Ulil, Wahabi, dan Bad Mining

Oleh: Farid Gaban, Wartawan Senior dan Aktivis Lingkungan

KANG Ulil Abshar Abdalla mengecam para akrivis lingkungan yang membela kelestarian alam Raja Ampat. Dia memberi label para aktivis dengan sebutan “wahabi lingkungan”. Yang disebut “wahabi lingkungan” kira-kira adalah orang yang jumud, konservatif dan berkacamata kuda membela lingkungan tak peduli konteks.

Kang Ulil mengatakan tambang (mining) adalah maslahat; punya banyak manfaat. Menurut Kang Ulil, yang harus ditolak adalah bad mining (practices).

Saya terus terang heran dengan cara pandang Kang Ulil. Bukankah yang aktivis lingkungan (salah satunya Greenpeace) lakukan di Raja Ampat itu mencegah bad mining?

Menurut aturan pemerintah sendiri, pulau kecil tak boleh ditambang.

Mengapa menambang di pulau kecil dilarang? Makin kecil pulau, makin rapuh secara ekosistem.

Pulau kecil adalah pulau yang luasnya kurang dari 2.000 km2. Pulau Gag itu cuma 60-80 km2, sangat dan sangat kecil! Pulau kecil punya kapasitas kecil dalam mempertahankan eksistensinya sendiri, bahkan tanpa ada eksploitasi tambang.

Apalagi jika dihajar tambang yg mengancam eksistensinya: hutannya dikelupas, sedimentasi dan limbah logam beratnya masuk ke laut dan membunuh terumbu karang puluhan kilometer jauhnya.

Penambangan di Pulau Gag, per definisi, adalah bad mining. Kenapa Kang Ulil keberatan?

Tambang tentu saja membawa maslahat ekonomi. Tapi siapa yang paling diuntungkan?

Kang Ulil mungkin bisa mencari tahu siapa sebenarnya yang menguasai cadangan nikel Indonesia sekarang? Siapa yang menikmati bonanza ekonomi dari tambang ini?

Lalu tanyakan pula: Siapa yang membayar ongkos kerusakan lingkungan lewat banjir, longsor, pencemaran udara dan darat, serta hilangnya ikan di laut?

Saya tidak melihat tambang dengan sendirinya buruk. Tapi, harus menjadi pilihan terakhir karena mudharatnya lebih banyak dari manfaat. Kalaupun mau dilakukan, harus ada standar sangat ketat untuk memastikannya ramah alam dan ramah sosial.

Semua lokasi tambang yang saya kunjungi selama dua keliling Indonesia adalah bad mining; dari tambang emas, batu bara, hingga batu andesit, dari Tumpang Pitu, Wadas, hingga Obi dan Wawonii.

Itu semua bad mining bahkan dengan ukuran pemerintah sendiri jika mereka konsekuen menerapkan komitmen sustainable development goals.

Atau jika perusahaan menerapkan standar ESG (Environment Social Governance) secara konsekuen. Itu standar perusahaan-perusahaan modern sekarang.

Tambang-tambang di situ merusak lingkungan dengan serius dan memicu konflik sosial berkepanjangan.

Kerusakan lingkungan memicu kemiskinan, konflik sosial dan ketimpangan. Orang kaya bisa mengungsi dari banjir atau polusi. Bagi orang miskin, kerusakan alam bisa menghabisi segala yang mereka punya, kadang termasuk nyawa mereka.

Saya tak heran jika di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, warga setempat menolak rencana eksploitasi tambang emas. Mereka menolak emas!

“Yang kita perlukan adalah emas hijau, hutan yang menjaga sumber air dan kelestarian laut,” kata seorang nelayan di sana. “Emas hijau bermanfaat buat semua orang. Emas kuning hanya memperkaya segelintir orang.”

Artikel ini dikutip dari halaman Facebook penulis