Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
BADAN Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I-2025 sebesar 4,87% (yoy), menandai titik pertumbuhan terendah sejak kuartal IV-2021.
Pertanian Naik Daun, Tapi Apa Sebabnya?
Di balik angka ini, mencuat satu kabar yang tampaknya memberi harapan: sektor pertanian mencatat lonjakan luar biasa sebesar 10,52% dan menyumbang 1,11% poin terhadap total pertumbuhan ekonomi nasional.
Sebuah pencapaian yang membuat pertanian tampak sebagai penyelamat ekonomi, menyalip industri pengolahan, perdagangan, bahkan sektor infokom.
Namun pertanyaan mendasarnya adalah: apakah ini benar cerminan kekuatan struktural baru dari sektor pertanian?
Ataukah ini justru sinyal melemahnya fondasi pertumbuhan sektor-sektor lain?
Pertumbuhan 10,52% ini memang terlihat spektakuler, namun secara metodologis harus dilihat sebagai cerminan siklus musiman dan perbandingan basis yang rendah pada periode sebelumnya.
Subsektor tanaman pangan—khususnya padi dan jagung—mengalami lonjakan produksi karena panen raya yang lebih merata secara spasial dan temporal, ditambah anomali cuaca yang menguntungkan.
Produksi padi meningkat lebih dari 50% dibanding periode yang sama tahun lalu, sebuah lonjakan yang mustahil dicapai hanya dalam waktu tiga bulan tanpa didukung oleh faktor alamiah dan momentum panen.
Pemerintah memang tengah menjalankan berbagai kebijakan penguatan pertanian seperti cetak sawah baru, optimalisasi lahan, penyaluran pupuk bersubsidi secara digital, serta pengadaan alat dan mesin pertanian (alsintan).
Namun efektivitas kebijakan ini belum bisa dirasakan penuh di kuartal I-2025. Efek jangka panjang dari intervensi ini akan baru bisa dievaluasi setidaknya dalam satu tahun ke depan.
Dengan demikian, narasi yang menyatakan bahwa pertumbuhan pertanian saat ini adalah hasil langsung dari keberhasilan kebijakan pemerintah perlu ditanggapi hati-hati.
Kenaikan ini lebih menyerupai efek alamiah siklus panen yang diperbesar oleh pelemahan kinerja sektor lain.
Ilusi Keberlanjutan dan Bayang-bayang Swasembada
Salah satu wacana yang turut muncul seiring melonjaknya kinerja pertanian adalah kemungkinan Indonesia telah berada di jalur menuju swasembada pangan yang sesungguhnya.
Namun optimisme ini tampaknya terlalu dini.
Pertumbuhan yang bersifat musiman bukanlah indikator keberlanjutan.
Fundamental pertanian Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan kronis: degradasi tanah, perubahan iklim, penyusutan lahan pertanian, alih fungsi lahan yang masif, serta ketimpangan akses petani terhadap teknologi dan pembiayaan.
Kementerian Pertanian memang menargetkan swasembada sejumlah komoditas strategis seperti padi, jagung, dan kedelai dalam empat hingga lima tahun ke depan.
Namun untuk mencapai ini, dibutuhkan reformasi menyeluruh di sisi hulu hingga hilir, termasuk restrukturisasi sistem distribusi dan logistik pangan nasional yang selama ini menyumbang inefisiensi besar dalam harga dan ketersediaan.
Fakta bahwa pertanian masih sangat bergantung pada faktor cuaca dan belum berbasis pada inovasi teknologi menjadikan sektor ini sangat rentan terhadap guncangan jangka pendek.
Swasembada bukan sekadar meningkatkan volume produksi, tetapi soal memastikan ketersediaan pangan dalam jangka panjang secara berkelanjutan dan terjangkau bagi seluruh rakyat.
Oleh karena itu, pertumbuhan fantastis sektor pertanian pada Q1-2025 lebih tepat dibaca sebagai anomali musiman yang belum menyentuh persoalan struktural.
Untuk menjadikannya sebagai sumber pertumbuhan andalan, diperlukan lompatan kebijakan yang lebih mendasar.
Krisis Tak Selalu Berbunyi: Pertanian sebagai Penyangga Darurat
Fenomena dominannya sektor pertanian dalam menyumbang pertumbuhan mengingatkan pada pola yang terjadi saat krisis moneter 1998.
Ketika sektor industri dan keuangan mengalami kehancuran, jutaan buruh dan tenaga kerja urban kembali ke desa dan mengandalkan lahan pertanian keluarga sebagai bentuk survival ekonomi.
Sektor pertanian kala itu menjadi buffer yang relatif stabil karena sifatnya yang padat karya, berbasis lokal, dan tak tergantung pada modal besar.
Jika kita tarik paralel dengan kondisi saat ini, terlihat gejala serupa.
Sektor industri pengolahan, yang selama ini menjadi motor utama ekonomi nasional, hanya tumbuh 4,55%—rendah untuk ukuran sektor dengan produktivitas tinggi.
Sektor perdagangan dan infokom juga melambat. Konsumsi pemerintah bahkan mengalami kontraksi -1,38% akibat tidak adanya belanja pemilu seperti tahun lalu.
Dengan kata lain, panggung ekonomi sedang mengalami pemudaran daya dorong dari sektor-sektor modern dan berorientasi ekspor.
Dalam kondisi seperti itu, wajar bila sektor pertanian terlihat bersinar.
Namun perlu diingat bahwa ini bukan karena pertanian tumbuh lebih kuat dari sebelumnya, melainkan karena sektor lain melemah secara signifikan.
Fenomena ini menjadi indikasi bahwa ekonomi nasional sedang mengalami tekanan struktural yang cukup serius.
Bila tidak ditangani dengan langkah-langkah strategis, kita bisa saja menghadapi krisis baru yang polanya menyerupai krisis 1998—meski tak sepenuhnya sama.
Bukan Sekadar Efek Pemilu yang Hilang
Argumen yang menyatakan bahwa pertumbuhan rendah kuartal I-2025 semata-mata karena tidak adanya belanja pemilu merupakan simplifikasi yang terlalu dangkal.
Efek siklus politik memang berdampak pada peningkatan konsumsi pemerintah dan belanja masyarakat menjelang hari pencoblosan.
Namun kontraksi konsumsi pemerintah dan stagnansi belanja modal negara mencerminkan persoalan koordinasi fiskal yang lebih dalam.
Pengetatan belanja negara melalui Inpres penghematan sebesar lebih dari Rp300 triliun berdampak nyata pada lambatnya realisasi anggaran kementerian/lembaga.
Selain itu, sektor eksternal juga melemah. Pertambangan mengalami kontraksi akibat menurunnya permintaan global terhadap komoditas.
Sementara investasi asing langsung (FDI) belum menunjukkan pemulihan yang signifikan.
Semua ini menunjukkan bahwa pelemahan pertumbuhan ekonomi pada Q1-2025 merupakan hasil dari berbagai faktor struktural dan global, bukan sekadar absennya stimulus elektoral.
Realistis terhadap Target Pertumbuhan
Target pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2025 sebesar 5,2% akan menjadi sangat menantang jika tidak ada percepatan kebijakan dalam waktu dekat.
Untuk mencapai angka ini, pertumbuhan pada kuartal II hingga IV harus jauh lebih tinggi dari kuartal pertama.
Dengan tekanan eksternal seperti ketidakpastian global, volatilitas harga komoditas, serta tren suku bunga tinggi di negara maju, prospek pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya mengandalkan momentum musiman.
Dalam situasi demikian, stimulus fiskal menjadi sangat penting.
Pemerintah perlu mempercepat realisasi belanja infrastruktur, memperkuat program padat karya, memperluas insentif bagi sektor manufaktur dan UMKM, serta menyederhanakan birokrasi investasi.
Dari sisi moneter, suku bunga harus dijaga tetap akomodatif agar konsumsi rumah tangga tetap bergairah.
Sementara dari sisi kelembagaan, reformasi birokrasi untuk percepatan izin usaha dan efisiensi program subsidi harus dipercepat.
Waspadai Optimisme Semu
Fenomena pertumbuhan tinggi sektor pertanian pada kuartal I-2025 bukanlah bukti kesuksesan total kebijakan pertanian nasional.
Justru sebaliknya, ini adalah refleksi dari pelemahan sektor-sektor produktif lainnya.
Pemerintah harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam narasi keberhasilan yang semu.
Jika terlalu cepat mengklaim swasembada pangan atau menjadikan pertanian sebagai tumpuan utama tanpa pembenahan struktur dasarnya, maka kita hanya membangun harapan di atas fondasi rapuh.
Para perancang kebijakan pertanian seharusnya menjadikan data ini sebagai peringatan, bukan medali. Mengapa sektor-sektor dengan produktivitas tinggi dan orientasi masa depan justru tertinggal oleh sektor yang selama ini dianggap sebagai penyangga sementara?
Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab dengan kejujuran analitis dan perencanaan jangka panjang.
Momentum ini seharusnya digunakan untuk mengevaluasi strategi pembangunan nasional secara menyeluruh.
Bukan hanya memperkuat pertanian dari sisi kuantitas, tetapi juga dari sisi nilai tambah, inovasi, dan keberlanjutan.
Jangan sampai pertumbuhan tinggi sektor pertanian menjadi euforia semu yang justru menutupi perlunya reformasi struktural mendesak di sektor-sektor ekonomi utama lainnya.
Momentum Refleksi, Bukan Euforia
Kuartal I-2025 memberi kita pelajaran penting: bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu bermakna kekuatan struktural, dan bahwa kebijakan yang berpihak pada sektor-sektor produktif harus terus diperjuangkan secara konsisten.
Lonjakan sektor pertanian adalah cermin dari kegagalan sektor lain untuk tumbuh.
Ia bukan kemenangan, melainkan refleksi dari ketidakseimbangan yang harus diperbaiki.
Pemerintah dan pelaku kebijakan harus menjadikan data ini sebagai momentum untuk kembali ke meja evaluasi.
Ke depan, pertumbuhan ekonomi harus ditopang oleh fondasi yang lebih beragam, produktif, dan berkelanjutan.
Tanpa itu, kita hanya akan terus mengulang siklus stagnasi dan kejutan musiman, tanpa pernah benar-benar keluar dari jebakan pertumbuhan rendah yang tak berkualitas.