Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior
ELIT negeri ini memang doyan bikin gaduh. Perkara sederhana dan terang-benderang pun sengaja dibuat rumit dan melelahkan. Soal Perpol 10/2025, misalnya, dibiarkan berlarut dan menguras energi yang sama sekali tak perlu. Yang lebih menyedihkan lagi, Presiden yang punya mandat penuh konstitusi, justru abai. Ada pembiaran amat serius atas pelanggaran konstitusi oleh pembantunya.
Perdebatan seputar beleid yang diterbitkan Kapolri Listyo Sigit Prabowo ini bukanlah soal teknis hukum atau silang tafsir belaka.
Ia adalah cermin telanjang dari pembangkangan konstitusi yang dibiarkan berlangsung di hadapan publik. Perpol dibiarkan menabrak dia undang-undang sekaligus dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ini artinya yang dipertaruhkan bukan sekadar tata kelola institusi. Yang sedang dipertaruhkan adalah wibawa negara hukum itu sendiri.
Peraturan Kepolisian, yang dulu dikenal sebagai Perkap, pada dasarnya hanyalah internal regeling. Fungsinya mengatur urusan administratif ke dalam tubuh Polri. Ia tidak dirancang untuk mengikat ke luar, apalagi mengubah atau menafsirkan undang-undang. Namun dalam praktik, Perpol justru diperlakukan seolah memiliki kedudukan setara dengan peraturan perundang-undangan. Di titik inilah penyimpangan bermula.
Masalah ini mengerucut pada Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Polri. Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun. Norma ini sejatinya sudah final. Namun penjelasan pasal itu kemudian membuka ruang tafsir. Sebagian penjelasan itulah yang diuji dan dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai inkonstitusional.
Pasca putusan MK, hanya satu frasa yang tersisa: jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan tugas kepolisian. Tapi frasa inilah yang kini justru dijadikan tameng pembenar. Padahal, jika tafsir "sangkut paut" diperluas tanpa batas, maka hampir semua jabatan bisa dianggap relevan dengan kepolisian. Di sinilah hukum berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan yang disimpangkan.
4.448 itu Sistemik, Jenderal!
Data yang disampaikan Jimly Asshiddiqie, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian bentukan Presiden, menunjukkan skala persoalan yang serius. Saat ini terdapat 4.448 personel Polri aktif yang bekerja di luar struktur kepolisian. Sebanyak 4.068 di antaranya berstatus staf pendukung dan pengamanan. Sisanya, 380 orang, menduduki jabatan struktural di kementerian dan lembaga negara.
Mereka bukan pensiunan. Mereka masih aktif. Dan seluruhnya dilegalkan atas nama “sangkut paut”.
Lebih mengkhawatirkan, praktik ini berlangsung sistemik. Konon, banyak penempatan terjadi atas permintaan kementerian dan lembaga. Bukan semata inisiatif Kapolri. Ketika direktorat jenderal baru dibentuk, permintaan dikirim ke Polri. Lalu perwira aktif ditempatkan mengisi jabatan sipil strategis. Ini bukan anomali. Ini pola kekuasaan yang rakus.
Jika jaksa aktif tiba-tiba menjadi direktur jenderal di kementerian, atau hakim aktif duduk sebagai staf ahli menteri, publik pasti gaduh. Itu akan dianggap pelanggaran serius terhadap prinsip independensi dan konflik kepentingan. Namun ketika polisi aktif melakukan hal serupa, praktik itu justru dinormalisasi lewat istilah elastis bernama “sangkut paut”.
Sindiran Mahfud MD tepat menusuk logika semacam ini. “Di negara ini, sudut mana yang tidak ada kaitannya dengan polisi?” ujar Mahfud. Jika tafsir sangkut paut diperluas, maka bukan hanya 17 kementerian dan lembaga negara yang boleh diisi polisi aktif. Kelurahan, kecamatan, bahkan RT pun bisa dianggap relevan.
Tafsir semacam ini bukan lagi penafsiran hukum, melainkan pembenaran atas penyalahgunaan kekuasaan.
Masalahnya, ini bukan soal kekosongan aturan yang menunggu Peraturan Pemerintah. Ini adalah pelanggaran konstitusi yang nyata. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Ia tidak menunggu PP. Tidak menunggu tafsir baru. Juga tidak bisa ditunda oleh peraturan apa pun di bawahnya. Ketika Perpol tetap diberlakukan meski bertentangan dengan undang-undang dan Putusan MK, maka yang terjadi bukan sekadar kekeliruan administratif. Ini adalah pembangkangan terhadap konstitusi.
Normalisasi Pelanggaran Konstitusi
Dalam hierarki hukum, Perpol berada jauh di bawah undang-undang, apalagi putusan Mahkamah Konstitusi. Karena itu, solusi konstitusionalnya bukan menyusun PP baru untuk “menjembatani” pelanggaran. Negara harus mencabut dan membatalkan Perpol yang bermasalah. Setiap hari Perpol itu dibiarkan berlaku, setiap hari pula negara sedang menormalisasi pelanggaran hukum tertinggi.
Pertanyaannya kemudian menjadi politis sekaligus konstitusional. Mengapa Presiden membiarkan semua ini? Kapolri adalah bawahan Presiden. Perpol lahir di bawah kekuasaan eksekutif. Jika Presiden diam, itu bukan karena tak berwenang. Tapi karena Presiden memilih tidak menggunakan kewenangannya. Di titik inilah persoalan berubah dari sengketa norma menjadi soal ketundukan kekuasaan.
Negara hukum runtuh bukan selalu oleh kudeta terbuka. Ia lebih sering ambruk oleh pembiasaan pelanggaran yang dibiarkan. Ketika peraturan internal aparat dibiarkan menabrak konstitusi. Negara tidak lagi dijalankan oleh hukum. Hukumlah yang sedang ditundukkan oleh kekuasaan bersenjata.
Publik harus mengawasi ketat. Jangan biarkan frasa "sangkut paut" jadi pintu belakang dominasi aparat bersenjata terselubung. Reformasi Polri sejati dimulai dari ketaatan pada konstitusi. Bukan menelikung konstitusi oleh aturan internal. Apalagi bila ia dibuat melebar ke eksternal, berbangsa. Bernegara!


