Alumni Desak Rektor USU Non Aktif Demi Jaga Marwah USU dan Fokus Hadapi KPK

Image 3
Ketua Forum Penyelamat USU, M. Taufik Umar Dani Harahap

Jakarta, MNID. Di dunia akademik, integritas adalah harga mati. Ia tak dapat digantikan, dan sekali tercoreng, nilainya sulit dipulihkan. Karena itu, pemeriksaan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Dr. Muryanto Amin, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 15 Agustus 2025, menjadi pukulan telak bagi kredibilitas kampus.

Meski statusnya masih sebagai saksi, fakta bahwa nama seorang rektor bersanding dengan lembaga antirasuah sudah cukup mengguncang kepercayaan publik. Muryanto yang bisa disapa Muri seharunya mengundurkan diri. 

Demikian antara lain disampaikan alumni USU dan praktisi hukum M. Taufik Umar Dani Harahap dalam keterangan yang diterima redaksi MNID. Umar dan sejumlah rekannya telah mendirikan Forum Penyelamat USU untuk mengembalikan warmah lembaga pendidikan negeri nomor satu di Sumatera itu.

“Sejarah panjang kepemimpinan USU belum pernah mencatat seorang rektor dipanggil KPK terkait dugaan korupsi proyek infrastruktur. Peristiwa ini menjadi noda pertama yang langsung menggores marwah universitas. Dunia akademik tidak bisa dipimpin hanya dengan kecakapan administratif, melainkan harus ditopang reputasi moral yang tak bercela. Satu headline negatif saja bisa menghancurkan reputasi puluhan tahun yang dibangun dengan susah payah,” ujarnya.

Senat Akademik kini berada dalam sorotan, katanya lagi. Diam berarti menyerahkan USU pada krisis kepercayaan publik yang semakin dalam. Sebaliknya, langkah tegas—mulai dari klarifikasi, desakan cuti, hingga penonaktifan sementara—akan menunjukkan bahwa USU berani menempatkan kepentingan institusi di atas kepentingan personal. Tindakan ini bukan penghukuman, melainkan bentuk proteksi reputasi yang lebih besar.

Dalam dunia persepsi publik, perbedaan antara saksi dan tersangka kerap kabur. Judul berita “KPK Panggil Rektor USU” saja sudah cukup membentuk stigma. Persepsi sering kali lebih kuat dari fakta hukum. Dampaknya bukan hanya reputasi di mata masyarakat, tetapi juga pada jaringan akademik internasional yang menuntut integritas sebagai standar kerja sama.

Dia menambahkan, kampus yang seharusnya menjadi ruang aman pengembangan ilmu, kini terjebak dalam bayang-bayang kasus hukum. Mahasiswa mulai ragu, dosen terbelah, dan publik mempertanyakan arah kepemimpinan. Kondisi ini merupakan bentuk moral hazard: ketika seorang pemimpin tetap bertahan di tengah krisis legitimasi. Prinsip kehati-hatian menuntut langkah preventif sebelum badai reputasi menghantam lebih keras.

“Krisis ini juga membuka ruang intervensi eksternal. Keterlibatan nama rektor dalam pusaran kasus hukum bukan sekadar persoalan personal, melainkan risiko bagi kemandirian universitas. Dunia akademik membutuhkan kepemimpinan yang bersih dari konflik kepentingan, bukan figur yang harus membagi energi antara ruang sidang dan ruang kuliah,” urainya.

Lebih jauh, status guru besar yang disandang Muryanto Amin menambah beban etis. Gelar akademik tertinggi itu bukan hanya pencapaian ilmiah, melainkan amanah moral. Publik menuntut seorang profesor menjadi teladan integritas. Jika seorang guru besar pun terseret dalam pusaran pemberitaan hukum, maka krisis moral kampus mencapai titik rawannya.

“Menonaktifkan rektor dari tugasnya bukanlah bentuk vonis bersalah, melainkan precautionary principle—langkah pencegahan untuk menyelamatkan marwah institusi. Universitas bereputasi dunia kerap mengambil tindakan serupa demi melindungi kredibilitas akademiknya. Reputasi bukan sekadar aset, melainkan modal sosial yang menentukan posisi universitas dalam peta global,” sambung Umar.

Apalagi, isu ini muncul di tahun krusial menjelang pemilihan rektor baru. Publik Sumatera Utara bahkan melontarkan sindiran pedas: Muryanto Amin ini rektor atau kontraktor jalan? Satir itu menggambarkan kekecewaan publik. Ketika pemimpin universitas terseret dalam kasus yang berhubungan dengan jejaring korupsi pejabat Sumut, legitimasi kepemimpinan akademik berada di ambang krisis.

“Kini, USU berdiri di persimpangan. Apakah ia memilih keberanian moral dengan menonaktifkan rektor demi menjaga reputasi, atau membiarkan sejarah mencatatnya sebagai kampus yang gagal melindungi marwahnya? Alumni telah bersuara lantang, menyerukan langkah tegas. Bola kini di tangan Senat Akademik Dan Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi,  Keputusan mereka akan menjadi preseden: apakah USU tetap tegak sebagai menara moral bagian barat Indonesia, atau runtuh etika dalam tidak adanya legitimasi moral yang melemahkan wibawa USU sebagai Perguruan Tinggi Tertua diwiyah Barat Indonesia,” demikian Umar.