan menampilkan kemewahan juga telah menghantui anggota Polri yang baru lulus sekolah.

Melihat cara penegakan hukum yang dilakukan ada unsur tebang pilih dan lamban mencerminkan atas Dorongan Publik untuk melakukan Reformasi Polri hanya dilakukan Setengah Hati. Maka jangan harapkan Perubahan fundamental atas perilaku Polri berubah total, justru mereka tetap nyaman dalam memelihara sistem kotor ini.

Sementara secara eksternal, persoalan penegakan hukum juga masih menjadi PR dengan masih banyak malpraktek penyidikan. Ditambah lagi dengan adanya respon publik atas kenaikan BBM, akan menjadi tolok ukur bagaimana Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, apakah masih mengedepankan budaya kekerasan atau sudah menjadi Polisi Sipil yang memgendepankan humanisme.

Jika demikian Polri tidak mampu mengelola kondisi ini maka akan memperburuk penegakan hukum dan tentunya akan menurunkan kepercayaan tidak hanya terhadap Polri saja melainkan juga Pemerintah Jokowi.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Club, pemegang Certified Crime Prevention Specialist (CCPS)

Berita Terkait

Berita Lainnya