Perpol 10/2025: Tafsir Konstitusi Suka-suka

Image 3
Gibran Rakabuming Raka
Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior

NEGARA hukum runtuh bukan selalu karena kudeta atau kekerasan. Ia bisa roboh perlahan. Antara lain saat konstitusi ditafsirkan secara selektif. Secara suka-suka. Keras terhadap yang lemah. Lentur terhadap yang berkuasa. Di titik inilah Perpol Nomor 10 Tahun 2025 harus dibaca bukan sekadar produk administratif. Ia ujian serius atas konsistensi negara dalam menghormati putusan Mahkamah Konstitusi.

Perpol 10/2025 secara terang-benderang berhadap-hadapan dengan putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Pelanggaran ini bukan kasus pertama. Publik masih ingat bagaimana putusan MK soal batas usia capres/cawapres pada Pilpres 2024 silam. Putusan MK ini meloloskan Gibran Rakabuming Raka jadi Cawapres. Putusan ini pula yang Jokowi pertahankan mati-matian. Dalihnya, final dan mengikat. Padahal ia banjir kritik dan hujatan arena aroma konflik kepentingan amat menyengat.

Majelie Kehormatan MK pun dibentuk. Jimly Ashidiqie ditunjuk jadi ketua. Putusannya, Anwar dicopot dari kursi Ketua MK. Tapi putusan yang meloloskan Gibran tak dicabut. Alasannya, putusan MK final dan mengikat. Nah... Ujian serupa: Suka-suka Kini standar itu diuji ulang. Ada Perpol yang jelas menabrak putusan MK dan melanggada dua UU sekaligus. Tapi, ia justru diperlakukan sebagai polemik yang bisa dinegosiasikan lewat Peraturan Pemerintah. Pertanyaannya menjadi tak terelakkan: apakah konstitusi masih ditegakkan secara konsisten? Atau hanya diberlakukan selektif sesuai kepentingan kekuasaan? Suka-suka penguasa?

Secara hukum, Perpol Nomor 10 Tahun 2025 bermasalah sejak lahir. Ia tidak hanya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi juga berhadap-hadapan langsung dengan dua undang-undang sekaligus: Undang-Undang Polri dan Undang-Undang ASN. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan, Perpol berada jauh di bawah undang-undan Apalagi putusan MK. Maka tidak diperlukan tafsir rumit untuk menyimpulkan satu hal sederhana: Perpol ini cacat secara konstitusional.

Di negara hukum yang sehat, kondisi semacam ini tidak melahirkan polemik berkepanjangan. Tidak ada ruang kompromi. Tidak perlu perdebatan elit. Ketika peraturan yang lebih rendah bertabrakan dengan norma hukum yang lebih tinggi, satu-satunya tindakan yang sah adalah pembatalan.

Masalah justru muncul ketika pemerintah memperlakukan pelanggaran konstitusional ini seolah sekadar persoalan administratif. Lebih buruk lagi, penguasa menganggap ini hanya diskursus yang longgar dan cair. Lalu, pemerintah berpendapat bisa diredam melalui penyusunan Peraturan Pemerintah (PP).

Logika ini keliru sejak awal. PP tidak akan pernah memiliki kedudukan untuk mengoreksi, apalagi menegasikan, putusan Mahkamah Konstitusi. Bahkan undang-undang pun tidak bisa. Putusan MK bersifat final dan mengikat bagi seluruh lembaga negara tanpa kecuali.

Ketika peraturan yang jelas-jelas melanggar putusan MK dibiarkan hidup, negara sedang mengirim pesan yang sangat berbahaya kepada publik: putusan MK ternyata bisa dinegosiasikan. Final dan mengikat berubah menjadi jargon kosong, tergantung siapa yang berkepentingan dan siapa yang sedang berkuasa. Suka-suka penguasa!

Preseden paling segar ada pada putusan MK soal batas usia capres–cawapres. Saat konflik kepentingan dipertontonkan secara telanjang, saat etika peradilan dipersoalkan luas oleh akademisi dan masyarakat sipil, jawaban elite hukum tetap sama: putusan MK tidak bisa dibatalkan karena bersifat final dan mengikat. Jalan keluar yang dipilih bukan membatalkan putusan, melainkan mencopot Ketua MK Anwar Usman. Putusannya tetap sah. Dampaknya tetap berjalan.

Kini, logika itu dipertaruhkan kembali. Jika Perpol yang nyata-nyata menabrak putusan MK justru dipertahankan, bahkan dicarikan jalan keluar melalui PP, publik berhak bertanya: mengapa standar yang sama tidak diberlakukan? Mengapa final dan mengikat dulu dijaga mati-matian, sementara hari ini justru dicari celah untuk dinegosiasikan?

Sepertinya negara mulai memilih-milih putusan MK mana yang ditegakkan dan mana yang bisa ditawar. Ini menggiring pada kesimpulan pahit tapi tak terelakkan: konstitusi tidak lagi berdiri di atas kekuasaan. Ia tunduk padanya.

Solusi sederhana: Prabowo Sesungguhnya persoalan ini sederhana. Presiden Prabowo Subianto tidak perlu masuk ke labirin perdebatan hukum. Ia tidak membutuhkan PP baru. Tidak perlu ada Yusril, Jimly, Mahfud, atau siapa lah tim pakar lainnya. Juga sama sekali tak dibutuhkan penengah elite. Presiden Prabowo cukup menjalankan prinsip paling elementer dalam negara hukum: peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Membatalkan Perpol yang menabrak putusan Mahkamah Konstitusi bukan tindakan politis. Itu kewajiban konstitusional. Sebaliknya, membiarkannya hidup adalah pilihan politik yang membawa risiko besar bagi fondasi negara hukum.

Hari ini Perpol. Besok peraturan menteri. Lusa undang-undang. Jika preseden ini dibiarkan, negara hukum perlahan bergeser menjadi negara tafsir kekuasaan.

Perkaranha amat terang benderang. Ini bukan soal diskusi atau polemik. Ini soal keberanian menegakkan konstitusi. Presiden tinggal memilih: berdiri bersama hierarki hukum, atau membiarkan standar konstitusi menjadi lentur ketika kekuasaan merasa terganggu. Dari pilihan itulah publik akan menilai, apakah konstitusi benar-benar dihormati, atau hanya dikutip ketika menguntungkan penguasa.

Berita Terkait

Berita Lainnya