Oleh: Zarman Syah, Waketum Dewan Nasional untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS), Mantan Expert Staff Gubernur Nova Iriansyah
TIDAK ada mendung, tidak pula hujan. Bak bunyi induk petir disiang bolong. Tanpa mufakat, tidak ada juga sepakat. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menebar Surat Keputusan Mendagri No. 300.2.2-2138 tahun 2025 di Jakarta.
Isinya, sesegera mungkin memindahkan empat pulau strategis milik Propinsi Aceh, masuk ke wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Kesemuanya di Singkil Tengah.
Seperti kata pujangga, keempat pulau adalah rangkaian untaian mutiara khatulistiwa. Bukan itu saja, di bawah perut buminya. Tersimpan sumber daya alam yang kelak memakmurkan rakyat tanah Rencong dari generasi ke generasi. Belum lagi kekayaan biota lautnya.
Tidak lazim memang. Seperti menyiram minyak kearah nyala api yang belum lagi padam. Kontan saja Aceh meradang. Mesjidnya, tak lagi hanya mengumandangkan adzan seperti biasa. Namun terus lantang berkhotbah dengan kecaman tertuju kearah Mendagri.
Di mata penduduk NAD, Tito Karnavian bukanlah Bhayangkara Negara. Sekalipun seonggok lecana kehormatan semu tersemat di dadanya. Tidak cukup hingga di situ. Mulai dari rakyat biasa hingga Gubernur, seperti mengharamkan pintu dialog ke Mendagri maupun Bobby.
Bagi mereka, keempat pulau itu bukan hanya sekadar ukuran tanah wilayah. Namun adalah juga bagian dari identitas harga diri dan kedaulatan daerah. Bahkan juga masa depan keseluruhan masyarakat di sana.
Persis sama dengan apa yang dikata oleh para pakar studi kritis soal perbatasan di Barat. Sesungguhnya, sorot mereka lagi, perbatasan sebuah wilayah tidaklah berdiri sendiri. Bukan hanya sebagai soal administrative belaka. Ia memiliki hubungan yang khusus juga mendalam dengan fenomena kekerasan dan konfliktual yang lebih bersifat historis, struktural, serta juga terkait dengan hal-hal bersifat etimologis. (Brambilla & Jones; Walia; Korf & Raeymaekers; Springer & Le Billon; Nail).
Perbatasan, sekaligus dapat dilihat sebagai cerminan fungsi “topologi” dari tatanan geopolitik sebuah wilayah tertentu. Pasti jelas juga, berpatok pada tatanan kedaulatan teritorialisme. Bahkan, perbatasan juga bisa ditelaah sebagai tempat perjuangan masyarakatnya dalam menuntut keadilan yang hakiki (Walker; Brambilla & Jones).
Tempat segala harapan dan kemungkinan akan diwujudkan dan diperjuangkan (Vaughan-Williams). Begawan ilmu anthropologi Indonesia, Koentjoroningrat, juga mengungkap hal serupa. Perbatasan, adalah hasil pengejawantahan nilai-nilai budaya. Tercakup didalamnya rasa, karsa dan cipta yang bisa diukur dan diamati.
Wajar bila tanah Rencong enggan bergeser semili pun. Kokoh pada pendirian dan tegak lurus istiqomah. Bagi mereka, adat bak Po Teumeureuhom, qanun bak Putroe Phang, hukom bak Syiah Kuala, reusam bak Laksamana.
Maknanya adalah, adat istiadat memang ibarat tumpukan awan. Gambaran tentang kedalaman, heterogenitas dan kompleksitas soal hukum adat tradisional Aceh. Nilai serta norma adat berperan membangun kohesif sosial masyarakat disana. Karena itu, agar tetap tegak kuat berdiri.
Wajiblah didampingi dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Ajaran tafsir yang diilhami oleh para ulama besar, di Syiah Kuala, Banda Aceh. Keduanya dituangkan kedalam kitab Qanun. Pedoman keputusan hukum yang berbasis pada syariat Islam berdampingan dengan adat istiadat Aceh.
Prinsip keseimbangan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat di negeri “Rahmatan lil Alamin”.
Tidak cukup hanya itu. Qanun haruslah dikawal oleh Laksamana agar dipatuhi. “Reusam bak Laksamana.” Adalah istilah guna menggambarkan tentang kedisiplinan dan kepatuhan yang tinggi terhadap hukum Islam. Seorang laksamana (pemimpin), ibarat panglima laut, haruslah memiliki otoritas tinggi dalam memutuskan segala perkara. Kokoh kuat tegak ibarat karang diterpa gelombang dari delapan penjuru. Laksamana, juga pantang surut bila badai datang menghadang. Kesemuanya selalu berpulang demi kemashalatan ummat. Sekaligus perwujudan pelaksanaan Syariah Islam.
Surat Keputusan Tito Karnavian mengabaikan kesemuanya itu. Setali tiga wang dengan Gubernur Sumatera Utara yang memang berniat dari awal menjarahnya. Guna kepentingan syahwat belaka.
Bukan itu saja, mereka diibaratkan wanita jalang yang membongkar pintalan benang. Kesepakan Helsinki antara Jakarta-Aceh yang hampir berusia 20 tahun, dikangkangi bahkan dicampakkan. Padahal, persyaratan pokok untuk maju sebagai calon kepala daerah Aceh saja, Memorandum of Understanding Helsinki wajib dicantumkan. Disana, ungkap Jusuf Kalla, tertera bahwa batas wilayah Aceh mengikuti ketentuan Juli tahun 1956.
Bahkan, jauh sebelumnya tiga dekade lalu. Saat Gubernur Aceh dijabat Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut oleh Raja Inal Siregar. Keduanya telah bersama meneken kesepakatan yang kuat serta tegas.
Keempat pulau adalah milik Nangroe Aceh Darussalam. Keputusan tahun 1992 itu, ditegaskan oleh UU 11/2006, telah juga diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung RI tahun 2013. Adalah sebuah kesesatan bila Mendagri malah mendorong agar pemerintah Aceh menggugat melalui PTUN. Semakin tampak adanya agenda menggunting dalam lipatan, menusuk kawan seiring. Musuh di dalam selimut.
Singkat namun terasa dalam, jawaban Gubernur Aceh Mualim menanggapi Tito.
“Bagaimana kita akan duduk bersama. Itu kan hak kita, kepunyaan kita, milik kita. Fardhu (wajib) kita pertahankan (Lipan, Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek dan Pulau Panjang). Itu saja cukup.” Tegas tanpa ada tedeng aling-aling.
Muzakir Manaf, bahkan menggelar musyawarah pada minggu ke-2 bulan Dzulhijah, Jumat lalu di pendopo. Forum pemerintah Aceh, DPR Aceh, alim ulama, cerdik pandai akademisi perguruan tinggi, dan para tokoh terpandang masyarakat. Bersatu menyepakati langkah penyelesaian wilayah Aceh Singkil yang merebak.
Di bulan haram Dzulhijah 1445 Hijriah. Hasilnya bisa ditebak. Hadih Maja jadi landasan. Ureung areh han tom kanjai. Ureung Meu-akai han tom binasa. (Orang yang berilmu tidak akan pernah hina. Orang berfikir tidak akan pernah binasa).
Aceh akan menyampaikan keberatan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto. Laksamana yang menerbangkan Garuda Pancasila. Yang tidak bergeming dan gentar, mendukung pembangunan Aceh. Mulai dari almarhum Sumitro Djojohadikusumo. Allahu Akbar. Senusantara mendoakan.