Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi, Pengurus DPP Partai Demokrat
DALAM dinamika kekuasaan di negeri ini, ada satu kebiasaan yang terus berulang dan makin terasa mencolok: menghindar dari pengakuan masalah dengan membungkusnya dalam narasi indah nan kosong. Di antara retorika itu, istilah “mutasi dalam rangka penyegaran” menjadi mantra favorit. Entah sudah berapa kali masyarakat menyaksikan pergantian pejabat yang sejatinya sarat konflik, namun disulap menjadi rotasi biasa, padahal jelas ada bara yang disembunyikan di balik senyum birokrasi.
Baru-baru ini publik dikejutkan oleh mutasi seorang jenderal tinggi yang kemudian dibatalkan hanya dalam hitungan jam. Juru bicara pun segera tampil, menyebut pembatalan itu sebagai bagian dari “penyesuaian organisasi karena posisi lain belum terisi”. Sebuah alasan administratif yang terdengar diplomatis, tapi juga terlalu datar untuk meyakinkan publik yang sudah kenyang dengan basa-basi kekuasaan.
Retorika sebagai Selimut Masalah
Fenomena semacam ini bukanlah hal baru. Dalam ilmu komunikasi, ini dikenal sebagai bagian dari strategi impression management, suatu upaya menjaga citra agar tetap tampak stabil, rapi, dan terkendali. Ketika ada keretakan internal, konflik kepentingan, atau bahkan kegagalan manajemen, semua itu sering kali dibungkus dengan istilah eufemistik: penyegaran, rotasi biasa, promosi strategis. Bahkan istilah “diberi penugasan baru” kadang justru menandai penyingkiran.
Padahal publik bukan tidak tahu. Masyarakat kini tidak hidup dalam ruang hampa informasi. Mereka bisa membandingkan, menganalisis, dan menarik benang merah yang tak bisa disembunyikan dengan kata-kata manis. Maka yang terjadi bukanlah pemulihan citra, tapi justru kerusakan lebih dalam pada kepercayaan publik.
Bahaya Jangka Panjang: Erosi Kejujuran Negara
Ketika negara terbiasa menyampaikan hal yang tidak sesuai kenyataan, maka yang terjadi adalah pergeseran nilai kebenaran dalam komunikasi publik. Bahasa yang seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan penguasa, justru menjadi alat pengaburan. Lama-lama, kita menjadi terbiasa melihat kebohongan sebagai kelaziman, dan kehilangan sensitivitas terhadap kejujuran.
Apakah ini hanya terjadi di Indonesia? Tidak. Di Amerika Serikat, mundurnya seorang pejabat tinggi sering dibungkus dengan kalimat “demi keluarga” padahal penuh tekanan politik. Di Tiongkok, mutasi pejabat kadang dikemas sebagai “penyesuaian administratif” meski sesungguhnya karena skandal korupsi. Namun perbedaannya adalah: di negara-negara dengan budaya akuntabilitas tinggi, kebohongan cepat terbongkar. Di sini, justru kebohongan itu sering dijaga rapat oleh sistem.
Saatnya Membangun Narasi yang Jujur
Bangsa ini tidak butuh basa-basi, tapi bahasa yang berarti. Jika sebuah keputusan salah, akui. Jika ada konflik internal, ungkapkan dengan proporsional. Tidak semua kebenaran harus dibuka telanjang, tapi kebenaran tidak boleh dikaburkan. Inilah yang disebut etika komunikasi kekuasaan.
Juru bicara bukan sekadar pembaca naskah. Ia adalah penjaga moral publik, penyambung lidah negara yang seharusnya tidak hanya pandai bicara, tapi juga tulus menyampaikan. Karena bahasa negara mencerminkan jiwa bangsa.
Mari kita bangun bangsa ini dengan kejujuran. Bukan dengan menutupi, tapi dengan menyembuhkan luka melalui pengakuan. Karena hanya bangsa yang berani berkata jujur yang pantas memimpin masa depan.