Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior
EMPAT pulau di Kabupaten Singkil, Aceh, tiba-tiba ganti pemilik. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, memasukkannya ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Bukan lewat sidang terbuka. Bukan lewat diskusi publik. Tapi lewat permainan sunyi di lorong kekuasaan. Lewat Permendagri.
Ini bukan sekadar kesalahan administrasi. Ini pengkhianatan terhadap sejarah dan hukum. Ini mengkhianati perdamaian yang diperjuangkan dengan darah.
Rakyat Aceh marah. DPR Aceh bersuara kencang. Gubernurnya, Muzakir Manaf, bahkan meninggalkan perbincangan dengan Gubernur Sumut Bobby Nasution. Seolah belum sempurna, Muzakir juga menyatakan, akan memasang dua tiang bendera di kantor-kantor pemerintah Provinsi dan kabupaten-kabupaten di Aceh. Bendera Indonesia dan GAM kah?
Muzakir mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dia memang tak menyebut bendera apa saja. Tapi isyarat ini terlampau benderang untuk Jakarta abaikan. Ingat, Aceh bangsa pejuang. Bukan kaum lembek dan pecundang.
Tak pelak, kegaduhan pun kian ribut. Eh, Gubernu Bobby justru bersikap selonongan. Dengan enteng dia bilang, “Kita kelola bersama saja.”
Ucapan itu langsung menyulut amarah publik. Netizen menohok: “Kalau begitu, istri Bobby juga kita kelola bersama saja!” Nah...!
Bangsa Pejuang
Tito Karnavian bekas Kapolri. Mustahil dia tak tahu, bahwa main-mainnya kini sangat berisiko. Benih-benih disintegrasi yang selama puluhan tahun dikubur, kini bak dia gali kembali.
Aceh kembali diperlakukan sebagai objek. Diinjak, dikhianati, dan dimanfaatkan. Padahal sejarah mencatat: bangsa Aceh bukan bangsa pecundang.
Aceh adalah tanah pejuang. Hampir 30 tahun lamanya Aceh bersimbah darah karena konflik bersenjata dengan Jakarta. Baru damai setelah Perjanjian Helsinki 2005 ditandatangani. Di situ Jusuf Kalla memainkan peran penting.
Kini, Yusuf Kalla kembali angkat suara. Tegas. UU No. 24 Tahun 1956 menyebut empat pulau itu milik Aceh. Dan Perjanjian Helsinki merujuk pada undang-undang tersebut. Artinya, tindakan Mendagri Tito Karnavian telah menyalahi hukum. Juga mengusik semangat perdamaian.
Lihat juga sejarah awal republik. Ketika negara ini miskin dan terjepit, siapa yang menyumbang uang untuk membeli pesawat pertama RI, Seulawah? Aceh. Dengan pesawat ini Soekarno wara-wiri ke luar negeri, berdiplomasi mengemis pengakuan kemerdekaan.
Semua itu rakyat Aceh berikan dengan gratis. Tanpa syarat. Tanpa pamrih. Demi Indonesia. Tapi sekarang, Aceh justru terus-menerus dijadikan korban kerakusan elite pusat.
Jokowi dan Oligarki, Lagi?
Selain soal marwah dan kedaulatan, publik juga mengendus motif bisnis di balik sim salabim Tito. Di bawah administrasi Aceh, segala bentuk izin eksploitasi laut, tambang, dan pelabuhan harus lewat proses ketat. Tapi begitu wilayah dipindah ke Sumut, provinsi di bawah kendali Gubernur Bobby yang juga menantu Jokowi, izin bisa dilicinkan. Cincai. Para oligarki bisa kembali berpesta pora.
Bisa jadi, pesona keempat pulau itu bukan cuma bakal menyedot wisatawan. Baik nusantara maupun, terutama, mancanegara. Kita belum tahu persis, apakah di balik perut bumi dan laut di sana tersimpan harta karun lain. Aneka tambang mineral. Juga minyak dan gas. Bukan mustahil.
Jika benar begitu, sampai kapan Indonesia jadi bancakan oligarki? Bukankah mereka sekarang sudah sangat sangat sangat kaya raya?! Menjarah sana-sini. Menggusur rakyat di sini-sana. Dan, siapa lagi yang jadi fasiltator utamanya, Jokowi! Gratiskah semua itu? Tentu saja tidak. Apa dia juga kebagian? Ehm ehm...
Ustad Yusuf Martak, Ketum Gerakan Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama angkat bicara. Dia menyebut ini bisa jadi bentuk pembusukan terhadap Prabowo. Tapi kalau pun benar begitu, dia yakin Prabowo tahu.
Namun justru karena itu Yusuf Martak heran. Kalau Prabowo tahu sedang dibusukkan, kenapa diam saja? Apa Prabowo memang benar-benar dikunci oleh Geng Solo? Payah betul kalau punya Presiden orang sanderaan.
Prabowo dulu Danjen Kopassus. Dia juga mantan Pangkostrad. Harusnya dia tahu arti disiplin dan komando. Jika anak buah salah, harus dihukum. Tito berbuat salah. Fatal. Sangat fatal. Jika dia dibiarkan, maka rusaklah kredibilitas Prabowo. Hancur sudah kepercayaan rakyat. Inilah pembusukan itu.
Aceh bukan tanah kosong. Aceh adalah simbol kehormatan. Sekali lagi dihina, percayalah, bukan mustahil rakyat bakal memilih jalan sendiri.
Prabowo tidak boleh diam saja. Dia harus cepat bertindak. Pecat Tito. Batalkan Permendagrinya yang bikin gaduh. Kembalikan empat pulau itu pada pemilik aslinya. Kembalikan marwah Aceh. Tegakkan keadilan.
Kalau tidak, Prabowo akan dicatat sebagai presiden yang mengawali pemerintahannya dengan mengkhianati wilayah bangsanya sendiri. Lalu, rakyat akan menagih harga mahal atas pengkhianatan itu. Inikah yang Prabowo kehendaki?