Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
SISTEM outsourcing dalam dunia kerja Indonesia selama dua dekade terakhir telah menjadi salah satu isu paling krusial dalam dinamika hubungan industrial.
Diperkenalkan dengan dalih fleksibilitas dan efisiensi, praktik ini justru berkembang menjadi instrumen legal eksploitasi buruh, menciptakan ketimpangan struktural yang tajam antara pekerja outsourcing dan karyawan tetap.
Oleh karena itu, jika sistem ini tidak direvisi secara menyeluruh pada saat ini, maka cita-cita peningkatan kesejahteraan buruh hanya akan menjadi jargon kosong tanpa implementasi nyata.
Komitmen Presiden dan Harapan Kaum Buruh
Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025 telah menyuarakan komitmennya untuk menghapus sistem outsourcing, langkah yang secara politis berani dan secara moral mendapatkan dukungan luas dari kalangan buruh.
Namun, keberanian politik harus disertai dengan konsistensi kebijakan dan komitmen legislatif.
Outsourcing, dalam bentuknya yang berlaku saat ini, telah menimbulkan ketidakadilan mendasar dalam organisasi kerja.
Seorang pekerja yang bekerja di lokasi, jam, dan jenis pekerjaan yang sama, bisa mendapatkan perlakuan yang berbeda hanya karena status kepegawaiannya outsourcing, tanpa kepastian kerja, tanpa jaminan sosial yang layak, dan tanpa prospek karier yang jelas.
Ini adalah ketimpangan yang melemahkan solidaritas internal dalam organisasi serta menciptakan iklim kerja yang disfungsional.
Dalil Hukum dan Celah Eksploitasi
Di bawah kerangka hukum yang berlaku, khususnya pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XVI/2018 dan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, outsourcing tetap diperbolehkan dengan pembatasan pada pekerjaan yang bukan inti.
Namun, dalam praktiknya, ketentuan ini sangat longgar.
Banyak perusahaan memanfaatkan celah hukum ini untuk meng-outsourcing-kan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya bersifat strategis dan permanen.
Buruh outsourcing tidak hanya mengalami ketidakpastian kerja, tetapi juga seringkali menjadi korban pemutusan hubungan kerja sepihak dengan pesangon yang tidak sesuai.
Di sisi lain, para pemilik modal terus menumpuk keuntungan dari model hubungan kerja yang timpang ini.
Keadilan Sosial dan Efisiensi yang Seimbang
Menghapus outsourcing dalam format eksploitatif bukanlah soal menolak modernisasi industri atau mematikan iklim investasi.
Sebaliknya, hal ini adalah bentuk koreksi terhadap praktik relasi industrial yang tidak adil.
Negara-negara maju pun menerapkan sistem fleksibel, namun tetap menjamin hak-hak fundamental pekerja, termasuk hak atas jaminan sosial, upah layak, dan kepastian kerja.
Apa yang terjadi di Indonesia selama ini adalah sistem fleksibel yang timpang: keuntungan untuk pengusaha, risiko sepenuhnya ditanggung buruh.
Ketimpangan dalam Organisasi Kerja
Jika pemerintah gagal mengambil langkah korektif terhadap sistem outsourcing yang timpang ini, maka ketimpangan dan ketidakpuasan sosial akan terus mengakar.
Satu organisasi yang sehat tidak bisa berjalan baik dengan memperlakukan pekerjanya dalam dua kasta: pekerja tetap dengan semua fasilitas dan hak, sementara pekerja outsourcing diperlakukan sebagai sumber daya yang mudah diganti, tanpa perlindungan sosial maupun jenjang karier.
Perbedaan ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga tidak efektif dalam membangun semangat kerja, loyalitas, dan produktivitas jangka panjang.
Buruh outsourcing hidup dalam ketakutan akan PHK, tidak bisa merencanakan masa depan, dan terpinggirkan dari partisipasi organisasi secara penuh.
Dari Retorika ke Implementasi Kebijakan Nyata
Dalam konteks itu, janji penghapusan outsourcing yang diumumkan Presiden Prabowo tidak boleh berhenti sebagai retorika seremonial.
Harus ada langkah konkret: revisi total terhadap UU Ketenagakerjaan dan turunannya, perumusan kebijakan transisi bagi perusahaan dan pekerja, serta keberanian untuk menegaskan bahwa sistem kerja yang tidak manusiawi tidak bisa terus dilegalkan atas nama efisiensi.
Kebijakan negara harus berdiri untuk memperkuat posisi buruh, bukan memfasilitasi dominasi pasar tenaga kerja oleh pemilik modal besar.
Dialog Sosial dan Transisi yang Terencana
Tentu, penghapusan outsourcing tidak bisa dilakukan secara gegabah.
Pemerintah perlu membuka dialog sosial yang melibatkan semua pemangku kepentingan: serikat buruh, pengusaha, akademisi, dan DPR.
Namun, posisi dasarnya harus jelas: sistem kerja yang menindas tidak boleh dipertahankan.
Langkah korektif bisa dimulai dengan menetapkan standar minimal perlindungan bagi seluruh pekerja tanpa kecuali, termasuk perlindungan sosial, kontrak kerja jangka panjang, dan kesempatan pengembangan kompetensi.
Membangun Kesetaraan di Tempat Kerja
Kesetaraan dalam organisasi kerja adalah prasyarat utama untuk menciptakan tempat kerja yang produktif dan harmonis.
Selama masih ada ketimpangan mencolok antara pekerja tetap dan outsourcing, maka setiap upaya membangun kerja sama tim akan terhambat oleh ketidakpercayaan dan kecemburuan sosial.
Dalam jangka panjang, ini justru merugikan perusahaan sendiri. Maka, penghapusan outsourcing adalah agenda keadilan sosial sekaligus investasi produktivitas nasional.
Peran Negara dalam Menjamin Kesejahteraan
Pemerintah harus menyiapkan kebijakan kompensasi dan insentif bagi perusahaan yang melakukan transformasi relasi kerja, serta memperkuat peran negara dalam penegakan hukum ketenagakerjaan.
Ini bukan hanya tentang melindungi buruh, tetapi menciptakan sistem kerja yang sehat, adil, dan berkelanjutan.
Negara yang ingin menjadi ekonomi maju tidak bisa bergantung pada model kerja murah dan fleksibilitas semu. Ia harus membangun ekonomi yang berbasis pada keadilan relasi produksi.
Saatnya Membatalkan Sistem Kerja yang Diskriminatif
Oleh karena itu, sudah saatnya sistem outsourcing—dalam formatnya yang menindas dan diskriminatif seperti saat ini—dibatalkan.
Ini bukan soal kebijakan populis, tetapi soal keberpihakan kepada nilai-nilai keadilan sosial yang dijamin konstitusi.
Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika tidak berani mengambil langkah korektif saat ini, maka kesejahteraan buruh akan terus menjadi ilusi, dan ketimpangan akan terus menjadi warisan generasi berikutnya.