Apakah Co-Payment dalam Asuransi Kesehatan Solusi atau Beban Baru Bagi Publik?

Image 3
Ilustrasi

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

KETIKA Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan baru yang mewajibkan skema co-payment dalam produk asuransi kesehatan, banyak pertanyaan muncul dari masyarakat luas.

Apakah ini langkah reformasi yang akan memperkuat sistem asuransi kesehatan kita?

Atau justru jurus baru industri untuk memindahkan beban risiko ke pundak masyarakat yang semakin tertekan biaya hidup?

Co-payment atau pembagian risiko biaya antara perusahaan asuransi dan pemegang polis sering diklaim sebagai langkah untuk menekan klaim berlebihan dan menurunkan premi.

Tapi benarkah demikian kenyataannya?

Masalah: Ketika Proteksi Berubah Menjadi Beban

Asuransi kesehatan idealnya adalah jaring pengaman: proteksi terhadap risiko yang tidak terduga dan berbiaya tinggi.

Namun, ketika skema co-payment diterapkan secara menyeluruh, jaring itu mulai berlubang.

Dalam banyak kasus, masyarakat pemegang polis tidak hanya harus membayar premi, tetapi juga menanggung sebagian biaya saat mereka paling rentan: ketika sakit.

Masalah ini bisa dianalogikan seperti membayar tiket untuk naik perahu penyelamat, tapi saat perahu dibutuhkan karena badai datang, penumpang masih diminta mengayuh dan membawa pelampung sendiri.

Ini tentu menimbulkan pertanyaan fundamental: apa arti proteksi jika perlindungannya bersyarat?

Gagasan: Membedakan Efisiensi dari Pengalihan Beban

Pendukung skema co-payment menyatakan bahwa mekanisme ini dapat menurunkan moral hazard, yaitu kecenderungan orang untuk "boros" dalam menggunakan layanan medis karena merasa semua akan ditanggung asuransi.

Dengan adanya co-payment, nasabah akan lebih bijak menggunakan layanan, katanya.

Namun, ini hanya separuh dari cerita.

Dalam praktik, moral hazard tidak hanya datang dari pemegang polis, tetapi juga dari rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan yang terkadang memperbanyak tindakan medis demi meningkatkan tagihan.

Maka, pembebanan co-payment tanpa pembenahan tata kelola layanan justru menyasar yang lemah: pasien.

Industri asuransi juga menyatakan bahwa co-payment akan menurunkan premi.

Namun, tidak ada jaminan korelasi langsung antara skema ini dan turunnya premi secara substansial.

Bisa jadi premi tetap naik, sementara beban out-of-pocket (dari kantong sendiri) juga meningkat.

Realitas Sosial: Ketika Sakit Menjadi Mahal dan Menakutkan

Dampak langsung dari co-payment akan paling dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah.

Ketika biaya perawatan kesehatan semakin mahal, tambahan kewajiban membayar sebagian dari total biaya perawatan akan menjadi penghalang akses.

Fakta bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih hidup dengan tingkat pengeluaran kesehatan yang terbatas seharusnya menjadi bahan pertimbangan utama dalam perumusan kebijakan asuransi.

Skema co-payment bisa memperkuat dualisme layanan kesehatan: yang mampu akan tetap mendapat layanan optimal, sementara yang lemah akan ragu datang ke rumah sakit karena takut biaya tambahan.

Dalam jangka panjang, ini bisa memperlebar ketimpangan akses terhadap layanan kesehatan dan melemahkan prinsip keadilan sosial yang menjadi dasar dari sistem jaminan kesehatan.

Alih-alih memperkuat sistem, skema ini bisa memperdalam luka struktural dalam sistem perlindungan sosial kita.

Risiko Moral Hazard dan Adverse Selection yang Tertukar Arah

Moral hazard memang menjadi alasan populer untuk mendukung co-payment.

Namun, risiko lainnya yang tak kalah besar adalah adverse selection: hanya mereka yang benar-benar sakit dan membutuhkan layanan intensif yang tetap ikut asuransi, sementara yang sehat keluar karena merasa premi dan co-payment tidak sebanding dengan manfaat.

Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menggerus prinsip gotong royong yang menjadi fondasi asuransi: yang sehat membantu yang sakit, yang kuat menopang yang lemah.

Ketika asuransi hanya diikuti oleh mereka yang sakit, sistem akan kolaps karena beban klaim melonjak dan premi semakin tidak terjangkau.

Keadilan Sosial: Mengembalikan Fungsi Proteksi

Saya meyakini bahwa kebijakan asuransi harus berakar pada prinsip keadilan sosial dan keberpihakan pada kelompok yang rentan.

Co-payment dalam konteks ini bisa saja menjadi solusi parsial jika diterapkan dengan desain yang adil, transparan, dan akuntabel.

Namun, implementasinya harus disertai dengan regulasi pembatasan co-payment maksimal, pengawasan ketat terhadap rumah sakit agar tidak menaikkan biaya sembarangan, serta insentif bagi masyarakat berpenghasilan rendah seperti subsidi co-payment atau plafon biaya maksimal per tahun.

Tanpa kebijakan kompensatoris, penerapan co-payment adalah kebijakan regresif: membebani yang lemah lebih banyak dibanding yang kuat. Ini bertentangan dengan semangat konstitusi dan nilai Pancasila.

Rekomendasi: Jalan Tengah yang Berkeadilan

Jika tujuan dari kebijakan ini adalah efisiensi, maka efisiensi itu tidak boleh dibayar dengan hilangnya akses bagi yang miskin.

Maka, Beberapa langkah mitigasi yang bisa dilakukan adalah

Pertama, Penerapan co-payment harus berbasis kemampuan membayar (ability to pay), dengan skema progresif sesuai kelas sosial ekonomi.

Kedua, Pemerintah harus menyediakan insentif atau subsidi bagi kelompok rentan agar mereka tetap terlindungi secara penuh.

Ketiga, Harus ada sistem transparansi biaya di rumah sakit dan audit independen untuk mencegah over-treatment.

Keempat, Perusahaan asuransi harus diwajibkan membuka data premi dan klaim pasca co-payment agar publik bisa menilai efektivitas kebijakan.

Kelima, Libatkan kelompok masyarakat sipil dan akademisi dalam evaluasi berkala kebijakan ini agar tidak hanya menguntungkan industri.

Kesehatan Bukan Komoditas, Tapi Hak

Pada akhirnya, kita harus bertanya: untuk siapa kebijakan ini dibuat? Jika jawabannya adalah untuk rakyat, maka desain kebijakannya harus memihak rakyat.

Skema co-payment tidak otomatis salah, tetapi tanpa rambu-rambu keadilan, ia bisa menjadi bentuk pengingkaran terhadap hak dasar warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan yang terjangkau dan bermartabat.

Negara dan regulator tidak boleh hanya menjadi juru bicara industri, tetapi harus menjadi pelindung bagi mereka yang paling membutuhkan perlindungan.

Di situlah letak ujian sejati dari kebijakan publik: berpihak pada yang lemah, bukan yang kuat.

Berita Terkait

Berita Lainnya