Menkeu Purbaya dan Hukum Kirchhoff: Ketika Sang Bendahara Negara Menantang Dunia

Image 3
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam sebuah kesempatan bersama GREAT Institute.

Pertama ia adalah seorang treasure yang mengelola dana, investasi dan pembiayaan program negara, sekaligus comptroller yang sedikit banyak mengawasi penggunaan anggaran negara. 

Oleh: Hanief Adrian, Kepala Desk Politik GREAT Institute


PROFANITAS jenaka dari Purbaya Yudhi Sadewa nampaknya menjadi santapan favorit warganet tiga bulan sejak ia dilantik menjadi Menteri Keuangan pada 8 September 2025. Terakhir, di depan forum Rapimnas KADIN 2025, ia mengomentari kritik majalah The Economist terhadap kebijakan menggelontorkan Rp 200 Triliun saldo anggaran lebih (SAL) dari Bank Indonesia ke dalam Himpunan Bank-Bank Negara (HIMBARA). Ia mengatakan majalah favorit Karl Marx saat menyusun buku 'Das Kapital' tersebut dengan julukan 'majalah bego'.

Sebelumnya pada CNBC Investment Forum 2025 tanggal 16 Mei 2025, Menkeu Purbaya juga pernah menyatakan lembaga donor global International Monetary Fund (IMF) dengan label bodoh. Baginya, IMF kerapkali memberi prediksi ekonomi terlalu optimis atau pesimis, namun hasilnya jauh dari kenyataan. Purbaya memberi contoh, IMF pernah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2009 mencapai 2,5 persen saja, padahal kenyataannya mencapai 4,6 persen.

Memang, sang Bendahara Negara kemudian bertemu IMF pertengahan November lalu. IMF nampak mencoba membuka ruang berunding setelah prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mereka revisi dari 4,7 persen menjadi 4,8 persen per Agustus 2025, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia ternyata mencapai 5,1 persen pada pertengahan 2025 menurut BPS. Kepada IMF, Menkeu Purbaya menegaskan komitmen bahwa Indonesia akan menjaga disiplin fiskal dimana defisit APBN di bawah 3 persen dan rasio utang terhadap PDB di bawah 60 persen.

Dunia Terusik Strategi Purbaya

Pertemuan IMF dan kritik majalah The Economist menunjukkan bahwa organel-organel kekuatan global mulai memberikan interferensi. Dalam fisika, interferensi adalah peristiwa bertemunya dua atau lebih gelombang yang dapat berupa cahaya, suara atau sinyal elektronik yang bisa menguatkan (konstruktif) dan bisa menguatkan (destruktif). 

Interferensi adalah penyebab mengapa telepon seluler anda kadang begitu lancar, kadang sedemikian lola (loading lama) ketika berada di kerumunan sangat besar atau sedang hujan, menegaskan bahwa memang gelombang sinyal internet bersifat diskrit (seperti paket-paket) alih-alih kontinu atau berkesinambungan.

Ibarat gelombang ponsel yang sedang ngadat, dunia dengan organel-organelnya mencoba memberi riak gelombang elektronik baru melalui noise (kebisingan) untuk menginterferensi noise yang disuarakan Purbaya bahwa IMF itu bodoh. 

Kebijakan Purbaya memang ibarat bid'ah yang sesat, melawan ayat suci yang sudah sedemikian qath'i atau pasti dalam textbook di gedung-gedung pustaka Fakultas Ekonomi yang demikian angkuh itu, bahwa Pemerintah sebagai otoritas fiskal tak boleh mencampuri dunia perbankan yang diatur oleh Bank Sentral sebagai otoritas moneter.

Kebijakan gelontoran Rp 200 Triliun itu memang diumumkan dengan bahasa penuh profanitas oleh Purbaya, ia menyampaikannya dengan sindiran jenaka bahwa daripada direksi bank negara sibuk main golf di akhir pekan, lebih baik mereka berpikir keras sampai stres bagaimana menyalurkan uang sebanyak itu kepada masyarakat. Sebagai lulusan teknik elektro ITB yang pernah menjadi insinyur betulan di sebuah perusahaan pengeboran minyak, ia pernah bekerja di bawah tekanan tinggi dan tidak tidur lima hari lima malam.

Rupaya, tekanan moral dari sang Bendahara Negara itu dibaca sebagai intervensi Pemerintah kepada dunia perbankan, hal yang dianggap bid'ah dhalalah, wa kulla dhalalah fi an naar menurut ekonom global. Sebenarnya anggapan, penilaian dan kritikan itu bisa berubah menjadi tekanan politik dari dunia kepada Indonesia agar tidak mencoba mengubah pakem kebijakan para anggota yang sudah sedemikian sakral, kecuali ekonomi Indonesia sebesar Amerika.

Menteri Keuangan adalah Menteri Utama NKRI Era Reformasi

Dalam struktur pemerintahan Kabinet Merah Putih yang dipimpin Prabowo Subianto, Menteri Keuangan adalah jabatan urutan keenam belas dalam pelantikan tanggal 20 Oktober 2024. Walaupun demikian, Menteri Keuangan berada di luar koordinasi Menko Perekonomian sebagaimana lazimnya struktur Kabinet sejak masa Orde Baru.

Menteri Keuangan merupakan empat pejabat kabinet yang langsung berada di bawah Presiden bersama Menteri Sekretaris Negara, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Karena langsung berada di bawah Presiden, kekuasaan empat menteri tersebut sebenarnya sangat besar dan yang paling besar adalah Menteri Keuangan karena ia berfungsi dua hal. Pertama ia adalah seorang treasure yang mengelola dana, investasi dan pembiayaan program negara, sekaligus comptroller yang sedikit banyak mengawasi penggunaan anggaran negara. 

Jabatan Menteri Keuangan Indonesia menjadi sangat penting, karena ia tidak hanya mengurusi pendapatan negara dalam bentuk pajak, tetapi mengurusi pendapatan negara bukan pajak, anggaran serta mengelola utang. Negara lain saja, misalnya Amerika dan Belanda bekas penjajah bangsa kita, memisahkan jabatan Menteri Keuangan yang merupakan politisi dari partai, dengan Bendahara Negara (Thesauries-Generaal) yang merupakan jabatan karir pegawai negeri.

Sementara Menkeu selain Bendahara Negara, instansinya juga memiliki wakil dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai komisioner ex-officio. Menkeu bersama Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner (DK) OJK dan Ketua DK Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bahkan duduk bersama dalam Komite Stabilitas Sektor Keuangan.

Sebagai perbandingan, Menteri Keuangan (Secretary of Treasury) Amerika tidak memiliki otoritas penyusunan anggaran, ia bertugas mengelola perbendaharaan dan pengelolaan utang, serta mengawasai Komisioner Badan Pajak (IRS) yang penunjukkannya memiliki mekanisme politik yang berbeda. Perencanaan dan anggaran menjadi tanggung jawab Presiden melalui Office of Management and Budget, bea dan cukai menjadi tanggung jawab Departemen Keamanan Negara (Department of Homeland Security).

Prabowo hendak meniru struktur ini dengan mengumumkan pendirian Badan Otorita Penerimaan Negara (BPN) yang mengurusi pajak dan bea cukai, lalu fungsi anggaran ditarik ke Menteri/Kepala Bappenas, namun Menkeu waktu itu Sri Mulyani dikabarkan tidak bergeming dengan rencana tersebut. Penarikan fungsi penerimaan dan fungsi anggaran tentu akan menurunkan kekuasaan sang mantan Direktur IMF Asia, Direktur Bank Dunia, serta Menkeu terlama sepanjang sejarah Reformasi itu.

Menkeu Purbaya Hanya Hendak Aplikasikan Hukum Kirchhoff

Dengan kekuasaan sedemikian besar, Menteri Keuangan Purbaya dinilai organel ekonom global cukup agresif menyuntikkan dana SAL Rp 200 Triliun tersebut dalam rangka membiayai program, yang secara sinis diberi label program populis oleh organel-organel ekonom lokal. 

Ibarat tenaga listrik yang dijelaskan menurut Hukum Kirchhoff II, jika semakin besar tegangan yang hendak dialirkan maka diperlukan semakin banyak rangkaian dengan nilai hambatan listrik untuk mengimbangi tegangan tersebut, agar resultante dari tegangan dengan rangkaian yang dialirinya menjadi nol. Kalau tidak dialiri atau arusnya tak imbang, tentu rangkaian tersebut akan meledak berkeping-keping.

Tetapi, jika potensi 200 T itu didiamkan begitu saja, diendap-endapkan atas nama stabilitas moneter dan disiplin fiskal, tentu akan menambah lemah perekonomian masyarakat yang semakin hari semakin lemah akibat krisis nilai tukar mata uang, perang yang meningkatkan bahan pokok, dampak wabah Covid yang belum pulih, belum lagi utang infrastruktur era Pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. 

Tujuan antaranya tentu saja peningkatan PDB dengan laju sebesar 6,5 persen, dengan asumsi bahwa jika pertumbuhan didorong sektor swasta pada era SBY menyebabkan pertumbuhan 6 persen, dan pertumbuhan didominasi negara pada era Jokowi menghasilkan pertumbuhan 5 persen.

Dan dengan terjadinya katastrofi ekologis yaitu banjir dan longsor dalam Sumatera yang memakan korban ribuan jiwa dan berdampak pada jutaan warga pada akhir tahun ini, rencana sang Bendahara Negara mengalirkan dana secara agresif itu menjadi logis. Kita memerlukan tenaga besar yang berasal dari diri sendiri untuk memulihkan situasi dengan interferensi seminimal mungkin dari organel-organel global.

Jika agresifitas kebijakan Menkeu Purbaya yang kekuasaannya sedemikian besar dalam kebijakan fiskal, menghidupkan sistem moneter dan jasa keuangan, maka bukan hal yang tidak mungkin bahwa suatu saat organel ekonomi global dan lokal akan beraliansi untuk memberikan gelombang interferensi besar dengan dalih mengimbangi gelombang listrik yang dialirkan Purbaya melalui kaidah Hukum Kirchhoff II ini. Resultante gelombang tersebut bisa saja konstruktif jika Purbaya berhasil mewujudkan janji teknokratiknya, dan bisa destruktif jika ia gagal.

Dan jika Purbaya berhasil, mari kita sama-sama meneriakkan, "dasar IMF bodoh, dasarThe Economist bego!"

Berita Terkait

Berita Lainnya