Jakarta, MNID. Banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November hingga 10 Desember 2025 telah menjadi salah satu tragedi kemanusiaan terbesar satu dekade terakhir. Data BNPB yang dihimpun hingga hari ini memperlihatkan skala kerusakan yang luar biasa: 969 korban tewas, 252 jiwa hilang, lebih dari lima ribu luka-luka, hampir 900 ribu orang mengungsi, serta lebih dari 3,3 juta jiwa terdampak.
Puluhan ribu rumah rusak berat hingga hilang tersapu banjir, infrastruktur berupa jalan dan utilitas terputus karena tertutup lumpur. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah, dan angka ini masih akan bertambah seiring pendataan lanjutan.
Di luar faktor cuaca ekstrem, berbagai temuan lapangan mengarah pada kerusakan hutan, degradasi daerah aliran sungai, serta perluasan perkebunan dan tambang sebagai penyebab memperparah daya rusak bencana. Bukit Barisan—tulang punggung ekologis Sumatra—kian rapuh, menjadikan jutaan warga berada di zona risiko yang seharusnya bisa dikurangi bila tata kelola lingkungan berjalan sebagaimana mestinya.
GREAT Institute melakukan analisis percakapan warganet menggunakan Big Data dan menemukan opini bahwa penanganan bencana yang dilakukan Pemerintah dinilai lamban dan tidak terkoordinasi sehingga memicu kekecewaan publik yang sangat luas.
"Analisis berdasarkan Big Data yang kami miliki memperlihatkan bahwa percakapan warganet mengenai bencana Sumatra didominasi sentimen negatif yang meningkat tajam, terutama pada isu lambatnya distribusi bantuan, ketidaksiapan infrastruktur evakuasi, dan pernyataan pejabat yang penuh denial, defensif dan kurang peka," ucap Hanief Adrian, Kepala Desk Politik GREAT Institute.
Analisis big data tersebut juga menemukan bahwa kritik publik juga diarahkan langsung kepada Pemerintah, yang dianggap belum menunjukkan pola kepemimpinan terkoordinasi dalam fase awal bencana.
"Meskipun demikian, sebagian warganet mengapresiasi kunjungan Presiden ke lokasi terdampak, memang kecepatan respon awal menjadi sorotan utama dan mulai memengaruhi tingkat kepuasan publik," lanjut Hanief.
GREAT Institute memandang dinamika luapan kekecewaan dalam media sosial kepada Pemerintah tersebut sebagai indikator serius yang dapat berdampak secara politik. Oleh karena itu, GREAT Institute menyarankan penanganan bencana dengan langkah tegas dan struktural untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.
"Kami menyarankan Pemerintah mengesahkan Keppres pembentukan Satgas Pemulihan Bencana Sumatera, selain untuk menangani dampak bencana, juga untuk memulihkan kepercayaan terhadap pemerintah yang sedang terkikis, sekaligus memperkuat rasa solidaritas di masyarakat untuk rekonstruksi dan rehabilitas jangka panjang," ungkap Hanief.
Hanief menyarankan, pembentukan Satgas Pemulihan ini terdiri dari Dewan Pengarah yang berisi beberapa menteri sektoral, serta instansi terkait terutama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai leading sector dan beberapa kementerian/lembaga.
"UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana memberikan kerangka normatif penanganan bencana berada di tangan BNPB. Tetapi, korban jiwa dan dampak bencana ini begitu besar sehingga memerlukan konsentrasi sumber daya nasional secara penuh untuk memulihkan masyarakat dan infrastruktur," tukasnya.
Presiden Prabowo sendiri telah menyatakan bahwa penanganan bencana Sumatara adalah prioritas nasional. Hal ini, menurut GREAT Institute, perlu dituangkan ke dalam instrumen legal yang konkret berupa pembentukan Satgas ini.
"Apalagi Menkeu Purbaya telah menyatakan bahwa Pemerintah telah menyiapkan dana 4 miliar untuk 50 kabupaten terdampak Bencana Sumatera, dan total dana tersedia Rp 60 Triliun. Apakah dana sedemikian cukup untuk penanganan saja atau sampai pemulihan? Bagaimana dengan inisiatif masyarakat untuk menggalang dana dan menyalurkan bantuan? Ini semua tentu perlu dikoordinasikan dalam sebuah Satgas lintas kementerian dan lembaga," tutup Hanief. 

