Oleh: Bonny P Halim, Mahasiswa S2 Komunikasi dan Media, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Pancasila
DALAM era digital saat ini, perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) semakin mempengaruhi berbagai sektor, termasuk dalam komunikasi krisis. Salah satu teknologi yang semakin berkembang dan digunakan dalam bidang ini adalah chatbot berbasis AI seperti ChatGPT. Pertanyaan yang muncul, khususnya dalam konteks kasus yang melibatkan Hasan Nasbi sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), adalah apakah posisi seorang juru bicara krisis dapat digantikan oleh chatbot.
Kasus ini, yang melibatkan teror kepala babi terhadap kantor Tempo, mengungkapkan bahwa respons yang kurang empatik terhadap peristiwa krisis dapat memperburuk citra dan reputasi organisasi atau individu yang bersangkutan. Mengingat peran penting komunikasi dalam krisis, pertanyaan ini menjadi relevan untuk dianalisis lebih lanjut.
Dalam analisis ini, kita akan menggabungkan teori komunikasi krisis yang ada, khususnya Situational Crisis Communication Theory (SCCT), dan melihat apakah chatbot bisa menjadi solusi untuk menggantikan manusia dalam komunikasi krisis.
Dalam artikel yang berjudul "Can ChatGPT Replace Humans in Crisis Communication?" yang diungkapkan oleh Yi Xiao dan Shubin Yu (2023), ditemukan bahwa chatbot dapat mengelola komunikasi krisis dengan memberikan respons yang cepat dan akurat dalam situasi darurat. Chatbot seperti ChatGPT memiliki keunggulan besar dalam menyediakan informasi secara cepat, memproses bahasa secara efisien, dan menangani banyak interaksi secara bersamaan tanpa melibatkan faktor emosional.
Menurut penelitian tersebut, penggunaan chatbot dalam situasi krisis, khususnya ketika organisasi gagal menangani permintaan atau pertanyaan dengan cepat, dapat meningkatkan tingkat kepuasan stakeholders karena chatbot dianggap lebih kompeten dalam memberikan instruksi yang jelas dan tepat waktu.
Namun, penggunaan chatbot dalam komunikasi krisis tidak sepenuhnya tanpa tantangan. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa ketika chatbot gagal memenuhi harapan atau tidak dapat memberikan respons yang sesuai dengan situasi yang sedang berlangsung, tingkat kepuasan stakeholders justru menurun.
Hal ini terkait dengan kompetensi yang dipersepsikan, di mana chatbot yang kurang mampu menangani situasi atau pertanyaan yang lebih kompleks dapat menyebabkan ketidakpuasan. Dalam konteks krisis, seperti yang dihadapi oleh Hasan Nasbi, ketidakmampuan untuk memberikan respons yang empatik atau relevan dapat memperburuk persepsi publik terhadap organisasi yang terlibat.
Situasi krisis yang melibatkan insiden teror kepala babi yang dikirim ke kantor Tempo menjadi sangat relevan untuk menganalisis kemampuan chatbot dalam menggantikan peran manusia. Dalam situasi seperti ini, salah satu aspek yang sangat diperlukan adalah empati.
Empati dalam komunikasi krisis sangat penting karena ia dapat membantu menenangkan emosi yang muncul di kalangan publik dan pemangku kepentingan. Dalam hal ini, chatbot yang dirancang untuk memberikan respons yang lebih netral dan tidak terpengaruh oleh emosi manusia mungkin tidak dapat sepenuhnya menggantikan kualitas empati yang dibutuhkan dalam komunikasi manusia.
Dalam situasi ini, Situational Crisis Communication Theory (SCCT) yang dikembangkan oleh W. Timothy Coombs dapat memberikan wawasan tentang bagaimana organisasi seharusnya merespons sebuah krisis untuk meminimalkan kerusakan reputasi. SCCT menekankan bahwa respons terhadap krisis harus disesuaikan dengan tingkat atribusi tanggung jawab yang diterima oleh organisasi, serta jenis krisis yang dihadapi.
Dalam hal ini, krisis yang melibatkan serangan terhadap kebebasan pers dan ancaman terhadap jurnalis memerlukan respons yang sangat hati-hati dan penuh pertimbangan. Hasan Nasbi, dalam hal ini, tidak berhasil menunjukkan empati yang cukup, yang menyebabkan kesan bahwa respons pemerintah terhadap insiden ini kurang memadai.
Menurut SCCT, ada tiga kategori strategi respons yang dapat digunakan untuk menghadapi krisis: penyangkalan, pengurangan, dan pembangunan kembali. Menggunakan chatbot dalam konteks ini bisa membantu dalam penyampaian pesan yang lebih terstruktur dan cepat, namun, keberhasilan chatbot dalam menangani krisis akan bergantung pada bagaimana chatbot mengimplementasikan strategi respons yang sesuai.
Jika chatbot hanya memberikan instruksi atau informasi yang bersifat mengurangi dampak krisis tanpa memberikan rasa empati, hal ini mungkin akan menghasilkan lebih banyak ketidakpuasan di kalangan publik.
Selain itu, teori apologia yang juga sering diterapkan dalam komunikasi krisis dapat digunakan untuk memahami bagaimana organisasi atau individu membela diri mereka dalam situasi krisis. Apologia ini mencakup beberapa strategi, termasuk penyangkalan (membantah tuduhan), penguatan (mengaitkan diri dengan sesuatu yang positif), dan diferensiasi (menawarkan interpretasi yang lebih menguntungkan tentang situasi).
Dalam konteks ini, chatbot mungkin bisa membantu dalam memberikan pesan-pesan pembelaan diri yang lebih netral, namun tetap saja dibutuhkan elemen manusia untuk memberikan interpretasi yang lebih bijaksana dan penuh empati.
Strategi Komunikasi Krisis yang Tepat untuk Menangani Kasus ini
Berdasarkan teori SCCT dan apologia, strategi yang paling tepat dalam menangani kasus seperti ini adalah pembangunan kembali reputasi. Mengingat betapa pentingnya citra dan kepercayaan publik dalam komunikasi krisis, organisasi harus segera melakukan perbaikan dengan menunjukkan bahwa mereka mengambil tindakan nyata untuk memperbaiki situasi dan merespons dengan empati. Sebuah chatbot yang tidak terpengaruh oleh faktor emosional mungkin dapat mengurangi beban informasi, tetapi tetap tidak bisa menggantikan interaksi manusia yang mengandung empati dan kesungguhan.
Untuk menangani komunikasi krisis yang lebih sensitif, seperti yang terjadi pada kasus Hasan Nasbi, chatbot dapat digunakan untuk memberikan informasi dasar yang cepat dan efisien. Namun, untuk strategi komunikasi yang lebih dalam, seperti memulihkan citra organisasi dan merespons secara empatik terhadap publik yang marah atau kecewa, seorang juru bicara manusia yang terlatih lebih dibutuhkan. Chatbot, meskipun efektif dalam beberapa aspek komunikasi, harus dipandang sebagai alat pendukung dan bukan pengganti peran manusia dalam komunikasi krisis.
Dapat disimpulkan bahwa jika seorang juru bicara seperti Hasan Nasbi gagal menunjukkan empati dan memberikan respons yang sesuai dalam komunikasi krisis, maka digantikan oleh chatbot mungkin merupakan pilihan yang lebih baik dalam konteks tertentu, terutama untuk memastikan respons yang lebih konsisten dan cepat. Namun, chatbot tidak dapat sepenuhnya menggantikan kualitas manusia, khususnya dalam hal empati dan pertimbangan emosional dalam komunikasi krisis.
Kasus yang melibatkan insiden teror kepala babi yang dikirimkan ke kantor Tempo pada Maret 2025 memicu berbagai komentar dari publik, termasuk dua tokoh yang memiliki pandangan berbeda: Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) pada saat itu, dan Dr. Syahganda Nainggolan, Direktur Lembaga Kajian Sabang Merauke Circle (SMC). Perbedaan perspektif mereka dalam menanggapi insiden ini memberikan wawasan yang menarik mengenai bagaimana respons publik terhadap teror dapat mempengaruhi citra dan kredibilitas mereka sebagai komunikator.
Hasan Nasbi, yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala PCO, mendapat sorotan tajam karena komentarnya yang dianggap kurang empatik terkait insiden teror kepala babi yang diterima oleh kantor Tempo. Dalam pernyataannya, Hasan sempat memberikan respons yang terkesan dingin dan minim empati terhadap teror tersebut. Ia tidak menunjukkan reaksi yang tegas terhadap ancaman yang ditujukan kepada kebebasan pers, yang pada gilirannya menimbulkan kekecewaan di kalangan wartawan dan publik.
Sebagai seorang pejabat komunikasi publik, ia diharapkan bisa memberikan respons yang tidak hanya mengutamakan informasi, tetapi juga menunjukkan rasa empati terhadap pihak yang terancam. Namun, respons Hasan justru memperburuk citra Kantor PCO dan menciptakan kesan bahwa pemerintah tidak cukup peduli dengan keselamatan jurnalis. Keputusan untuk mengundurkan diri yang kemudian dibatalkan juga memberi kesan bahwa ia terjebak dalam dinamika internal yang membuatnya sulit untuk memberikan respons yang memadai dalam krisis semacam ini.
Poin Penting dari Komentar Hasan Nasbi:
1. Kurangnya Empati: Tidak ada reaksi tegas yang menunjukkan perhatian terhadap keselamatan jurnalis atau kebebasan pers.
2. Minimnya Respons Tindak Lanjut: Respons yang lebih fokus pada penjelasan administratif daripada mengutamakan penyelesaian masalah secara emosional dan praktis.
3. Keterbatasan dalam Pengelolaan Krisis: Menggambarkan kesulitan dalam menangani krisis komunikasi, di mana tindakan lebih banyak didorong oleh keputusan politik daripada kepentingan publik.
Sebaliknya, Dr. Syahganda Nainggolan, yang dikenal sebagai Kepala Dewan Direktur GREAT Institute, memberikan komentar yang sangat berbeda. Ia mengutuk keras tindakan teror tersebut, menyebutnya sebagai serangan terhadap kebebasan pers dan perbuatan biadab. Dalam pandangannya, insiden ini bukan hanya serangan terhadap satu orang, tetapi ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi yang seharusnya dijaga oleh negara. Syahganda menyuarakan pentingnya menegakkan hukum terhadap pelaku teror, sambil menekankan bahwa masyarakat harus tetap melawan segala bentuk kekerasan yang mengancam kebebasan berpendapat.
Syahganda juga menyampaikan bahwa pemerintah harus lebih responsif dan memberikan tindakan yang jelas untuk menangani pelaku teror. Ia juga menyerukan agar organisasi jurnalis memperkuat solidaritas dan menjaga independensinya dalam menghadapi berbagai tekanan. Selain itu, Dr. Syahganda juga mengingatkan pentingnya menggunakan saluran yang sah untuk menyuarakan ketidaksetujuan, daripada menggunakan cara-cara kekerasan.
Poin Penting dari Komentar Dr. Syahganda Nainggolan:
1. Empati dan Kepedulian: Syahganda menunjukkan empati terhadap korban teror dan menekankan perlunya melawan kekerasan yang mengancam kebebasan pers.
2. Tegas dan Berani Mengutuk Kekerasan: Ia secara jelas mengutuk tindakan teror dan menekankan pentingnya penegakan hukum.
3. Pentingnya Solidaritas dan Indepedensi Pers: Syahganda menyerukan agar jurnalis memperkuat organisasinya dan tetap independen, serta menggunakan cara-cara yang sah untuk menyampaikan kritik.
4. Tanggapan Aktif terhadap Krisis: Responsnya lebih langsung dan penuh empati, menuntut tindakan nyata dari pemerintah.
Perbandingan Hasan Nasbi dan Dr. Syahganda Nainggolan
Empati
Hasan Nasbi: Kurang empati, terkesan minim perhatian terhadap korban
Dr. Syahganda Nainggolan: Menunjukkan empati yang kuat terhadap korban teror dan kebebasan pers
Respons Terhadap Krisis
Hasan Nasbi: Lebih administratif, tidak menunjukkan ketegasan dalam tindakan
Dr. Syahganda Nainggolan: Tegas, mengutuk tindakan teror dan menyerukan penegakan hukum
Fokus Komentar
Hasan Nasbi: Fokus pada kebijakan dan administrasi pemerintah
Dr. Syahganda Nainggolan: Fokus pada kebebasan pers, hak jurnalis, dan aksi melawan kekerasan
Pendekatan terhadap Kebebasan Pers
Hasan Nasbi: Minim perhatian terhadap kebebasan pers sebagai isu utama
Dr. Syahganda Nainggolan: Menekankan pentingnya menjaga kebebasan pers sebagai hak dasar demokrasi
Solusi yang Diberikan
Hasan Nasbi: Menghindari respons tegas atau solusi nyata
Dr. Syahganda Nainggolan: Menyerukan penegakan hukum dan solidaritas antar jurnalis
Peran dalam Komunikasi Krisis
Hasan Nasbi: Tidak cukup responsif dan efektif dalam menangani krisis
Dr. Syahganda Nainggolan: Menyampaikan solusi konkret dan menyuarakan kepedulian secara langsung
Perbandingan antara komentar Hasan Nasbi dan Dr. Syahganda Nainggolan menunjukkan perbedaan mendalam dalam cara menangani krisis komunikasi yang melibatkan kebebasan pers.
Hasan Nasbi, meskipun bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat komunikasi publik, gagal menunjukkan empati dan ketegasan dalam menyikapi ancaman terhadap kebebasan pers.
Sebaliknya, Dr. Syahganda Nainggolan memberikan respons yang lebih tegas, empatik, dan memfokuskan pada pentingnya melawan kekerasan terhadap jurnalis serta menjaga kebebasan pers. Dalam konteks krisis ini, yang membutuhkan komunikasi penuh empati dan tindakan tegas, respons yang diberikan oleh Syahganda jauh lebih sesuai dengan tuntutan situasi.
Sebagai sebuah rekomendasi, pengganti Hasan Nasbi dalam menangani komunikasi krisis terkait kebebasan pers dan insiden teror seharusnya adalah seseorang seperti Dr. Syahganda Nainggolan. Syahganda memiliki pandangan yang lebih empatik, tegas, dan berfokus pada hak dasar demokrasi, yang sangat dibutuhkan dalam menangani krisis yang melibatkan ancaman terhadap kebebasan pers.
Daftar Pustaka:
Anggrainy, F. C. (2025, Mei 6). Kembali pimpin PCO, Hasan Nasbi: Saya kan loyal sama Presiden. Detik News. https://news.detik.com/berita/d-7902186/kembali-pimpin-pco-hasan-nasbi-saya-kan-loyal-sama-presiden
Coombs, W. T. (2023). The Handbook of Crisis Communication (2nd ed.). Wiley-Blackwell.
Emm, J. L. (2025, Maret 19). Syahganda Nainggolan: Teror kepala babi adalah serangan terhadap kebebasan pers. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250319/teror-kepala-babi-syahganda
Liputan6.com. (2025, Mei 7). Hasan Nasbi batal mundur, Komisi I minta Istana evaluasi pola komunikasi publik. https://www.liputan6.com/news/read/6015537/hasan-nasbi-batal-mundur-komisi-i-minta-istana-evaluasi-pola-komunikasi-publik
Syahganda Nainggolan. (2025, Maret 20). Syahganda Nainggolan kecam teror kepala babi ke kantor Tempo. Kompas.com. https://www.kompas.com/nasional/read/2025/03/20/21193271/syahganda-nainggolan-kecam-teror-kepala-babi-ke-kantor-tempo
Tempo.co. (2025, Mei 6). Hasan Nasbi diperintahkan lanjut jabat Kepala PCO. https://www.tempo.co/politik/hasan-nasbi-diperintahkan-lanjut-jabat-kepala-pco
Ware, B. L., & Linkugel, W. A. (1973). They Spoke in Defense of Themselves: On the Generic Criticism of Apologia. Quarterly Journal of Speech, 59(3), 273-283.
Xiao, Y., & Yu, S. (2023). Can ChatGPT replace humans in crisis communication? The effects of AI-mediated crisis communication on stakeholder satisfaction and responsibility attribution. International Journal of Information Management. https://doi.org/10.1016/j.ijinfomgt.2024.102835